TerasDN - Hendaklah kalian bersungguh-sungguh dalam menetapkan niat untuk menunaikan
ibadah haji (segera setelah memiliki kemampuan untuk itu), guna mengunjungi
ka’abah, BaituLLâh Al-aHarâm dan melaksanakan manasik haji, mengagungkan syi
‘ar-syi ‘ar-Nya dan menziarahi makam Nabi-Nya: Muhammad Saw. Dan hendaklah
kalian dalam hal ini, benar-benar memfokuskan niat dan tujuan dengna tulus
ikhlas hanya untuk ibadah semata-mata, tidak untuk tujuan apa pun selain itu.
Jangan sekali-kali mencampur adukkan niat-nat mulia ini dengan suatu tujuan
yang lain; seperti ingin berniaga atau berwisata.
Dan ketika sedang dalam ibadah haji, hendaklah sering-sering melakukan tawaf
mengelilingi Ka’abah, rumah Allah. Sebab, orang yang mengerjakan tawaf,
bagaikan seorang yang sedang menyelam di dalam samudra rahmat Allah Swt. Maka
hendaklah kalian tidak menyia-yiakan saat-saat yang baik itu. Penuhilah hati
kalian dengan pengagungan terhadap kebesaran Allah Swt., Sang Pemilik ‘rumah’
yang kini kalian sedang berada di hadapannya. Jangan pula menyibukkan hati
kalian dengan apa pun juga, terkecuali dengan tilawat Al-Quran, zikir dan
doa-doa lain yang telah dianjurkan. Dna janganlah menyia-yiakan waktu kalian
dengan berbagai aktivitas yang tidak bermanfaat. Hendaklah kallian dengan
sungguh-sungguh dan konsisten mengerjakan berbagai zikir, bacaan dan doa-doa
yang biasa diucapkan secara khusus ditempat-tempat tawaf, sa ‘i dan lain-lain
yang bekaitan dengan Ibadah Haji. Selain itu, alangkah baiknya bila kalian juga
menaruh perhatian khusus untuk menyaksikan tempat-tempat bersejarah yang
memiliki nilai sangat agung.
Perbanyak pula Umroh, bila ada kesempatan untuk itu, terutama pada bulan suci
Ramadhan. Sebab, satu kali umroh pada bulan Ramadhan, pahalanya sepadan dengan
pelaksanaan ibadah haji bersama Rasulallah saw.
Dan hendaklah kalian lebih-lebih menjaga kesopanan yang tinggi selama berada di
Tanah Suci (Al-Haramain) dan bersikap ramah tamah dan santun terhadap penduduk
setempat. Hargailah kemuliaan yang mereka peroleh kerana bertetangga dengan
Rasulallah Saw iaitu dengan cara selalu berbaik sangka terhadap mereka
khususnya, dan terhadap kaum Muslimin pada umumnya.
Kalaupun kalian adakalanya menyaksikan atau mendengar di sana, sesuatu yang
tidak berkenan di hati, sebaiknya bersikap menahan diri dan bersabar, serta
tidak perlu memberikan komentar yang negatif. Akan tetapi jika mampu mengatakan
yang benar, ungkapkanlah hal itu. Sebab, ajaran islam tidak membolehkan
seseorang mukmin berdiam diri menghadapi suatu yang bathil kecuali dalam
keadaan terpaksa, dan meyakini ketidakmampuannya untuk mencegah. Dan alangkah
bahagianya orang yang telah mempu memusatkan niat secara bulat dalam
pengabdiaannya kepada Allah, tanpa terpengaruh oleh perilaku buruk yang melanda
orang-orang di zaman sekarang, yang bertentangan dengan perilaku para salaf
saleh. “Dan barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
benar-benar mendapat petunjuk, dan barang siapa yang di sesatkan-Nya, maka tak
akan ada baginya seorang pemimpin pun yang memberi petunjuk kepadanya “
(QS.:18:i7)
Selain itu, hendaklah kalian tidak menyia-yiakan kesempatan untuk beramal dan
berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya selama berada di Kota Makkah, mengingat
bahawa setiap amal kebaikan yang dilakukan disana akan dilipat gandakan pahalanya
sampai seratus ribu kali kelipatan. Penggandaan pahala seperti ini sebetulnya
disebutkan dalam sebuah hadis Rasullulah Saw. Khusus berkaitan dengan ibadat
shalat. Akan tetapi sebagian ulama memahaminya sebagai sesuatu yang bersifat
umum, meliputi semua amal kebaikan yang dilandasi niat yang ikhlas dan murni
demi meraih keridhaan Allah semata-mata.
