Sebab orang yang membaca Al-Qur’an
sudah sepatutnya menunjukkan keikhlasan - sebagaimana yang telah saya kemukakan
- dan menjaga adab terhadap Al-Qur’an.
Maka patutlah dia menghadirkan hatinya karena dia sedang bermunajat kepada Allah
swt dan membaca Al-Qur’an seperti keadaan orang yang melihat Allah swt, jika
dia tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah swt melihatnya.
Masalah ke-28:
Jika
hendak membaca Al-Qur’an, hendaklah dia membersihkan mulut dengan siwak atau lainnya.
Pendapat yang lebih terpilih berkenan dengan siwak ialah menggunakan kayu Arak.
Bisa juga dengan kayu-kayu lainnya atau dengan sesuatu yang dapat membersihkan,
seperti kain kasar dan lainnya.
Adapun tentang penggunaan jari yang kasar ada tiga
pendapat di kalangan pengikut Asy-Syafi’i. Pendapat yang lebih masyur adalah
tidak mendapat sunahnya. Kedua adalah dapat menghasilkan sunahnya. Dapat sunahnya
jika tidak mendapat lainnya dan tidak bisa jika ada lainnya.
Dan hendaklah dia bersugi mulai dari sebelah kanan
mulutnya dan berniat menjalankan sunahnya. Salah seorang ulama berkata,
hendaklah seseorang mengucapkan ketika bersugi: “Allahumma baarik lii fiihi, ya
arhamar rahimin.”
Al-Mawardi seorang pengikut Asy-Syafi’i berkata: “diutamakan
bersugi pada bagian luar gigi dan dalamnya.”
Siwak itu digosokkan pada
ujung-ujung giginya dan bagian bawah gerahamnya serta bagian atasnya dengan
lembut. Mereka berkata: “Hendaklah bersugi menggunakan siwak yang sedang, tidak
terlalu kering dan tidak terlalu basah. Jika terlalu kering, maka siwaknya
dilembutkan dengan air. Tidaklah mengapa jika menggunakan siwak orang lain
dengan izinnya. Manakala kalau mulutnya najis karena darah atau lainnya, maka
tidaklah disukai baginya membaca Al-Qur’an sebelum mencucinya.
Apakah itu haram? Ar-Rauyani, pengikut Asy-Syafi’i,
mengambil kata-kata ayahnya: “Terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat
(sahih) ialah tidak haram.”
Masalah ke-29:
Diutamakan
bagi orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Jika membaca Al-Qur’an
dalam keadaan berhadas, maka hukumnya harus berdasar ijma’ul muslimin. Hadits-hadits
berkenaan dengan perkara tersebut sudah dimaklumi. Immamul Haramain berkata:
“Tidaklah bisa dikatakan dia melakukan sesuatu yang makruh, tetapi meninggal
yang lebih utama.” Jika tidak menemukan air, dia bertayamum. Wanita mustahadhah
dalam waktu yang dianggap suci mempunyai hukum yang sama dengan hukum orang
yang berhadas.
Sementara orang yang berjunub dan wanita yang haid, maka
haram atas keduanya membaca Al-Qur’an, sama saja satu ayat atau kurang dari
satu ayat. Bagi keduanya diharuskan membaca Al-Qur’an di dalam hati tanpa
mengucapkannya dan bisa memandang ke dalam mushaf. Ijmak muslim mengharuskan
bagi yang berjunub dan yang haid mengucapkan tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan
membaca shalawat atas Nabi saw serta dzikir-dzikir lainnya.
Para
sahabat kami berkata, jika orang yang berjunub dan perempuan yang haid berkata:
“Khudzil kitaaba biquwwatin” sedang tujuannya adalah selain Al-Qur’an, maka hukumnya
bisa.
Demikian
pula hukumnya upaya yang serupa dengan itu. Keduanya bisa mengucapkan: “Innaa
lillahi wa innaa ilahi raaji’uun”. Ketika mendapat musibah, jika tidak
bermaksud membaca Al-Qur’an. Para sahabat kami dari Khurasan berkata, ketika
menaiki kendaraan, keduanya bisa mengucapkan:
.
Terjemahan:
“Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini bagi kami dan tidaklah kami
mampu menguasainya sebelum ini.”
(QS Az-Zukhruf 43:13)
Dan ketika berdoa:
.
Terjemahan:
“Wahai Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
lindungilah kami dari siksa neraka.”
(QS Al-Baqarah 2:102)
Hukum tersebut berlaku selagi keduanya tidak bermaksud
membaca Al-Qur’an. Imamul Haramain berkata, apabila orang yang berjunub
mengucapkan: “Bismillah wal hamdulillah, maka jika dia bermaksud membaca Al-Qur’an,
dia durhaka. Jika dia bermaksud berdzikir atau tidak bermaksud membaca apa-apa,
dia tidak berdosa. Juga diharuskan bagi keduanya membaca ayat yang telah
dihapus tilawahnya seperti:
.
Terjemahan:
“Orang lelaki yang tua dan perempuan yang tua, jika keduanya berzina, maka
rajamlah keduanya sehingga mati.”
Masalah ke-30:
Jika
orang yang berjunub atau perempuan yang haid tidak menemukan air, maka dia
bertayamun dan diharuskan baginya membaca Al-Qur’an, sembahyang serta lainnya.
Jika dia berhadas, haram atasnya mengerjakan sembahyang dan tidak haram membaca
dan duduk di dalam masji atau lainnya yang tidak haram atas orang yang berhadas
sebagaimana jika dia mandi, kemudian berhadas. Ini adalah sesuatu yang
dipersoalkan dan dianggap aneh.
Maka
dikatakan, orang berjunub dilarang sembahyang dan tidak dilarang membaca Al-Qur’an
dan duduk di masjid tanpa keperluan, bagaimana bentuknya? Inilah bentuknya. Kemudian
yang lebih dekat ialah tidak ada bedanya antara tayamum orang yang berjunub di
kota tempat tinggalnya dan ketika musafir.
Seorang ulama pengikut Asy-Syafi’i berkata, bahwa jika
dia bertayamum di kota tempat tinggalnya, maka diharuskan sembahyang dan tidak
membaca Al-Qur’an sesudahnya atau duduk di masjid. Pendapat yang lebih sahih
ialah bisa melakukan itu sebagaimana telah saya kemukakan. Sekiranya dia
bertayamum, kemudian sembahyang dan membaca Al-Qur’an, kemudian ingin
bertayamum karena berhadas atau untuk mengerjakan sembahyang fardhu lainnya
maka tidak haram atasnya membaca Al-Qur’an menurut madzhab yang sahih dan
terpilih.
Terdapat pendapat dari sebagian pengikut Asy-Syafi’i yang
mengatakan hal itu tidak bisa. Pendapat yang lebih terkenal adalah pendapat
pertama. Jika orang yang berjunub tidak menukan air ataupun tanah, maka dia bisa
sembahyang untuk memuliakan waktu menurut keadaannya dan haram atasnya membaca Al-Qur’an
di luar sembahyang. Diharamkan atasnya membaca dalam sembahyang lebih dari
Al-Fatihah.
Apakah haram atasnya membaca Al-Fatihah? Terdapat dua
pendapat berkenaan dengan masalah ini.
Pendapat
pertama: Ini pendapat yang lebih sahih dan terpilih ialah tidak haram, bahkan
wajib karena sembahyang itu tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah. Manakala
diharuskan sembahyang dalam keadaan darurat, dalam keadaan janabah, maka
diharuskan juga membaca Al-Qur’an.
Pendapat kedua: Tidak bisa, akan tetapi dia hendaklah
membaca dzikir-dzikir yang dibaca oleh orang yang tidak mampu dan tidak hafaz
sedikit pun dari Al-Qur’an. Karena orang ini tidak mampu menurut syarak, maka
dia seperti orang yang tidak mampu menurut kenyataan. Pendapat yang lebih benar
adalah pendapat yang pertama. Cabang-cabang yang saya sebutkan ini diperlukan
olehnya. Oleh sebab ini saya menyinggung kepadanya dengan kalimat yang paling
ringkas. Kalau ingin lebih lengkap, maka ada dalil-dalil dan keterangan lebih
lanjut yang banyak dan dikenal dalam kitab-kitab fiqh. Wallahua’lam.
Masalah ke-31:
Membaca
Al-Qur’an disunahkan di tempat yang bersih dan terpilih. Justru, sejumlah ulama
menganjurkan membaca Al-Qur’an di masjid karena ia meliputi kebersihan dan
kemuliaan tempat serta menghasilkan keutamaan lain, yaitu Itikaf. Maka setiap
orang yang duduk di masjid patut beriktikaf, sama saja duduknya lama atau
sebentar. Bahkan pada awal masuknya ke masjid sepatutnya dia berniat iktikaf.
Adab ini patut diperhatikan dan disebarkan agar dikatahui oleh anak-anak
ataupun orang awam karena ia selalu diabaikan.
Manakala membaca Al-Qur’an di tempat mandi, maka para
ulama salaf berlainan pendapat berkenaan dengan makruhnya. Sahabat-sahabat kami
berpendapat, tidak dihukumkan makruh. Imam yang mulia Abu Bakar Ibnu Mundzir
menukilnya dalam Al-Ayaraaf dari Ibrahim An-Nakha’I dan Malik dan itu jugalah
pendapat Atha’.
Beberapa jamaah diantaranya Ali bin Abu Thalib ra
menghukumkannya makruh. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan pendapat ini daripadanya.
Ibnu Mundzir menceritakan dari sejumlah tabi’in, diantaranya Abu Wail Syaqiq
bin Salamah, Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Makhul dan Qabishah bin Dzuaib. Kami
meriwayatkannya pula dari Ibrahim An-Nakha’i. Para sahabat kami meriwayatkannya
dari Abu Hanifah ra
Asy-Sya’bi berkata, makruh membaca Al-Qur’an di tiga
tempat: Di tempat mandi, tembuat buang air dan tempat penggilingan Gandum.
Diriwayatkan dari Bau Maisarah, katanya:
“Tidaklah disebut nama Allah swt, kecuali di tempat yang
baik.”
Sementara membaca Al-Qur’an di jalan, maka pendapat yang
terpilih adalah bisa dan tidak makruh, jika pembacanya tidak lalai. Jika lalai,
maka dihukumkan makruh sebagaimana Nabi saw tidak menyukai membaca Al-Qur’an
oleh orang yang mengantuk karena takut keliru. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Abu darda’ ra bahwa dia membaca Al-Qur’an di jalan. Diriwayatkan oleh Umar bin
Abdul Aziz rahimahullah bahwa dia mengizinkan membaca Al-Qur’an di jalan.
