Mandikan Aku Bunda

Sebagian Wanita menganggap tugasnya lebih  sebagai manajer di rumahnya tanpa  perlu dipusingkan urusan dapur dan  merawat anak  yang lebih pantas dilakukan oleh para bawahan, alias   pembantu ataupun baby-sitter.  Peran sosial dan  aktualisasi diri menjadi lebih utama.  Di sisi lain,  tidak sedikit wanita yang tetap "teguh" dan bangga  dengan kesibukan seputar urusan dapur dan diaper ini.  Mereka cukup puas dengan imbalan surga untuk jerih  payahnya membenamkan muka di asap "sauna" mazola   (minyak goreng) dan berparfumkan aroma popok bayi.  Saya tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan kedua sisi ini. Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya.
Sebut saja Julia namanya. Semasa kuliah ia  tergolong  berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya   sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akandigelutinya.  Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari  Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di  negerinya bunga tulip, beruntung Julia terus melangkah.  Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan  perundangan.  Beruntung pula, Julia mendapat  pendamping yang "setara " dengan dirinya, sama-sama  berprestasi, meski berbeda profesi. Deryya, buah cinta mereka lahir ketika Julia baru  saja diangkat  sebagai staf  Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Julia meraih PhD. Konon nama putera mereka itu  diambil dari Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini. Dery.
 Ketika Dery,  panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan,  kesibukan Julia semakin menggila saja. Frekuensi terbang  dari satu kota ke kota lain dan dari satu  negara ke negara lain makin meninggi.  Saya pernah bertanya , " Tidakkah si Dery terlalu  kecil untuk ditinggal " Dengan sigap Julia menjawab> : " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya.  Everything is ok." Dan itu betul-betul ia buktikan.  Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih> banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Dery tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya.  " Contohlah ayah-bunda Dery kalau Dery besar nanti." Begitu selalu nenek Dery, ibunya Julia bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang  akademis dan pekerjaannya.  
Ketika Dery berusia 3 tahun, Julia bercerita kalau Dery minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa  kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Dery.  Lagi-lagi bocah kecil ini  "dapat memahami" orang tuanya.  Mengagumkan memang. Dery bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua  orang tuanya  pulang larut, ia jarang sekali ngambek.  Kisah Julia, Dery selalu  menyambutnya dengan penuh kebahagiaan.  Julia bahkan menyebutnya malaikat kecil.  Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Dery tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti  Dery.  Suatu hari, menjelang Julia berangkat ke kantor,  entah mengapa Dery menolak dimandikan baby-sitternya.  " Dery ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan saja Julia yang  dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar.Tak urung suaminya turut membujuk agar Dery mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya. Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda, mandikan Dery " begitu setiap pagi. Julia dan suaminya berpikir, mungkin karena Dery sedang dalam masa  peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian. Suatu sore, saya dikejutkan telponnya  Mien, sang baby sitter. " Bu dokter, Dery demam dan kejang-kejang.  Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was  too late. Allah sudah punya rencana lain. Dery, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya. Julia, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan  kantor barunya,shock  berat.   Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah  memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku.  " Ini bunda, Der. Bunda mandikan Dery." Ucapnya lirih, namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Julia, sahabatku yang tegar itu berkata,  " Ini sudah takdir, iya kan?  Aku di sebelahnya  ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ? ". Saya diam saja mendengarkan. " Ini  konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.  Hening sejenak.  Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Julia  tertunduk. " Aku ibunya !" serunya  kemudian, "  Bangunlah Der. Bunda mau mandikan Dery. Beri  kesempatan bunda sekali lagi saja, Der". Rintihan itu begitu menyayat.  Detik berikutnya ia bersimpuh  sambil mengais-kais tanah merah  

 Sekali lagi, saya tidak ingin membahas  perbedaan  sudut pandang pembagian tugas suami isteri.  Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut  manja : " Mandikan aku, Bunda." Akankah kita> menolak ?  Ataukah menunggu sampai terlambat ? 

No comments:

Post a Comment

Tentang Saya