Namun perlu diingat, baawa sebagaimana amal-amal kebaikan di kota suci Makkah
di lipat-gandakan pahalanya oleh Allah, demikian juga sebaliknya perbuatan-perbuatan
maksiat di sana pun akan dilipat-gandakan dosa-dosanya. Sedemikian rupa,
sampai-sampai sebagian ulama salaf mengatakan; tidak ada suatu tempat di mana
‘niat melakukan maksiat’ saja akan menghadapi tuntutan,s elain kota Makkah.
Dalilnya, menurut mereka adalah, firman Allah Swt. dalam Surat Al-Hajj: 25,
“Barang siapa bermaksud didalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya
akan kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih”.
Abdullah Bin Abbas (r.a) pernah berkata : “Bagiku lebih baik melakukan
perbuatan dosa sebanyak tujuhpuluh kali di suatu tempat (selain Makkah),
daripadanya melakukannya satu kali di Makkah”.
Semoga Allah selalu menjaga kota suci itu, menambah keagungan dan kehormatannya
serta kebesaran dan kemuliaannya!
Diriwayatkan bahwa ketika Rasullullah Saw. Melaksanakan ibadah haji, beliau
mengenderai seekor unta berpelana usang, berlapis kain yang harganya tidak
mencapai empat dirham. Dan ketika pulang, beliau bersabda, “Ya Allah,
jadikanlah ini haji mabrur, tidak tersisip didalamnya perasaaan riya’ atau
ingin ketenaran.”
Demikian pula Umar bin Khattab r.a., selesai melakukan tawaf di Ka’bah, ia
mencium Hajar Aswad lalu menangis, kemudian berkata : “Demi Allah, aku sedar
bahawa engkau ini batu, tidak bisa membawa manfaat ataupun mudarat. Kalau saja
tidak kerana aku pernah menyaksikan Rasullullah saw. Melakuka seperti ini
(yakni mencium Hajar Aswad), niscaya aku tidak akan melakukannya. Kemudian ia
menoleh ke belakang dan melihat Ali bin Abi Talib (karramallahu wajhah). Maka Umar
pun berkata kepadanya: “Hai Abu’l-Hasan (julukan Ali bin Abi Thalib r.a.), di
sinilah tempat mencucurkan air mata.” Tetapi Ali r.a. berkata kepadanya,
“Sesungguhnya Hajar-Aswad ini, wahai Amirul-Mukminin, bisa membawa manfaat dan
mudarat. Kerana ketika Allah Swt. , mengambil ikrar anak-cucu keturunan Adam
s.a. dan berkata kepada mereka, “Bukankah Aku ini tuhan kalian?’, Ia menuliskan
suatu tulisan (yang berisi ikrar mereka itu) lalu menyimpannya di dalam batu
ini. Maka batu ini pun bersaksi bagi siapa-siapa yang menciumnya (atau
menyentuhnya) dengan keyakinan yang benar.”
Seorang laki-laki bertemu dengan Abdullah bin Umar r.a. ketika sedang
mengerjakan tawaf lalu mengutarakan suatu keperluan kepadanya. Tapi Abdullah
tidak menghiraukannya, sampai berjumpa lagi dengannya setelah itu, dan berkata
kepadanya: “Saya tahu bahawa anda telah kecewa ketika saya tidak mengindahkan
pembicaraan anda saat itu. Tidakkah anda mengetahui bahawa kita ini-pada saat
bertawaf-sedang berhadapan dengan Allah Swt?! bagaimana pun juga keperluan anda
itu telah terkabulkan!”
Pada suatu ketika, Ali bin Al-Husain r.a. (cucu Rasullullah Saw) melihat Hasan
Al-Basri di Masjid’l Haram sedang bercerita dihadapan orang banyak. Ia pun
berhenti lalu berkata kepadanya, “Wahai hasan, adakah anda telah rela
sepenuhnya dan menyiapkan diri menyongsong kematian?”
“Tidak!” jawab Hasan Al-Basri.
“Lalu, ilmu anda untuk dihisab?”
“Tidak!” jawab Hasan lagi.
“Apakah Allah Swt.memiliki ‘rumah’ yang menjadi tujuan manusia dari berbagai
penjuru selain ‘rumah’ ini?” tanya Ali bin Husain lagi.