Ibnu Abi Dawud berkata, diceritakan kepadaku oleh Abu
Ar’Rabi’, katanya: Diberitahukan kepada kami oleh Ibnu Wahab, katanya: “Aku
bertanya kepada Malik tentang orang yang sembahyang di akhir malam, kemudian
keluar ke masjid dan masih tertinggal sedikit lagi dari surah yang dibacanya.
Malik menjawab, “Aku tidak tahu pembacaan yang berlangsung di jalan. Hal itu makruh
dan ini adalah isnad yang sahih dari Malik rahimahullah.
Masalah ke-32:
Diutamakan
bagi pembaca Al-Qur’an di luar sembahyang supaya menghadap kiblat. Hal ini telah
banyak disebut dalam beberapa hadits:
“Sebaik-baik
majelis adalah yang menghadap kiblat.”
Hendaklah dia duduk dengan khusyuk dan tenang sambil menundukkan kepalanya dan duduk sendiri dengan adab baik dan tunduk seperti duduknya di hadapan gurunya, inilah yang paling sempurna. Diharuskan baginya membaca sambil berdiri atau berbaring atau di tempat tidurnya atau dalam keadaan lainnya dan dia mendapat pahala, akan tetapi nilainya kurang dari yang pertama.
Hendaklah dia duduk dengan khusyuk dan tenang sambil menundukkan kepalanya dan duduk sendiri dengan adab baik dan tunduk seperti duduknya di hadapan gurunya, inilah yang paling sempurna. Diharuskan baginya membaca sambil berdiri atau berbaring atau di tempat tidurnya atau dalam keadaan lainnya dan dia mendapat pahala, akan tetapi nilainya kurang dari yang pertama.
Allah
‘Azza wa JAllah berfirman:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda (keagungan Allah swt) bagi orang-orang yang berakal.
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah swt sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
Bumi…”
(QS Ali-Imran 3:190-191)
Diriwayatkan dalam Shahih dari Aisyah ra.a, katanya:
.
Terjemahan:
“Bahwa Rasulullah saw bersandar di pangkuanku ketika aku sedang haid dan beliau
membaca Al-Qur’an.”
(Riwayat Bukhari &
Muslim)
Dalam
suatu riwayat: “Beliau membaca Al-Qur’an sedang kepalanya berada dipangkuanku.”
Diriwayatkan
dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, katanya: “Aku membaca Al-Qur’an dalam sembahyangku
dan membacanya di atas tempat tidurku.” Diriwayatkan dari Aisyah r.a, katanya:
“Sungguh aku membaca hizibku ketika aku berbaring di atas tempat tidurku.”
Masalah ke-33:
Jika
hendak mulai membaca Al-Qur’an, maka dia memohon perlindungan dengan
mengucapkan: A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir rajiim (Aku Berlindung kepada Allah
swt dari Syaitan yang terkutuk). Sebagian ulama salaf berkata: Ta’awwudz itu
sepatutnya dibaca sesudah membaca Al-Qur’an berdasarkan firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Jika kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah
swt dari syaitan yang terkutuk.”
(QS An-Nahl 16:98)
Maksud ayat ini menurut mayoritas ulama, apabila kamu ingin
membaca Al-Qur’an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah swt dari syaitan
yang terkutuk.
Sejumlah
ulama salaf berpendapat, ‘Auudzu billaahis sami’il ‘aliimi minasy-syaithaanir
rajiim (aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui dari syaitan yang terkutuk). Tidaklah mengapa jika mengucapkan
perkataan ini.
Bagaimanapun
yang terpilih adalah bentuk ta’awwudz yang pertama. Kemudian, sesungguhnya
ta’awwudz itu mustahab (disunahkan) dan bukan wajib. Ta’awwudz itu disunahkan
bagi setiap pembaca Al-Qur’an, sama saja di dalam sembahyang atau di luarnya.
Di dalam sembahyang diutamakan membacanya dalam setiap rakaat menurut pendapat
yang sahih dari dua pendapat tersebut.
Menurut pendapat yang kedua diutamakan membacanya pada
rakaat pertama. Jika ditinggalkan pada rakaat pertama, maka hendaklah dia
membacanya pada rakaat kedua.
Diutamakan pula membaca ta’awwudz dalam takbir pertama
sembahyang jenazah, menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat.
Masalah ke-34:
Hendaklah
orang yang membaca Al-Qur’an selalu membaca bismillahir Rahmaanir Rahiim pada
awal setiap surah selain surah Bara’ah karena sebagian besar ulma mengatakan,
ia adalah ayat, sebab ditulis di dalam Mushaf. Basmalah ditulis di awal setiap
surat, kecuali Bara’ah. Jika tidak membaca basmalah, maka dia meninggalkan
sebagian Al-Qur’an menurut sebagian besar ulama.
Kalau
bacaan itu karena tugas yang diwajibkan atasnya sebagai orang yang diupah dan
digaji, maka perhatian atas bacaan basmalah lebih ditekankan untuk memastikan
pembacaan khatam. Karena jika ditinggalkannya, maka dia tidak mendapat sesuatu
karena waqaf, bagi orang yang mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat di
awal surat. Ini adalah penjelasan berharga yang ditekankan agar diperhatikan
dan disebarkan.
Masalah ke-35:
Jika
mulai membaca, hendaklah bersikap khusyuk dan merenungkan maknanya ketika
membaca. Dalil-dalilnya terlalu banyak untuk dihitung dan sudah masyur serta
terlalu jelas untuk disebut. Itulah maksud yang dikehendaki dan dengan demikian
itu dada menjadi lapang serta hati menjadi tenang. Allah Azza wa jalla
berfirman:
.
Terjemahan:
“Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?”
(QS An-Nisa’ 4:82)
Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Ini adalah suatu Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkat supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya…”
(QS Shaad 38:29)
Banyak hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan perkara
tersebut dan pendapat-pendapat ulama salaf tentang hal itu cukup masyur.
Sejumlah ulama Salaf ada yang membaca satu ayat sambil merenungkannya dan
mengulang-ulanginya sehingga pagi.
Sejumlah
ulama Salaf telah pingsan ketika membaca Al-Qur’an. Banyak pula yang mati dalnm
keadaan membaca Al-Qur’an.
Telah
kami terima riwayat dari Bahzin bin Hakim bahwa Zurarah bin Aufa seorang
tabi’in yang mulia mengimami sejumlah orang dalam sembahyang fajar. Dia membaca
Al-Qur’an sehingga ayat:
.
Terjemahan:
“Jika ditiup sangkakala maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang
sukar.”
(QS Al-Mudaththir 74:8-9)
Tiba-tiba dia tumbang dan mati. Banzin berkata: “Aku
termasuk orang-orang yang memikulnya.”
Ahmad
bin Abul Hawari ra yang dijuluki Raihanatus Syam sebagaimana dikatakan oleh
Abul Qasim Al-Junaidi rahimahullah, apabila dibacakan Al-Qur’an di dekatnya,
dia menjerit dan jatuh pingsan.
Ibnu
Abi Dawud berkata, Al-Qasim Ibnu Usman Al-Jau’i rahimahullah mengingkari hal
itu atas Ibnu Abil Hawari. Al-Jau’i seorang yang terkemuka dan ahli hadits yang
menetap di Damsyiq. Dia lebih utama dari Ibnu Abil Hawari. Katanya: demikian
jugalah di ingkari oleh Abul Jauza’ dan Qais bin Hubtar serta lainnya.
Saya katakan, yang benar ialah tidak adanya keingkaran,
kecuali siapa yang mengaku bahwa dia lakukan itu dengan berpura-pura. Wallahua’lam.
As-Sayyid yang mulia dan pemilik berbagai anugerah serta
makrifat, Ibrahim Al-Khawash ra.a berkata: “Obat penyembuh hati ada lima
perkara, yaitu:
1.
Membaca
Al-Qur’an dan merenungi maknanya.
2.
Perut
yang kosong.
3.
Sembahyang
malam.
4.
Berdoa
dengan penuh tawadhuk di ujung malam.
5.
Duduk
bersama orang-orang sholeh.
Masalah ke-36:
Anjuran
mengulang-ulang ayat untuk direnungkan. Telah kami kemukakan dalam fasal
sebelumnya anjuran untuk merenungkan dan menjelaskan pengaruhnya serta peninggalan
tradisi ulama Salaf. Telah kami terima riwayat dari Abu Dzarr ra Dia berkata:
.
Terjemahan:
“Nabi saw mengulang-ulangi satu ayat sehingga pagi."
Ayat itu adalah:
.
Terjemahan:
“Jika Engkau siksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu” Surat
Al-Maidah: 118
(Riwayat Nasa’I dan Ibnu
Majah)
Diriwayatkan
dari Tamim Ad-Dariy ra bahwa dia mengulang-ulang ayat ini sehingga pagi:
.
Terjemahan:
“Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh.”
(QS Al-Jaathiyah 45:21)
Diriwayatkan dari Ubbad bin Hamzah, katanya: Aku masuk
kepada Asma’ra dan dia sedang membaca:
.
Terjemahan:
“Maka Allah swt memberikan anugerah kepada kami dan memelihara kami dari seiksa
neraka.”
(QS Ath-Thuur 52:27)
Maka saya berhenti di sampingnya dan Asma’ terus
mengulanginya serta berdoa. Saya cukup lama berhenti di situ, maka aku pergi ke
pasar. Setelah selesai membeli keperluan-keperluanku, aku kembali lagi padanya
dan dia masih mengulang-ulang bacaan ayat tersebut dan berdoa. Kami
meriwayatkan kisah ini dari Aisyah ra
Ibnu
Mas’ud mengulang-ulang ayat:
.
Terjemahan:
“Ya Tuhanku, tambahilah ilmuku.”
(QS
Thaha: 114)
Said
bin Jubair mengulang-ulang ayat:
.
Terjemahan:
“Dan peliharalah dirimu dari (siksa yang berlaku pada) hari yang pada waktu itu
kamu dikembalikan kepada Allah swt.”
(QS Al-Baqarah 2:281)
Dia
juga mengulang-ulang ayat:
.
Terjemahan:
“Kelak mereka akan mengetahui belenmggu dan rantai diikatkan di leher mereka…”
(QS Al-Mu’min 40:70-71)
Dia
juga mengulang-ulang ayat:
.
Terjemahan:
“Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah.”
(QS Al-Infithar 82:6)
Dhahak apabila membaca firman Allah swt sebagai berikut
dia mengulang-ulang sehingga waktu sahur. Yaitu firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Bagi mereka lapisan-lapisan dari api atas mereka dan di bawah mereka pun
lapisan-lapisan (dari Api) juga.”
(QS Az-Zumar 9:16)
Masalah ke-37:
Menangis
ketika membaca Al-Qur’an. Telah diterangkan dalam dua fasal yang terdahulu
berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan tangis ketika membaca Al-Qur’an. Menangis
ketika membaca Al-Qur’an merupaan sifat orang-orang yang arif dan syiar
hamba-hamba Allah Yang shaleh. Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Dan mereka menyukur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyuk.”
(QS
Al-Israa 17:109)
Diriwayatkan sejumlah hadits dan athar Salaf. Antara
lain, diriwayatkan dari Nabi saw sabdanya:
.
Terjemahan:
“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Jika kamu tidak menangis, maka usahakanlah
supaya menangis.”
Diriwayatkan
dari Umar Ibnul Khattab ra bahwa dia mengimami jamaah sembahyang Subuh dan
membaca Surat Yusuf. Dia menangis hingga mengalir air matanya hingga membasahi
tulang bahunya. Dalam suatu riwayat, kejadian itu berlangsung dalam sembahyang
Isyak. Maka hal itu menunjukkan berlakunya pengulangan bacaan. Dalam suatu
riwayat, dia menangis hingga mereka mendengar tangisannya dari belakang
shaf-shaf. Diriwayatkan dari Abu Raja’, katanya: “Kulihat Ibnu Abbas di bawah
kedua matanya nampak bekas seperti tali selipar yang usang lantaran air mata.”
Diriwayatkan dari Abu Shahih, katanya: Beberapa orang
datang dari Yaman menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mereka membaca Al-Qur’an dan
mereka menangis. Kemudian Abu Bakar berkata: “Demikianlh keadaan kami jika
membaca Al-Qurna.”
Diriwayatkan dari Hisyam, katanya: “Terkadang aku mendengar
tangis Muhammad bin Sirin pada waktu malam ketika dia sedang sembahyang.”
Banyak athar yang menerangkan yang demikian itu yang
tidak mungkin menghitungnya. Apa yang telah saya kemukakan dan saya tunjukkan
kiranya sudah memadai. Wallahua’lam.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Menangis itu disunahkan
pada waktu membaca Al-Qur’an. Cara dapat menangis adalah menghadirkan kesedihan
di dalam hati dengan merenungkan peringatan dan ancaman keras serta janji-janji
yang terdapat di dalamnya, kemudian merenungi dosa-dosa yang terlanjur
diperbuat.” Jika tidak bisa menimbulkan kesedihan dan tangisan sebagaimana
dialami oleh orang-orang terpilih, maka hendaklah dia menangis atas kegagalan
itu karena hal itu termasuk musibah yang besar.
Masalah ke-38:
Hendaklah
membaca Al-Qur’an dengan tartil. Para ulama telah sependapat atas anjuran
melakukan tartil. Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.”
(QS Al-Muzzammil 73:4)
Diriwayatkan dari Ummi Salamah ra bahwa dia menggambarkan
bacaan Rasulullah saw sebagai bacaan yang jelas huruf demi huruf.”
(Riwayat Abu Dawud, Nasa’I dan Tirmidzi.
Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih)
Diriwayatkan dari Mu’awiyyah bin Qurrah ra dari Abdullah
bin Mughaffal ra dia berkata:
.
Terjemahan:
“Aku melihat Rasulullah saw pada hari penaklukan Mekah di atas untanya sedang
membaca Surat Al-Fatihah dan mengulang-ulang bacaannya.”
(Riwayat Bukhari &
Muslim)
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra Dia berkata: “Aku lebih suka membaca satu surat secara
tartil daripada membaca Al-Qur’an seluruhnya.”
Diriwayatkan
dari Mujahid bahwa dia ditanya tentang dua orang, seorang membaca surat
Al-Baqarah dan Ali-Imran sedangkan lainnya membaca surat Al-Baqarah saja.
Waktunya, rukuk, sujud dan duduknya sama. Mujahid menjawab: “Orang yang membaca
Surat Al-Baqarah saja lebih baik.”
Dilarang
membaca Al-Qur’an secara asal jadi dengan cepat sekali. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud bahwa seorang lelaki berkata kepadanya: “Aku membaca
Al-Mufashshal dalam satu rakaat.” Maka Abdullah bin Mas’ud menjawab:
“Demikianlah, demikianlah syair itu. Sesungguhnya ada orang yang membaca Al-Qur’an
dan tidak melampaui tenggorokan mereka. Bagaimanapun jika masuk di hati dan
menjadi kukuh di dalamnya, mka ia pun berguna.”
(Riwayat
Bukhari & Muslim)
Para
ulama berkata: “Membaca Al-Qur’an dengan tartil itu disunahkan untuk
merenungkan artinya.” Mereka berkata: “Membaca dengan tartil disunahkan bagi orang
bukan Arab yang tidak memahami maknanya karena hal itu lebih dekat kepada
pengagungan dan penghormatan serta lebih berpengaruh di dalam hati.”
Masalah ke-39:
Diutamakan
jika melalui ayat yang mengandung rahmat agar memohon kepada Allah swt dan
apabila melalui yang mengandung siksaan agar memohon perlindungan kepada Allah
swt dari kejahatan dan siksaan. Atau berdoa: “Ya Allah, aku mohon kesehatan
kepada-Mu atau keselamatan dari setiap bencana.” Jika melalui ayat yang
mengandung tanzih (penyucian) Allah swt maka dia sucikan Allah swt dengan
ucapan, Subhanalahi wa Ta’ala atau Tabaroka wa Ta’ala atau Jallat Azhamatu
Rabbina.
Diriwayatkan
dari Hudzifah Ibnul Yaman ra Dia berkata: “Pada suatu malam aku sembahyang
bersama Nabi saw Bliau memulai dengan Surat Al-Baqarah, beliau rukuk ketika
mencapai seratus ayat, kemudian meneruskan. Maka saya katakan, beliau rukuk dengan
membacanya. Kemudian beliau memulai surat An-Nisa’ dan membacanya, kemudian
memulai suart Ali-Imran dan membacanya dengan perlahan-lahan. Jika melalui
suatu ayat yang terdapat tasbih di dalamnya, beliau bertasbih. Dan apabila
melalui permohonan, beliau memohon. Jika melalui ta’awuudz, beliau memohon
perlindungan.”
(Riwayat
Bukhari & Muslim)
Letak Surat An-Nisa’ pada waktu itu didahulukan sebelum
Surat Ali-Imran.
Para sahabat kami rahimahullah berkata, memohon, meminta
perlindungan dan bertasbih itu disunahkan bagi setiap pembaca Al-Qur’an, sama
saja di dalam sembahyang atau di luarnya. Mereka berkata: “Semua itu disunahkan
dalam sembahyang sendirian. Karena itu adalah doa maka merea semnua sama dalam
hal itu, seperti ucapan Aamiin sesudah Al-Fatihah.
Apa yang saya sebutkan berkenaan dengan sunahnya, memohon
dan isti’adzah tersebut adalah menurut madzhab Asy-Syafi’i ra dan mayoritas
ulama rahimahullah. Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Hal itu tidak
diutamakan, bahkan tidak disukai dalam sembahyang.” Pendapat yang lebih benar
adalah pendapat mayoritas sebagaimana saya kemukakan.
Masalah ke-40:
Hal
yang perlu diperhatikan dan amat ditekankan adalah memuliakan Al-Qur’an dari
hal-hal yang kadang-kadang diabaikan oleh sebagian orang yang lalai ketika
membaca bersama-sama. Diantaranya menghindari tertawa, berbuat bising dan
bercakap-cakap di tengah pembacaan, kecuali perkataan yang perlu diucapkan.
Hendaklah
dia mematuhi firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
(QS Al-A’raf 7:204)
Hendaklah dia mengikuti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Dawud dari Ibnu Umar ra bahwa apabila membaca Al-Qur’an dia tidak bercakap
sehingga selesai. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya
dan dia berkata: “Tidak bercakap-cakap hingga selesai membaaca.” Dia
menyebutnya dalam kitab At-Tafsir berkenaan dengan firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu.”
(QS Al-Baqarah 2:223)
Termasuk perbuatan tercela adalah mempermainkan tangan lainnya
karena dia sedang bermunajat kepada Allah swt. Maka janganlah dia bermain di
hadapan-Nya. Diantaranya adalah memandang kepada sesuatu yang dapat melalaikan
dan melencengkan pikiran dan tumpuan.
Lebih buruk dari semua itu adalah memandang kepada
sesuatu yang tidak bisa dipandang, seperti orang lelaki yang mulus wajahnya dan
yang seumpamanya. Karena memandang kepada laki-laki yang berwajah mulus dan
tampan tanpa keperluan adalah haram, sama saja dengan syahwat ataupun tanpa
syshwat, sama saja aman dari fitnah atau tidak aman. Ini adalah madzhab yang
shahih dan terpilih di kalangan ulama. Imam Asy-Syafi’i dan para ulama yang
tidak sedikit jumlahnya telah menyebutkan pengharamannya.
Dalilnya
ialah firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya.”
(QS An-Nur 24:30)
Karena
lelaki mulus lagi cantik cenderung dijadikan pasangan homoseks, sama dengan
perempuan. Bahkan bisa jadi sebagian atau banyak dari mereka lebih bagus dari
banyak perempuan dan lebih memungkinkan terjadinya kejahatan padanya serta
lebih mudah dari perempuan. Maka pengharamannya itu lebih utama.
Pendapat-pendapat ulama saja yang memperingatkan terhadap mereka banyak sekali
jumlahnya. Para ulama menanamkan mereka orang busuk karena menimbulkan rasa
jijik menurut syarak.
Manakala memandang kepadanya ketika berjual beli,
mengambil dan memberi, berobat dan mengajar serta hal-hal lain yang diperlukan,
hukumnya boleh karena adanya keperluan yang dibenarkan secara syar’i.
Bagaimanapun pandangannya adalah sekedar keperluan dan tidak terus memandang
tanpa keperluan. Demikian jugalah guru yang diharuskan memandang sesuatu yang
diperlukannya dan haram atas mereka dalam segala keadaan memandang dengan
syahwat.
Ini
tidak khusus berkaitan dengan lelaki yang mulus wajahnya, bahkn haram atas
setiap mukallaf memandang dengan syahwat kepada setiap orang, sama saja lelaki
ataupun perempuan. Sama saja perempuan itu masih mahramnya atau bukan, kecuali
istri atau hamba perempuan yang bisa digalauli. Bahkan sahabat kami mengatakan:
Diharamkan memandang dengan syahwat kepada mahramnya seperti suadara
perempuannya dan ibunya.” Wallahua’lam.