“Tidak!”
“Kalau begitu, mengapa anda menyibukkan orang-orang dengan mendengarkan
cerita-cerita anda itu sehingga mereka terhalang dari melakukan tawaf?”
Mendengar itu,Hasan Al-Basri segera meninggalkan tempat itu dan tidak pernah
lagi bercerita selama berada di Kota Makkah.
Thawus berkata, “Aku pernah menyaksikan Ali Zain’l-Abidin Ibn’l-Husain (cucu
Rasullullah saw.) di tengah malam, sedang shalat di Al-Hijr (berhadapan dengan
Ka’bah). Aku mencuba mendekatinya seraya bergumam dalam hati: “Ini seorang
saleh dari keluarga Rasullullah Saw. Moga-moga saya mendengar sesuatu yang
bermanfaat dari beliau. Lalu kudengar beliau berdoa dalam sujudnya: “Ya Allah,
hamba-Mu yang peminta-minta ini berada di halaman rumah-Mu, hamba-Mu yang
miskin di halaman rumah-Mu; hamba-Mu yang fakir di halaman rumah-Mu!’ Sejak
itu, tak pernah lagi do’a yang kupanjatkan untuk meminta sesuatu yang kumulai
dengan kalimat-kalimat itu, kecuali pasti terkabul.”
Diriwayatkan bahawa ketika Ali Zain’i-Abidin r.a. memulai ihramnya dan hendak
mengucapkan talbiyah (yakni, Labbaik Allahumma Iabbaik, yang berarti: Aku di
sini memenuhi panggilan-Mu, ya Allah) tiba-tiba seluruh tubuhnya bergemetaran,
dan wajahnya pucat pasi, kemudian ia terjatuh dari kenderaannya dalam keadaan
pengsan. Ketika ditanyakan kepadanya setelah itu, “Mengapa demikian?” ia
menjawab, “Aku amat khuatir dan takut bila mengucapkan talbiyah, akan dikatakan
kepadaku:”Kedatanganmu tak diterima!”
Salim putera Abdullah bin Umar pernah berada di dalam bangunan Ka’bah bersama
dengan Hisyam bin Abdul Malik, yang ketika itu menjabat sebagai Amir (walikota
Madinah). Kepada Salim, Hisyam bertanya:”Mintalah apa saja keperluanmy dariku!”
“Aku pun merasa malu meminta sesuatu dari siapa pun selain dari Allah SWT.,
sementara aku berada di-rumah-Nya.”
Kemudian setelah mereka berdua keluar Ka’bah, Hisyam berkata lagi: “Sekarang
kita sudah berada diluar Ka’bah. Ajukanlah keperluanmu!”
“Yang anda maksud keperluan duniawi atau ukhrawi?” tanya Salim.
“Aku tidak memiliki sesuatu kecuali dunia.” Jawab Hisyam.
“Aku tidak pernah meminta dunia dari Dia yang menciptakannya; bagaimana mungkin
aku memintanya dari selain-Nya?!”
Pada suatu ketika, Hasan Bin Ali (cucu Rasullulah Saw) lewat di depan Thawus
yang sedang mengisi Majlis Ilmu di suatu kelompok besar di dalam
masjid’l-Haram. Ia langsung mendekati Thawus dan membisikkan kepadanya, “Jika
pada saat ini anda merasa bangga dengan diri anda, segeralah bangkit dan
tinggalkanlah tempat ini!” Mendengar itu, Thawus pun segera bangkit dan
meninggalkan majlis itu.
Wuhaib bin Ward mengisahkan: “Pada suatu malam, aku sedang melakukan tawaf di
sekeliling ka’bah, ketika tiba-tiba mendengar suara yang berasal dari balik
tirai penutup Ka’abah : “Aku mengeluh kepadamu, wahai Jibril, dari
ucapan-ucapan sia-sia dan pengunjingan kelompok-kelompok manusia yang bertawaf
di sekelilingku. Jika mereka tidak mahu berhenti dari perbuatan mereka itu, aku
benar-benar akan bergetar sekeras-kerasnya, sehingga batu-batu di sekitarku
akan berguguran dan kembali ke tempat asalnya.”