Diwajibkan
atas orang-orang yang menghadiri majelis membaca Al-Qur’an jika melihat sesuatu
kemungkaran-kemungkaran tersebut atau lainnya agar melarangnya sekuat tenaga
dengan tangan bagi siapa yang mampu dan dengan lisan bagi siapa yang tidak
mampu melakukannya dengan tangan dan mampu melakukannya dengan lisan. Jika
tidak sanggup dengan semua itu, maka dengan hatinya (membencinya adalah hati). Wallahua’lam.
Masalah ke-41:
Tidak
bisa membaca Al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, sama saja dia bisa berbahasa
Arab dengan baik atau tidak bisa, sama saja di dalam sembahyang ataupun di luar
sembahyang. Jika dia membaca Al-Qur’an dalam sembahyang dengan selain bahasa
Arab, maka sembahyangnya tidak sah. Ini adalah madzhab kami dan madzhab Imam
Malik, Ahmad, Dawud dan Abu Bakar Ibnul Mundzir. Sedangkan Abu Hanifah berkata:
“Diharuskan membaca dengan selain bahasa Arab dan sembahyangnya sah.”
Abu
Yusuf dan Muhammad berkata: “Boleh bagi orang yang tidak baik bahasa Arabnya
dan tidak bisa bagi orang yang bisa membaca bahasa Arab dengan baik.”
Masalah ke-42:
Diharuskan
membaca Al-Qur’an dengan tujuh qiraat seperti bacaan yang disetujui. Dan tidak
bisa dengan selain yang tujuh bacaan itu dan tidak pula dengan riwayat-riwayat
asing yang dinukil (diambil) dari ketujuh ahli qiraah itu.
Akan dijelaskan dalam bagian ketujuh Insya Allah swt
berkenaan dengan kesepakatan para fuqaha untuk menyuruh bertaubat bagi orang
yang membaca dengan bahasa asing apabila dia membacanya demikian. Sahabat kami
dan lainnya berkata: “Sekiranya membaca dengan bahasa asing di dalam
sembahyang, batallah sembahyangnya jika dia mengetahui. Jika tidak mengetahui,
maka tidak batal sembahyangnya dan tidak dikira bacaan itu baginya.”
Imam
Abu Umar bin Andul Bar Al-Hafizh telah menukil jima’ul muslimin. Bahwa tidak bisa
membaca dengan bacaan yang asing (syadz) dan tidak bisa sembahyang di belakang
orang yang membaca dengan bacaan syadz. Para ulama berkata: “Barangsiapa
membaca dengan bacaan syadz sedang dia tidak mengetahuinya atau tidak
mengeatahui pengharamannya, maka dia diberitahu tentang hal itu. Jika kembali
melakukannya atau dia mengetahui bacaan syadz itu, maka dia pun dihukum dengan
keras hingga berhenti melakukannya.”
Setiap
orang yang sanggup menegur dan mencegahnya wajib menegur dan mencegahnya.
Masalah ke-43:
Jika
dia memulai dengan bacaan salah seorang ahli qiraah, maka hendaknya dia tetap
dalam qiraah itu selama bacaannya berkaitan dengannya. Kalau hubungannya
berakhir, dia bisa membaca dengan bacaan salah seorang dari ketujuh qari (yang
mahir mambaca) Al-Qur’an. Pendapat yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan
pertama di majelis itu.
Masalah ke-44:
Para
ulama berkata: “Pendapat yang lebih terpilih adalah membaca menurut tertib
Mushaf, maka dia baca Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian Ali-Imran,
kemudian surat-surat sesudahnya menurut tertibnya, sama saja dia membaca dalam
sembahyang atau di luarnya. Salah seorang sahabat kami mengatakan: “Jika dia
membaca pada rakaat pertama surat Qul A’Udzu bi rabbin Naas, maka dia baca ayat
sesudah Al-Fatihah dari surat Al-Baqarah.”
Salah seoang sahabat kami berkata: Disunahkan jika
mambaca suatu surat agar membaca surat berikutnya. Dalil ini ialah bahwa tertib
Mushaf dijadikan demikian karena mengandung suatu hikmah. Maka patutlah dia
memeliharanya, kecuali sesuatu yang telah ditentukan dalam syarak yang
merupakan pengecualian, seperti sembahyang Subuh pada hari Jumaat.
Rakaat pertama dalam sembahyang Subuh membaca surat
As-Sajadah dan rakaat kedua surat Al-Insan. Dan sembahyang Hari Raya pada
rakaat pertama membaca surat Qaaf dan rakaat kedua membaca surat Iqtarabatis
saa’atu.
Dalam
dua rakaat sembahyang sunah Fajar, pada rakaat pertama membaca surat Qulyaa
ayyuhal kaafiruun dan rakaat kedua membaca Qul huwAllah swtu Ahad. Dan tiga
rakaat sembahyang witir, pada rakaat pertama, membaca surat Al-A’laa dan pada
rakaat kedua membaca surat Qul yaa ayyuhal Kaafiruun dan pada rakaat ketiga
membaca, Qul Huwallahtu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.
Sekiranya
tidak berturutan dengan membaca surat yang bukan surat berikutnya atau
menyalahi tertib dan membaca suatu surat, kemudian membaca surat sebelumnya,
hal itu diharuskan. Banyak athar diriwayatkan berkenaan dengan perkara
tersebut.
Umar
Ibnul Khattab ra. telah membaca surat Al-Kahfi pada rakaat pertama sembahyang
Subuh dan surat Yusuf pada rakaat kedua. Bagaimanapun, sejumlah ulama tidak
menyukai jika menyalahi tertib Mushaf.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dari Al-Hasan, bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an
kecuali menurut tertibnya dalam Mushaf. Dan dia meriwayatkan dengan isnadnya
yang shahih dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa dikatakan kepadanya: “Si fulan
membaca Al-Qur’an terbaik, bagaimana pendatmu?” Abdullah menjawab: “Orang itu
terbaik hatinya.”
Sementara
membaca surat mulai dari akhir hingga awalnya, dilarang dengan tegas. Karena
perbuatan itu menghilangkan berbagai-bagai I’jaaz dan hikmah dari tertibnya
ayat-ayat. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’I seorang
imam tabi’in yang mulia dan Imam Malik bin Anas bahwa keduanya tidak menyukai
hal itu. Malik mencela perbuatan itu dan berkata: “Ini dosa besar.”
Manakala
mengajari anak-anak kecil dari akhir Mushaf hingga awalnya, maka itu adalah
baik dan bukan termasuk bagian ini. Sesungguhnya itu adalah bacaan untuk hari-hari
yang berbeda-beda di samping memudahkan mereka menghafaznya. Wallahua’lam.
Masalah ke-45:
Membaca
Al-Qur’an dari Mushaf lebih utama dari pada membacanya dengan hafalan karena
memandang dalam Mushaf adalah ibadah yang diperintahkan, maka berkumpullah
bacaan dan pandangan itu. AL-Qadhi Husain dan Abu Hamid Al-Ghazali menukil
dalam Al-Ihya bahwa banyak sahabat Nabi saw dulu membaca dari Mushaf. Mereka
tidak suka keluar suatu hari tanpa memandang ke dalam Mushaf. Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Dawud pembacaan dalam Mushaf dari banyak ulama Salaf dan saya tidak
melihat adanya perselisihan berkenaan dengan perkara tersebut.
Seandainya
dikatakan: “Hal itu berbeda-beda menurut orang-orangnya, maka dipilihlah
pembacaan dalam Mushaf bagi orang yang sama kekhusyukan dan perenungannya dalam
kedua keadaan yaitu membaca dalam Mushaf dan dengan hafalan. Dan dipilih
pembacaan dengan hafalan bagi siapa yang tidak bisa khusyuk jika membaca dengan
Mushaf dan dipilih membaca dalam Mushaf jika kekhusyukan dan perhatiannya
bertambah, ini pendapat yang baik. Hal yang jelas pendapat ulama Salaf dan
perbuatan mereka diartikan menurut perincian ini.
Masalah ke-46:
Anjuran
membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara bersama-sama dan keutamaan bagi orang-orang
yang membaca bersama-sama dan yang mendengarkannya serta keutamaan orang yang mengumpulkan,
mendorong dan menganjurkan mereka melakukan hal itu.
Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an oleh jamaah secara
bersama adalah mestahab berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan
perbuatan-perbuatan ulama Salaf dan Khalaf secara jelas. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah dan Abu Said Al-Khudri ra dari Nabi saw bahwa Baginda bersabda:
.
Terjemahan:
“Tidaklah suatu kaum menyebut nama Allah swt bersama-sama, kecuali mereka
dikelilingi oleh para malaikat, diliputi rahmat dan turun ketenangan ke atas
mereka serta Allah swt menyebut mereka di antara para malaikatnya di sisi-Nya.”
(Riwayat Tirmidzi dan dia berkata, hadits
ini hasan shahih)
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra dari Nabi saw
sabdanya:
.
Terjemahan:
“Dan tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah swt dengan
membaca Kitabullah dan mengkajinya di antara mereka, kecuali turun ketenangan
di antara mereka dan mereka diliputi rahnmat serta dikelilingi malaikat dan Allah
swt menyebut mereka di antara para malaikat di sisi-Nya.”
(Riwayat Muslim dan Abu Dawud dengan isnad
shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan
dari Mu’awiyah ra:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menemui sekelompok sahabatnya. Beliau
berkata, ‘Untuk apa kamu duduk?’ Mereka menjawab” ‘Kami duduk untuk menyebut
nama Allah swt dan memuji-Nya karena Dia memberikan petunjuk dan
menganugerahkan Islam kepada kami.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ‘Jibril as
datang kepada kami, kemudian memberitahu aku bahwa Allah swt membanggakan kamu
kepada para malaikat.”
(Riwayat Tirmidzi dan Nasa’i. Tirmidzi
berkata:
hadits hasan sahih)
Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak
jumlahnya. Ad-Darimi meriwayatkan dengan isnadnya dari Ibnu Abas ra katanya:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa mendengar suatu ayat dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka ayat itu
menjadi cahaya baginya.”
Dirawayatkan oleh Ibnu Abi Dawud ra, sesungguhnya Abu
Darda’ tadarrus (membaca Al-Qur’an secara bersama-sama) dengan beberapa orang
yang membaca bersama-sama. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan tadarrus Al-Qur’an
bersama-sama secara berjamaah merupakan keutamaan-keutamaan ulama Salaf dan
Khalaf serta para qadhi dan Al-Auza’I bahwa keduanya berkata: “Orang yang pertama-tama
mengadakan tadarrus Al-Qur’an di masjid Damsyiq adalah Hisyam bin Ismail ketika
pemerintahan Abu Muluk."
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dari Adh-Dhahak bin Abdurrahman bin Arzab: “Bahwa dia
mengingkari pengajian itu.” Dia berkata: “Aku tidak pernah melihat dan tidak
pernah mendengar dan aku telah mendapati para sahabat Rasulullah saw yakni
tidak kulihat seorang pun melakukannya.”
Diriwayatkan
dari Wahab, katanya: “Aku berkata kepada Malik, tidakkah engkau pernah melihat
orang-orang yang berkumpul dan membaca bersama-sama suatu surat hingga
mengkhatamkannya?” Maka dia mengingkari dan berkata: “Bukanlah demikian yang
dilakukan mereka, tetapi seseorang membacakan kepada orang lain.”
Pengingkaran
kedua orang itu bertentangan dengan apa yang diyakini bersama oleh ulama Salaf
dan Khalaf dan berdasarkan dalil yang mendukungnya. Maka anggapan itu
ditinggalkan dan yang diambil kira adalah pendapat yang menganjurkannya.
Bagiamanapun membaca Al-Qur’an secara berjamaah (dalam keadaan berkumpul)
mempunyai syarat-syarat tertentu seperti yang akan saya kemukakan dan patut
diperhatikan. Wallahua’lam.
Sementara keutamaan orang yang mengumpulkan mereka untuk
membaca Al-Qur’an, maka di dalamnya terdapat banyak nash seperti sabda Nabi saw:
.
Terjemahan:
“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan adalah seperti pelakunya.”
Dan sabda Nabi saw:
.
Terjemahan:
“Demi Allah, seorang yang diberi petunjuk oleh Allah swt dengan perantaraan
lebih baik bagimu daripada unta merah.”
Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut banyak
dan mansyur. Allah swt telah berfirman:
“Dan
hendaklah kamu saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.”
(QS Al-Maidah 5:2)
Tidak ada keraguan berkenaan dengan besarnya pahala orang
yang mengusahakan hal itu.
Masalah ke-47:
Membaca
Al-Qur’an sambung-menyambung secara bergantian. Maksudnya adalah sejumlah orang
berkumpul, setengah dari mereka membaca sepuluh ayat atau sebagian atau selian
itu, kemudian diam dan lainnya meneruskan bacaan, kemudian lainnya lagi. Ini boleh
dilakukan dan baik. Malik Rahimahullah telah ditanya dan dia menjawab: “Tidak
ada masalah dengannya.”
Masalah ke-48:
Membaca
Al-Qur’an dengan suara kuat. Ini merupakan fasal yang penting dan patut
diperhatikan. Ingatlah bahwa banyak hadits dalam kitab shahih dan lainnya
menunjukkan anjuran menguatkan suara ketika membaca. Terdapat bebebarapa athar
yang menunjukkan anjuran memperlahankan (merendahkan) suara, di antaranya akan saya
sebutkan, insya-Allah .
Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan ulama lainnya menyatakan,
cara menggabungkan antara hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan ini
ialah bahwa memperlahankan suara lebih jauh dari riya. Merendahkan suara lebih
utama bagi orang yang takut berbuat riya. Jika tidak takut berbuat riya, maka
menguatkan suara lebih baik karena lebih banyak diamalkan dan berfaedah meluas
kepada orang lain.
Maka
dengan demikian lebih baik daripada yang hanya berkenaan dengan diri sendiri.
Dan karena bacaan dengan suara kuat menggugah hati pembaca dan menyatukan
keinginannnya untuk memikirkan dan mengarahkan pendengarannya kepadanya,
mengusir tidur, manambah kegiatan dan menggugah orang lain yang tidur dan orang
yang lalai serta menggiatkannya.
Mereka
berkata: “Meskipun keutamaan tersebut bergantung pada niatnya, namun menguatkan
suara jauh lebih baik, jika niat-niat ini berkumpul, maka pahalanya berlipat
ganda.
Al-Ghazali
berkata: “Justru, kami katakan:
“Membaca
di dalam Mushaf lebih baik, ini adalah hukum masalahnya.”
Banyak
athar yang menukil berkenaan dengan perkara tersebut dan saya kemukakan
sebagian daripadanya. Diriwayatkan dalam kitab sahih dari Abu Hurairah ra
katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Tidaklah Allah mendengar sesuatu seperti yang di dengar-Nya dari seorang Nabi
yang bagus suaranya melagukan Al-Qur’an dan menguatkan suaranya.”
(Riwayat
Bukhari & Muslim)
Perkataan “mendengar” itu adalah isyarat kepada keridhaan
dan penerimaan. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah saw
bersabda kepadanya:
.
Terjemahan:
“Engkau telah diberi seruling dari seruling-serilung keluarga Dawud.”
(Riwayata Bukhari &
Muslim)
Dalam suatu riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw
berkata kepadanya:
.
Terjemahan:
“Aku bermimpi mendengar bacaanmu semalam.”
(Riwayat
Muslim)
Dia meriwayatkannya dari Barid Ibnu Ak-Khushaib.
Diriwayatkan
dari Fudhalah bin Ubaid ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Sungguh Allah lebih mendengar orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang
merdu daripada pemilik hamba perempuan kepada hamba perempuannya.”
(Riwayat
Ibnu Majah)
Diriwayatkan
dari Abu Musa pula, katanya: Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Sungguh aku mengenal suara rombongan Al-Asy’ariyyin waktu malam ketika mereka
masuk dan aku mengenal tempat-tempat mereka dari suara mereka ketika membaca Al-Qur’an
waktu malam, meskipun aku tidak melihat tempat-tempat mereka ketika mereka
berhenti pada waktu siang.”
(Riwayat Bukhari &
Muslim)
Diriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib ra, katanya:
Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suramu.”
(Riwayat
Abu Dawud Nasa’i dan lainnya)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ali ra bahwa dia
mendengar suara orang-orang membaca Al-Qur’an di dalam masjid, kemudian dia
berkata: “Beruntunglah mereka ini. Mereka orang-orang yang paling disukai
Rasulullah saw.”
Terdapat banyak hadits berkenaan dengan membaca Al-Qur’an
dengan suara kuat. Manakala athar-athar tentang perkataan dan perbuatan para
sahabat dan tabi’in, maka jumlahnya tidak terhitung banyaknya dan amat mansyur.
Semua ini berkenaan dengan orang yang tidak takut riya dan tiak takut menyombongkan
diri ataupun perbuatan-perbuatan buruk lainnya serta tidak menganggagu jamaah
karena mengacaukan sembahyang mereka dan menggelirukannya.
Telah
dinukilkan dari jamaah Salaf bahwa mereka lebih suka memperlahankan suara
karena takut apa yang kita sebutkan itu.
Diriwayatkan
dari Al-A’Masy, katanya: “Aku masuk ke rumah Ibrahim yang sedang membaca Mushaf
Al-Qur’an. Kemudian seorang lelaki minta izin kepadanya, lalu dia menutupinya
sambil berkata: “Jangan sampai orang itu mengetahui kalau aku membacanya setiap
masa.”
Diriwayatkan dari Abu Al-‘Aliyah, katanya: “Aku duduk
bersama para sahabat Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata,
‘Semalam aku membaca dari sini.’ Maka mereka berkata, ‘Itu bagian kamu.”
Dia berdalil kepada mereka ini dengan hadits Uqbah bin
Amir ra, katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang kuat seperti orang yang
bersedekah terang-terangan dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam seperti
orang yang bersedekah dengan diam-diam.”
(Riwayat
Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Tirmidzi
menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan, katanya: “Maksudnya ialah
orang yang membaca Al-Qur’an dengan diam-diam lebih baik daripada orang yang
membacanya dengan suara kuat. Sebab sedekah dengan diam-diam lebik baik menurut
ahli ilmu daripada sedekah secara terang-terangan.”
Dia
menyatakan, makna hadits ini menurut ahli ilmu adalah supaya orang terhindar
dari kesombongan atas dirinya sebagaimana diragukan atasnya jika melakukannya
dengan terang-terangan.
Saya katakan, semua itu sesuai dengan penjelasan yang
telah saya jelaskan secara terperinci di awal fasal ini. Jika takut mengalami
sesuatu yang tidak diinginkan dengan sebab menguatkan suara, maka janganlah
menuatkan suara. Jika tidak takut mengalami hal itu, diutamakan menguatkan
suara. Jika bacaan dilakukan oleh jamaah secara bersama-sama, maka diutamakan
sekali agar menguatkan suara berdasarkan alasan yang kemudian dan karena cara
itu bermanfaat bagi orang lain. Wallahua’lam.
Masalah ke-49:
Sunah
mengindahkan suara pada waktu membaca Al-Qur’an. Para ulama Salaf dan Khalaf
daripada sahabat dan tabi’in serta para ulama Anshar (Baghdad, Bashrah dan
Madinah) dan imam-imam muslimin sependapat dengan sunahnya mengindahkan suara
ketika membaca Al-Qur’an. Perkataan dan perbuatan mereka berkenaan dengan
perkara tersebut amat mansyur, maka kami tidak perlu memetik sesuatu pun
satu-persatunya. Dalil-dalil berkenaan dengan perkara tersebut sudah dimaklumi
orang-orang terkemuka ataupun orang awam. Antara lain seperti hadits berikut
ini:
Terjemahan:
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suarama.”
Terjemahan:
“Orang ini telah diberi seruling.”
Atau hadits yang artinya: “Tidak Allah mendengar….” dan hadits:
“Sungguh Allah lebih mendengar….”
Kesemuanya
telah dikemukakan dalam bab terdahulu. Demikian pula berkenaan dengan keutamaan
tartil pada hadits Abdullah bin Mughaffal, berkenaan dengan membaca Al-Qur’an
oleh Nabi saw dengan perlahan-lahan. Dan seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqqash
dan hadits Abu Lubabah ra bahwa Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa
tidak melagukan Al-Qur’an, maka dia bukan dari golongan kami.”
(Riwayat Abu Dawud)
Berkenaan dengan isnad Sa’ad terdapat
perselisihan yang tidak sampai mengganggu.
Mayoritas ulama berkata: “Tidak melagukan” artinya “tidak
mengindahkan suaranya.”
Begitu juga hadits daripada Al-Barra’ ra artinya:
“Aku
mendengar Rasulullah saw membaca dalam sembahyang Isyak surat Wattiini
waz-zaitun dan aku tidak mendengar seorang pun yang lebih bagus suaranya
daripada Baginda.”