Diriwayatkan oleh seorang dari kalangan orang-orang soleh, “Aku pernah melihat
seorang laki-laki sedang melakukan tawaf dan sa’i dikelilingi beberapa pemuda
yang mengawalnya dan mendorong-dorong orang –orang yang berada di
sekelilingnya. Beberapa waktu setelah itu, aku melihatnya lagi di kota Baghdad,
sebagai pengemis yang meminta-minta dari para pejalan. Maka aku pun bertanya
kepadanya:”Mengapa keadaan anda seperti ini?” Katanya: “Dahulu aku telah
berlaku sombong di suatu tempat yang seharusnya manusia bersikap rendah hati,
maka Allah telah menghinakan diriku di tempat yang biasanya orang-orang berlaku
sombong”.
Seorang lainnya dari mereka menceritakan pengalamannya: “Aku pernah melihat
seorang fakir di dalam Masjid’l Haram, yang tampak jelas di wajahnya
tanda-tanda kesalahan, sedang duduk di atas sejadahnya. Ketika itu aku
kebetulan membawa sejumlah wang, yang segera aku letakkan di atas sejadahnya
sebagai sedekah, seraya berkata kepadanya: “Semoga anda bisa menggunakan ini
sekadar keperluan anda”.
Tetapi ia segera berkata-kata kepadaku: “Hai, sesungguhnya aku telah membeli
tempat ini hanya demi Allah semata-mata, dengan harga beribu-ribu dan kini anda
hendak mengusirku dari sini?’ Bersamaan dengan ucapannya itu, ia menepiskan
sejadahnya dan segera bangkit dan pergi meninggalkan tempatnya. Sungguh, tidak
pernah aku melihat seseorang sedemikian mulianya ketika ia beranjak pergi. Dan
tidak pernah pula ada orang yang sedemikian hinanya lebih daripada diriku
sendiri ketika berusaha memungut kembali wangku yang berhamburan.”
Ibrahim Bin Ad-han mengisahkan bahawa apda suatu malam fi musim penghujan,
keadaan tempat bertawaf di sekitar Ka’bah sunyi sepi dari manusia. Aku pun
bertawaf seraya berdoa : “Ya Allah, berikanlah aku ‘ishmah( penjagaan penuh
dari Allah Swt) agar aku tidak lagi berbuat pelanggaran terhadap-Mu!” Tiba-tiba
terdengar suara berseru: “Wahai Ibrahim! Engkau meminta ‘ishmah-Ku sementara
hamba-hamba-Ku seluruhnya meminta hal yang sama. Padahal, jika aku memberikannya
kepada kalian semua, siapa lagi Aku akan memberikan anugerah-Ku dan kepada
siapa pula akan Ku-berikan ampunan-Ku?”.
Pada suatu hari, Al-Hasan sedang berwukuf di A’rafah, di tengah terik matahari
yang menyengat, ketika seorang laki-laki berkata kepadanya, “Tidakkah sebaiknya
anda beralih saja ke tempat yang teduh?”. Dengan terheran-heran Al- Hassan
berkata, “Apakah aku kini sedang berada di bawah terik matahari? Sungguh aku
teringat satu dosa yang pernah aku lakukan, sehingga aku tidak lagi merasa kan panasnya
terik matahari!” padahal, waktu itu, pakaiannya telah basah kuyup kerana peluh
yang seandainya diperas, nescaya akan mengalir. Sedangkan dosa yang ia maksud
itu mungkin hanya merupakan selintas fikiran yang tercetus begitu saja, yang
seandainya terjadi atas orang selainnya, tentu tidak dianggapnya sebagai dosa
yang sekecil apa pun. Oleh sebab itu, perhatikanlah betapa besar penghormatan
dan pengagungan mereka dari kalangan salaf itu terhadap Tuhan mereka dan betapa
jauhnya mereka dari perbuatan maksiat kepada-Nya!
Telah disampaikan pula kepada kami, tentang seorang dari kalangan shalihin itu,
yang memungut tujuh buah batu dari padang “Arafah, kemudian meminta kesaksian
dari ketujuh batu itu, bahwa ia benar-benar telah bersaksi dengan kesaksian
bahawa ‘tiada tuhan selain Allah’, Pada malam harinya, ia bermimpi seolah-olah
berdiri di hadapan Allah Swt. untuk dihisab. Lalu jatuhlah vonnnis atas dirinya
agar ia dibawa keneraka. Namun didalam pelaksanaannya, setiap kali ia sampai di
depan salah satu pintu dari ketujuh pintu neraka itu, datanglah sebuah batu
menutupi rapat-rapat pintu itu. Ia pun menyedari sepenuhnya, bahawa batu-batu
itulah yang telah pernah minta kesaksiannya atas tauhidnya kepada Allah swt.