(Riwayat Bukhari & Muslim)
Para ulama berkata: “Sunah membaca Al-Qur’an dengan suara
yang bagus dan tertib selama tidak melampaui batas. Jika sampai malampui batas
hingga menambah atau menyembunyikan satu huruf, maka perbuatan itu haram.
Manakala membaca dengn lahn (irama/pelat), maka Asy-Syafi’i rahimahullah
berkata dalam suatu pendapat: “Aku tidak menyukainya.”
Para sahabat kami menyatakan itu bukan dua pendapat,
tetapi ada perincian berkenaan dengannya. Jika keterlaluan sehingga melampaui
batas, itulah yang tidak disukainya, jika tidak sampai melampaui batas maka
tidak makruh.
Imam
Al-Mawardi berkata dalam kitabnya Al-Haawi berkata: “Membaca dengan lahn
(irama/pelat) yang dibuat-buat, jika mengeluarkan lafaz Al-Qur’an dari
bentuknya dengan memasukkan harakat-harakat di dalamnya atau mengeluarkan
harakat-harakat daripadanya atau memendekkan yang panjang dan memanjangkan yang
pendek atau memanjangkan hingga menyembunyikan sebagian lafaznya dan menyamakan
artinya, maka perbuatan itu haram dan pembacanya menjadi fasik serta orang yang
mendengarnya pun ikut berdosa. Karena itu bermakna ia mengalihkannya dari jalan
yang lurus ke jalan yang bengkok.”
Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak kebengkokan (di dalamnya)….”
(Aurat Az-Zumar: 28)
AlMawardi berkata: “Jika tidak sampai terjadi lahn yang
keluar dari lafaznya dan membacanya secara tartil, maka dibenarkan karena
lahnnya itu menambah kebagusannya.” Ini adalah pendapat Qadhil Qudrat.
Seperti halnya membacaan dengan lahn yang diharamkan, adalah
musibah bagi sebagian orang bodoh dan
jahil yang membacanya untuk jenazah dan di sebagian majelis. Ini adalah bid’ah
haram dan setiap pendengarnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Mawardi.
Demikian jugalah setiap orang yang sanggup menghilangkan atau melarangnya
berdosa jika tidak melakukannya. Saya telah berusaha sekuat tenaga ketika
membuat itu dan berharap dari anugerah Allah Yang Maha Pemurah agar memberikan
petunjuk untuk menghilangkannya dari orang yang demikian itu dan menjadikannya
dalam kesembuhan.
Asy-Syafi’i berkata dalam Mukhtasar Al-Muzani, bahwa dia indahkan
suaranya dengan cara apapun ketika membaca Al-Qur’an, dia berkata: “Cara yang
lebih baik adalah membaca dengan perlahan-lahan dan suara lembut.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Abu
Hurairah ra bahwa dia membaca “Idzasy-syamsu kuwwirat” dengan suara lembut
seperti meratap.
Dalam Sunan Abu Dawud, dikatakan kepada Ibnu Abi
Mulaikah: “Bagaimana pendapatmu jika suaranya tidak bagus?” Dia menjawab:
“Hendaklah dia elokkan suaranya sedapat mungkin.”
Malasah ke-50:
Sunah
mencari guru Al-Qur’an yang baik dan bagus suaranya. Ingatlah bahwa para jamaah
ulama Salaf, meminta para pembaca Al-Qur’an yang bersuara bagus agar membacanya
sedang mereka mendengarnya. Anjuran melakukan ini disetujui oleh para ulama dan
itu adalah kebiasaan orang-orang baik dan ahli ibadah serta hamba-hamba Allah
Yang sholeh. Perbuatan itu adalah sunnah dari Rasulullah saw.
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: “Rasulullah saw berkata kepadaku,
‘Bacakanlah Al-Qur’an kepadaku.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, apakah aku wajar
membaca Al-Qur’an untukmu sedang kepadamu ia diberitakan?’ Nabi saw menjawab,
‘Sesungguhnya aku ingin mendengarnya dari orang lain.’ Kemudian aku bacakan
kepadanya An-Nisa’ hingga ketika sampai pada ayat ini:
.
Terjemahan:
“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan
seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad)
sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”
(QS
An-Nisa 4:41)
Beliau kemudian berkata, ‘Cukuplah bagimu sekarang.’
Kemudian aku menoleh kepadanya. Ternyata kedua matanya berlinang air mata.”
(Riwayat Bukhari & Muslim)
Diriwayatkan
oleh Ad-Darimi dan lainnya dengan sanad-sanad mereka dari Umar Ibnu Al-Khattab ra
bahwa dia berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Ingatlah kami kepada Tuhan
kamu.” Kemudian Abu Musa membaca Al-Qur’an di dekatnya. Athar-athar berkenaan
dengan hal ini sudah dimaklumi. Telah meninggal dunia sejumlah orang sholeh
dengan sebab membaca Al-Qur’an oleh orng yang mereka minta untuk
membacakannnya. Wallahua’lam.
Para ulama telah menganjurkan agar memulai majelis hadits
Nabi saw danm mengkhatamkannya dengan bacaan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an oleh pembaca yang bagus
suaranya. Kemudian, pembaca di tempat-tempat ini, hendaklah membaca ayat-ayat
yang sesuai dengan majelisnya.
Hendaklah dia membaca ayat-ayat yang membangkitkan
harapan dan menimbulkan rasa takut, mengandung nasihat-nasihat, menyebabkan
zuhud terhadap keduniaan, menimbulkan kesukaan kepada akhirat dan persiapan
untuknya serta pendek angan-angan dan kemuliaan budi pekerti.
Masalah ke-51:
Jika
pembaca memulai dari tengah surat atau berhenti di tempat yang bukan akhirnya,
agar memulai permulaan kalam yang saling berkaitan antara satu sama lain (dan
berhenti pada kalam berkenaan), serta tidak terikat dengan bagian-bagiannya
karena bisa terjadi di tengah kalam yang berhubungan seperti bagian (juzuk)
yang terdapat dalam Firman Allah swt:
“Dan (haram juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami…”
(QS
An-Nisa 4:24)
Dan
firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Dan aku tidak membebaskan driku (dari kesalahan)…”
(QS Yusuf 12:53)
.
Terjemahan:
“Maka tidak ain jawaban kaumnya….”
(QS
An-Naml 27:56)
.
Terjemahan:
“Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah
swt dan Rasul-Nya….”
(QS Al-Ahzab 33:31)
Dan firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal dunia) suatu
pasukan pun dari langit….”
(QS Yaasin 36:28)
.
Terjemahan:
“Kepada-Nyalah dikembalikan pengetahuan tentang kiamat….”
(QS Fushshilat
41:47)
.
Terjemahan:
“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat….”
(QS Az-Zumar 9:48)
.
Terjemahan:
“Ibrahim bertanya, ‘Apakah urusanmu, wahai para utusan.’”
(QS Adz-Dzaariyaat 51: 31)
Demikian jugalah dalam firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah swt dalam beberapa hari yang
tertentu….”
(QS Al-Baqarah 2:203)
.
Terjemahan:
“Katakanlah, ‘Ingatlah aku khabarkan kepadamu apa yang lebih baik daripada yang
demikian itu….”
(QS Ali-Imran 3:15)
Maka semua itu dan yang seumpanya, sepatutnya pembaca Al-Qur’an
tidak memulai dengannya dan tidak berhenti di situ karena itu berkaitan dengan
yang sebelumnya. Janganlah keliru karena banyaknya pembaca yang lalai dan tidak
memperhatikan adab-adab ini dan tidak pula memikirkan makna-maknanya.
Ikutilah pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu
Abdillah dengan isnadnya dari As-Sayyid yang mulai Al-Fudhail bin ‘Iyadh ra
katanya: “Janganlah merasa kesepian di jalan kebenaran karena sedikit
pengikutnya dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang rusak dan janganlah
mengganggumu karena kurangnya orang-orang yang menempuhnya.”
Untuk makna inilah para ulama berkata: “Membaca suatu
surat yang pendek secara lengkap lebih baik daripada membaca sebagian surat
panjang seperti surat pendek karena kadang-kadang sebagian orang tidak
mengetahui hubungannya dalam sebagian keadaan.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari
Abdullah bin Abul Huzail ra. seorang tabi’in terkenal, katanya: “Mereka tidak
suka membaca sebagian ayat dan meninggalkan sebagiannya.”
Masalah ke-52:
Makruh
membaca Al-Qur’an dalam beberapa keadaan. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an disunahkan
secara mutlak, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu dilarang oleh syarak.
Saya sebutkan sebagian yang saya ingat secara ringkas tanpa menyebut dalil-dalilnya
karena cukup mansyur.
Makruh membaca Al-Qur’an dalam keadaan rukuk, sujud dan
tasyahud serta keadaan-keadaan sembahyang lainnya, kecuali jika berdiri. Makruh
membaca lebih dari Al-Fatihah bagi makmum dalam keadaan sembahyang yang
dikeraskan bacaannya jika dia mendengar bacaan imam. Dan makruh pula membavanya
dalam keadaan duduk di tempat buang hajat dan dalam keadaan mengantuk. Juga
dihukumkan makruh mambacanya jika menemui kesukaran, demikian pula dalam
keadaan khutbah bagi orang yang mendengarnya.
Tidaklah dihukumkan makruh bagi orang yang tidak
mendengarnya, bahkan diutamakan untuk membacanya.
Inilah pendapat yang terpilih dan sahih.
Diriwayatkan daripada Thawus berkenaan dengan hukum
makruhnya dan Ibrahim berpendapat tidak makruh. Bisa digabung antara kedua
pendapat itu dengan apa yang kami katakan sebagaimana disebutkan oleh sahabat
kami.
Tidak maktuh membaca Al-Qur’an ketika thawaf. Ini adalah madzhab
kami dan madzhab sebagian besar ulama. Ibnu Mundzir menceritakannnya dari
‘Atha’, Mujahid, Ibnul Mubarak, Abu Thaur dan Ashabur Ra’yi.
Diceritakan dari Hasan Al-Bashri, Urwah bin Zubair dan
Malik, mengenai makruhnya membaca Al-Qur’an ketika thawaf. Pendapat yang lebih
sahih adalah pendapat pertama. Telah dijelaskan sebelumnya tentang perselisihan
berkenaan dengan membaca Al-Qur’an di tempat mandi dan di jalan serta orang
yang di mulutnya ada najis.
Masalah ke-53:
Termasuk
bid’ah-bid’ah apa yang dilakukan oleh orang-orng bodoh yang mengimani orang banyak
dalam sembahyang Tarawih ketika membaca surat Al-An’aam pada rakaat terakhir
pada malam ketujuh dengan menyakini bahwa hal itu mustahab (sunah).
Maka
mereka kumpulkn hal-hal yang tercela, antara lain menyakininya sebagai mustahab
dan menyebabkan orang awam beranggapan seperti itu. Di antaranya menjadikan
rakaat kedua lebih panjang dari rakaat pertama, sedangkan yang sunah adalah
memanjangkan rakaat pertama.
Diantaranya
memanjangkan sembahyang terhadap para makmum. Juga bacaan surat yang amat laju.
Termasuk
bid’ah-bid’ah yang menyerupai ini adalah pembacaan sajdah dalam sembahyang
Subuh hari Jumaat, tetapi nukan sajdah Alif Laam Mim Tanziil. Sedangakan yang
sunah adalah membaca Alif Laam Mim Berita pada rakaat pertama dan surat Hal
Ataa pada rakaat kedua.
Masalah ke-54:
Masalah-masalah
aneh yang perlu diketahui. Di antaranya ialah apabila membaca surat, kemudian
anging mengganggunya (menguap), maka hendaklah dia menghentikan bacaanya hingga
sempurna keluarnya, kemudian kembali membaca. Demikianlah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Dawud dan lainnya dari Atha’ dan itu adalah adab yang baik.
Diantaranya
ialah apabila seseorang menguap, dia hentikan bacaannya hingga selesai menguap,
kemudian meneruskan bacaan. Mujahid berkata: “Itu adalah baik.”
Diriwayatkan
dari Abu Said Al-Khudri ra, Katanya: Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Jika seseorang dari kamu menguap, hendaklah dia menutup mulutnya dengan
tangannya karena syaitan akan masuk.”
(Riwayat Muslim)
Diantaranya apabila membaca Firaman Allah ‘Azza wa Jalla:
.
Terjemahan:
“Kaun Yahudi berkata: ‘Uzair putera Allah swt’ dan kaum Nasrani berakata,
‘Al-Masih putera Allah swt.”
(QS At-Taubah 9:30)
.
Terjemahan:
“Dan kaum Yahudi berkata: Tangan Allah swt terbelnggu.”
(QS Al-Maidah 5:64)
.
Terjemahan:
“Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak…”
(QS Maryam 19:88)
Dan ayat-ayat lain yang seumpama itu. Maka hendaklah dia
memperlahankan suaranya ketika membacanya. Demikianlah yang dilakukan oleh
Ibrahim An-Nakha’ ra.
Di antaranya ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dawud
dengan isnad dhaif dari Asy-Sya'b’ bahwa dikatakan kepadanya, jika manusia
membaca:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya Allah swt dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi.”
(QS Al-Ahzab 33:56)
Dia pun mengucapkan sholawat untuk Nabi saw Asy-Sya’bi
menjawab: “Ya”.
Diantaranya ialah disunahkan baginya mengucapkan apa yang
diriwayatkan oleh Abu Hurtairah ra daripada Nabi saw bahwa Baginda bersabda:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa membaca (Wattiini waz-zaituuni) dan sehingga pada (Alaisa Allah
swtu bi ahkamil haakimiin), hendaklah dia mengucapkan: Balaa wa ana ‘alaa
dzaalika minays-syaahidiin.”
(Riwayat
Abu Dawud dan Tirmidzi, dengan isnad dhaif)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Tirmidzi berkata: “Hadits
ini diriwayatkan dengan isnad ini, dari orang badui dari Abu Hurairah.” Dia
berkata: “Dan tidak disebut namanya.”
Ibnu Abi Dawud dan lainnya meriwayatkan dalam hadits ini,
sebagai tambahan riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa membaca akhir surat Al-Qiyamah, (Alaisa dzaalika bi qaadirin ‘alaa
an yuhyiya al-nautaa), hendaklah dia mengucapkan: ‘Balaa wa ana asyhadu’. Dan Barangsiapa
membaca (Fa bi ayyi hadiithin ba’dahu yu’minuun), hendaklah dia mengucapkan,
‘Aamantu billahi.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Ibnu Zubair dan Abu Musa
Al-Asy’ari’ra bahwa apabila seseorang dari mereka membaca: Sabbihisma rabbikal
a’laa mereka mengucapkan Subhaan Rabbiyal A’laa (Maha Suci Tuhanku Yang Maha
Tinggi). Diriwayatkan dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia mengucapkan pada ayat
itu Subhaana Rabbiyal a‘laa tiga kali. Diriwayatkan dari pada Abdullah bin
Mas’ud ra bahwa dia sembahyang dan membaca akhir surat Bani Israil. Kemudian
dia ucapkan Alhamdullilahi ladzii lam yattakhidz waladan.
Salah seorang sahabat kami telah menyebut bahwa sunah
mengucapkan dalam sembahyang apa yang telah kami kemukakan dan dalam hadits Abu
Huarairah berkenaan dengan ketiga surat itu. Demikian jugalah disunahkan
mengucapkan lainnya dari yang kami sebutkan dan yang semakna dengannya. Wallahua’lam.
Masalah ke-55:
Bacaan
Al-Qur’an yang dimaksudkan sebagai Kalam. Ibnu Abi Dauwd menyebutkan adanya
perselisihan berkenaan dengan hal ini. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’I ra
bahwa dia tidak suka membaca Al-Qur’an dengan tujuan urusan dunia.
Diriwayatkan
dari Umar Ibnu Khattab ra bahwa dia membaca dalam sembahyang Maghrib di Mekah,
(Wattini waz zaituuni) dan menguatkan suaranya dan berkata, (Wa haadzal baladil
amiini). Diriwayatkan dari Hukaim bin Sa’ad bahwa seorang lelaki dari
Al-Muhakkamati datang kepada Ali yanbg sedang menunaikan sembahyang Subuh,
kemudian berkata, Lain asyrakta layahbathanna amaluka (jika kamu mempersekutukan-Tuhan-
niscaya akan sia-sialah amalmu. (QS Ar-Ruum 30:60). Maka Ali menjawabnya dalam
sembahyang:
.
Terjemahan:
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah swt adalah benar dan
sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah
swt itu menggelisahkan kamu).”
(QS Ar-Ruum 30:60)
Para sahabat kami mengatakan, apabila seorang manusia
minta izin masuk kepada orang yang sedang sembahyang, kemudian orang yang
sembahyang itu mengatakan: “Udkhuluuha bi salaamin aaminiin (Masukkal kamu
dengan selamat dan aman), maka jika dia maksudkan pembacaan ayat atau membaca
ayat dan pemberitahuan, tidaklah batal sembahyangnya. Jika dia mekasudkan
mmeberitahu dan tidak ada niat membaca ayat, batallah sembahyangnya.
Masalah ke-56:
Jika
dia membaca sambil berjalan, kemudian melalui sejumlah manusia, diutamakan
memutuskan bacaan dan memberi salam kepada mereka, kemudian melanjutkan
bacaannya. Jika dia mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik.
Sekiranya membaca sambil duduk, kemudian ada orang lalu di depannya, maka
dikatakan oleh Imam Abul Hasan Al-Wahidi: “Pendapat yang lebih utama adalah
tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an karena dia sibuk membaca.”
Dan jika berkata: “Jika seseorang memberi salam
kepadanya, cukuplah dia menjawab dengan isyarat.” Masih menurut Abu Hasan,
“Jika ingin menjawab dengan lafaz salam, dia bisa menjawabnya kemudian dia
mulai membaca isti’adzah dan meneruskan bacaannya.”
Pendapat yang dikemukakan itu lemah. Hal yang jelas
adalah kewajiban menjawab lafaz. Para sahabat kami berkata: “Jika orang yang
masuk memberi salam pada hari Jumaat dalam keadaan imam berkhutbah, sedangkan
kami mengatakan bahwa diam adalah sunah, maka wajiblah ke atasnya menjawab
salam menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat. Jika mereka
katakan bahwa ini adalah dalam keadaan Khutbah, sedangkan terdapat perselisihan
berkenaan dengan kewajiban diam dan pengharaman berbicara, maka dalam keadaan
pembacaan yang tidak haram berbicara di dalamnya berdasarkan ijmak adalah lebih
utama di samping hukum menjawab salam adalah wajib.” Wallahua’lam.
Sementara itu, jika dia bersin dalam keadaan membaca,
maka diutamakan mengucapkan, “Alhamdulillah”. Demikian pula halnya di dalam
sembahyang. Sekiranya orang lain bersin sedang dia membaca Al-Qur’an di luar
sembahyang dan orang itu mendoakannya dengan mengatakan “Yarhamukallah.”
Sekiranya pembaca Al-Qur’an mendengar Adzan, dia hentikan
bacaannya dan menjawabnya dengan mengikutinya mengucapkan lafaz-lafaz adzan dan
iqamat, kemudian dia kembali kepada bacaannya. Ini disetujui oleh para sahabat
kami.
Jika dia orang punya keperluan dengannya, sedangkan dia
dalam keadaan membaca Al-Qur’an dan memungkinkan baginya untuk menjawab orang
yang bertanya dengan isyarat yang dapat difamahmi dan dia yakin bahwa hal itu
tidak mengecewakan hatinya dan tidak mengganggu hubungan antara keduanya, maka
sebaiknya dia menjawabnya dengan isyarat dan tidak menghentikan bacaan. Jika
dia menghentikannya, maka hal itu diharuskan. Wallahua’lam.
Masalah ke-57:
Jika
datang kepada pembaca Al-Qur’an orabg yang berilmu atau terhormat atau orang
tua yang terpandang atau mereka miliki kehormatan sebagai pemimpin atau lainnya,
maka tidaklah mengapa berdiri untuk menghormati DAN memuliakannya, bukan karena
riya dan membanggakan diri. Bahkan perbuatan itu mustahab (sunah). Berdiri
sebagai penghormatan adalah termasuk dari perbuatan Nabi saw dan perbuatan para
sahabatnya di hadapan beliau dan dengan perintahnya, serta perbuatan para tabi’in
dan ulama yang sholeh setelah mereka.
Telah saya kumpulkan sebagian tentang berdiri dan saya
sebutkan di dalamnya hadits-hadits dan athar-athar berkenaan dengan sunahnya
dan yang melarangnya. Saya jelaskan kelemahan riwayat yang lemah dan kesahihan
riwayat yang sahih daripadanya. Saya sebutkan pula jawaban tentang sangkaan
adanya larangan atas hal itu, padahal tiada larangan di dalamnya.