Kemudian datanglah syahadat La Iiaha IllaLLah yang membuat pintu syurga terbuka
lebar untuknya.
Dikisahkan dari Ali bin Al-Muwaffaq, katanya: “Pada suatu malam setelah wukuf
di Arafah, aku bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, lalu yang satu
berkata kepada temannya : “Tahukah betapa banyak orang yang telah melaksanakan
ibadah haji pada tahun ini?”
“Tidak”, jawab temannya itu.
“Jumlah mereka enamratus ribu orang”.
“Lalu, tahukah berapa dari mereka yang diterima hajinya?”
“Tidak!”
“Hanya enam orang sahaja!”
Kata Ibnul-Muwaffaq selanjutnya, “Aku merasa amat sedih, dan bergumam dalam
hatiku: “Di mana aku, di antara keenam orang itu?!” Namun pada malam menjelang
Hari Raya Idul-Adh-ha aku bermimpi lagi, dan melihat kedua malaikat itu turun
lagi. Salah satu dari keduanya bertanya kepada yang lain: “Tahukah bagaimana
keputusan Tuhan kita?” “Tidak!” jawab temannya. “Sungguh Allah Swt. telah
menetapkan, mengikutkan sebanyak seratus ribu orang kepada setiap orang dari
keenam orang yang diterima hajinya (sehingga keseluruhan enam ratus ribu orang
diterima haji mereka semuanya).” “Begitulah,” kata Ali ibn Al Muwaffaq
selanjutnya, “Ketika aku terjaga, hatiku diliputi kegembiraan sedemikian rupa
sehingga tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Dan beberapa tahun kemudian,
aku berkesempatan lagi melaksanakan ibadah haji, lalu memikirkan tentang
orang-orang yang tidak diterima hajinya. Maka aku pun berdoa, “Ya Allah, aku
rela menghadiahkan pahala hajiku kepada siapa-siapa yang tidak Kau terima
hajinya.” Pada malam itu, aku tidur dan bemimpi seakan-akan melihat Allah Swt
berfirman kepadaku: ‘Hai Ali, adakah engkau hendak menjadikan dirimu lebih
dermawan dari aku? Sedangkan Aku lah yang telah menciptakan para dermawan, dan
Aku-lah yang paling berhak memberikan kemurahan kepada segenap penghuni alam
semesta. Sungguh aku telah menyerahkan siapa-siapa yang tidak Ku-terima
hajinya, kepada mereka yang Ku-terima (sehingga semua mereka diterima
hajinya)!”
Demikianlah kisah-kisah dalam Penutup ini tidak terlepas kaitannya dengan
wasiat-wasiat sebelumnya. Bahkan bagi seorang pembaca yang arif tentunya dapat
lebih luas lagi menyimpulkan pelbagai aturan dan adab sopan santun darinya,
yang kiranya patut diamalkan dalam pelbagai keadaan.
Demikian pula, di dalam membicarakan tentang kiprah para salaf dalam perjalanan
hidup mereka, terdapat banyak sekali contoh da tauladan serta kepuasan
tersendiri yanf dapat dirasakan oleh setiap orang yang bersuluk menuju akhirat.
Sebab, mereka itu adalah sosok-sosok teladan yang patut diteladani. Disamping
itu, seseorang hanya bisa menyedari tentang kekurangan-kekurangan dirinya
sendiri ketika ia mengetahui tentang kesungguhan perjuangan para salaf itu
dalam merintis perjalanan menuju keridhaan Allah Swt. diakhirat.
Adapun seorang yang hanya menyaksikan kiprah orang-orang pada zaman ini, yang
lebih banyak diliputi berbagai kelalaian dan penyia-yiaan waktu mereka, sedikit
sekali kemungkinannya untuk memperoleh pelajaran yang bermanfaat. Bahkan lebih
buruk lagi mereka merasa berbangga diri atas perbuatan mereka, ataupun
berperangsangka buruk terhadap para tokoh salaf itu. Kedua-dua sikap seperti
itu pasti menimbulkan keburukan.
Kesimpulannya: orang yang berbahagia itu ialah yang mampu mengikuti teladan
para pendahukunya yang baik-baik dan selalu menuntut dirinya sendiri agar
menempuh jalan mereka yang lurus. Dang dengan ini pula, selesailah wasiat ini
dengan mengucapkan syukur kepada Allah Swt. atas taufiq-Nya.
No comments:
Post a Comment