Saya
jelaskan semua itu dengan memuji Allah maka siapa yang meragukan sesuatu dari hadits-haditsnya,
hendaklah dia mempelajarinya, niscaya dia dapati keterangan yang menghilangkan
keraguannya, insya Allah.
Masalah ke-58:
Hukum-hukum
berharga yang berkaitan dengan membaca Al-Qur’an dalam sembahyang. Saya
sampaikan pembahasan ini secara ringkas karena cukup mansyur dalam kitab-kitab fiqh.
Di antaranya wajib membaca Al-Qur’an dalam sembahyang fardhu berdasarkan ijmak
ulama. Kemudian Malik, Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama berpendapat,
diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Abu Hanifah dan jamaah berkata,
“Tidak diwajibkan membaca Al-Fatihah untuk selamanya.” Dan katanya: “Tidak
wajib membaca Al-Fatihah dalam dua rakaat terakhir.” Pendapat yang lebih benar
adalah pendapat pertama. Banyak dalil dari Sunnah yang menyokong pendapat itu.
Cukuplah memahami sabda NabI saw dalam hadits sahih:
.
Terjemahan:
“Tidak memadai (sah) sembahyang yang tidak dibaca Al-Fatihah di dalamnya.”
Mereka sependapat atas sunahnya membaca surat sesudah
Al-Fatihah dalam dua rakaat sembahyang Subuh dan dua rakaat pertama dari
sembahyang-sembahyang lainnya. Mereka berlainan pendapat tentang anjuran
membacanya pada rakaat ke tiga dan keempat. Menurut Imam Asy-Syafi’i ada dua
pendapat tentang hal itu. Menurut madzhab baru (aqaul jadid) ialah tidak disunahkan
dan menurut madzhab lama (qaul qadim) disunahkan.
Para sahabat kami mengatakan, jika kami
katakan bahwa ahl itu disunahkan, maka tiada perselisihan bahwa pembacaannya
tidak lebih dari pembacaan dalam dua rakaat pertama. Mereka berpendapat bahwa
pembacaan pada rakaat ketiga dan rakaat keempat adalah sama. Apakah pembacaan
pada rakaat pertama lebih panjang daripada rakaat kedua? Maka ada dua pendapat
berkenaan dengan perkara tersebut. Pendapat yang lebih kuat (sahih) diantara
keduanya menurut mayoritas sahabat kami adalah tidak lebih panjang. Pendapat
kedua, yaitu yang sahih menurut para pengkaji adalah lebih panjang.
Itulah pendapat yang terpilih berdasarkan hadits sahih:
.
Terjemahan:
“Bahwa Rasulullah saw lebih memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari pada
rakaat kedua.”
Faedahnya ialah supaya orang yang tertinggal bisa
mendapat rakaat pertama. Wallahua’lam.
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, apabila makmum masbuq mendapati dua rakaat
terakhir dari sembahyang Zuhur dan lainnya bersama imam, kemudian dia kerjakan
dua rakaat baginya, maka diutamakan baginya membaca Surat. Mayoritas sahabat
kami berkata demikian ini atas dua pendapat. Setengah dari mereka berkata, ini
menurut pendapat yang menganjurkan pembacaan surat dalam dua rakaat terakhir.
Manakala menurut lainnya tidaklah diutamakan. Pendapat yang lebih benar adalah
pendapat pertama supaya sembahyangnya tidak kosong dari surat. Wallahua’lam.
Ini hukum imam dan orang yang sembahyang sendiri.
Sementara makmum, maka jika sembahyangnya pelan bacaannya, wajiblah dia membaca
Al-Fatihah dan diutamakan baginya membaca surat. Jika sembahyang itu bacaannya
keras, sedang dia mendengar bacaan imam, tidaklah disukai baginya membaca
surat.
Adapun
tentang kewajiban membaca Al-Fatihah ada dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat
(sahih) adalah wajib dan pendapat kedua tidak wajib. Jika tidak mendengar
bacaan imam, maka yang sahih adalah wajib membaca Al-Fatihah dan diutamakan
membaca surat. Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat wajib membaca
Al-Fatihah da tidak sunah membaca Surat. Wallahua’lam.
Wajib membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dari
sembahyang jenazah. Manakala membaca Al-Fatihah dalam sembahyang nafilah, maka
mesti dilakukan. Para sahabat kami berlainan pendapat berkenaan dengan
penanamannya dalam sembahyang. Al-Qaffal berkata, dia dinamakan kewajiban.
Kawannya Qadhi Husain berkata, dia dinamakan syarat.
Orang lainnya berkata, dia dinamakan rukun dan itulah
yang benar. Wallahua’lam.
Orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dalam semua ini
maka hendaklah dia menggantinya dengan membaca ayat-ayat yang setara dengannya
dari Al-Qur’an. Jika tidak mempu membaca sesuatu, dia berdiri sekedar lamanya
bacaan Al-Fatihah kemudian rukuk. Wallahua’lam.
Masalah ke-59:
Tidaklah
mengapa jika menggabungkan dua surat dalam satu rakaat. Mengikut riwayat yang
terdapat di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Abdullah bin
Mas’ud ra, katanya: “Aku telah mengetahui surat-surat dimana pernah Rasulullah saw
menggabungkannya. Dia menyebut dua puluh surat dari Al-Mufashshal, setiap dua
surat dalam rakaat. Telah kami kemukakan dari jamaah Salaf pembacaan berkhatam
dalam satu rakaat.
Masalah ke-60:
Para
Ulam muslim sependapat atas sunahnya membaca dengan suara kuat dalam sembahyang
Subuh, Jumaat, dua hari raya dan dua rakaat dari sembahyang Maghrib dan Isyak,
sembahyang Tarawih dan Witir sesudahnya. Ini adalah mustahab bagi imam dan
orang yang sembahyang sendirian. Sementara makmum, maka ia tidak menguatkan
suaranya sesuai dengan ijmak. Sunah membaca dengan suara kuat dalam sembahyang
gerhana bulan dan tidak membaca dengan keras dalam sembahyang gerhana Matahari,
membaca dengan keras dalam sembahyang Istisqa’ (minta hujan) dan tidak membaca
dengan suara kuat dalam sembahyang jenazah, jika sembahyangnya berlangsung pada
waktu siang, demikian jugalah di malam hari menurut madzhab yang sahih dan
terpilih.
Tidak membaca dengan suara kuat dalam sembahyang nawafil
siang hari kecuali sembahyang Hari Raya dan Istisqa’. Para sahabat kami
berlainan pendapat berkenaan dengan sembahyang nawafil(sunah) di malam hari.
Pendapat yang lebih tepat adalah tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat
kedua membaca dengan suara kuat. Pendapt ketiga, yaitu yang lebih sahih dan didukung
bersama oleh Al-Qadhi Husain dan Al-Baghawi ialah membaca antara kuat dan
pelan.
Sekiranya
tertinggal sembahyang pada waktu malam, kemudian dia mengqadhanya pada waktu
siang atau tertinggal pada waktu siang dan mengqadahnya di malam hari, sama
saja dikira dalam bacaan kuat dan bacaan pelan waktu yang tertinggal itu
ataukah waktu qadha?
Berkenaan
dengan perkara tersebut ada dua pendapat dari pada sahabat kami. Pendapat yang
lebih tepat adalah dikira waktu qadha.
Sekiranya
membaca dengan kuat di tempat bacaan pelan atau membaca dengan pelan di tempat
bacaan kuat, maka sembahyangnya sah, tetapi melakukan perbuatan yang makruh dan
tidak sujud karena lupa.
Ingatlah
bahwa bersuara pelan dalam mereka membaca Al-Qur’an, takbir dan dzikir-dzikir lainnya
adalah dengan mengucapkannya sehingga terdengar oleh dirinya dan mesti
diucapkan kalau pendengarannya sehat dan tidak ada penghalangnya. Jika dirinya
tidak mendengar bacaannya, maka tidak sah bacaannya ataupun dzikir-dzikir lainnya
tanpa ada perselisihan.
Masalah ke-61:
Para
sahabat kami berkata, disunahkan bagi imam dalam sembahyang yang kuat bacaannya
agar diam empat kali dalam keadaan berdiri.
1.
Diam
sesudah takbiratul ihram untuk membaca doa tawajjuh dan para makmum membaca
takbir.
2.
Sesudah
Al-Fatihah diam sebentar saja antara akhir Al-Fatihah dan uacapanm Aamiin
supaya tidak timbul sangkaan bahwa Aamiin termasuk Al-Fatihah.
3.
Diam
lama setelah mengucapkan Aamiin.
4.
Setelah
membaca surat untuk memisahkan dengannya antara pembacaan surat dan takbir
untuk melakukan rukuk.
Masalah ke-62:
Disunahkan
bagi setiap pembaca, sama saja dalam sembahyang atau di luar sembahyang, jika
selesai membaca Al-Fatihah agar menguacapkan Aamiin. Hadits-hadits berkenaan
dengan perkara tersebut banyak dan mansyur. Telah kami kemukakan dalam bab
sebelumnya bahwa disunahkan memisahkan antara akhir Al-Fatihah dan ucapan
Aamiin dengan diam sebentat. Aamiin artinya: “Ya Allah, kabulkanlah. Tidak
dinafikan memang ada orang yang berpendapat, “Demikianlah, maka jadilah.”
Ada
orang yang berpendapat, lakukanlah. Ada orang yang berpendapat artinya tidak
ada seorangpun yang dapat melakukan ini selain Engkau.
Tidak dinafikan memang ada orang yang berpendapat artinya
“Jangan sia-siakan harapan kami.” Ada orang yang berpendapat, artinya adalah
“Ya Allah, selamatkanlah kami dengan kebaikan.” Ada orang yang berpendapat, ia
pelindung dari Allah swt untuk hamba-hamba-Nya dengan menolak berbagai bencana
dari mereka. Ada orang yang berpendapat, ia adalah derajat di Syurga yang
dianugerahkan kepada siapa yang mengucapkannya. Ada orang yang berpendapat, ia
adalah salah satu nama Allah swt Para pengkaji menolak pendapat ini. Ada orang
yang berpendapat, ia adalah nama Ibrani yang tidak diarabkan. Abu Bakar
Al-Warraq berkata, ia adalah kekuatan untuk berdoa dan permintaan turunnya
rahmat. Ad orang yang berpendapt selain itu.
Terdapat beberapa cara mengucapkan Aamiin. Para ulama
berkata, yang paling fasih adalah Aamiin dengan memanjangkan Hamzah dan
meringankan mim, cara kedua dengan memendekkannya. Kedua pendapat ini mansyur.
Cara ketiga dengan imaalah diserta mad. Al-Wahidi menceritakan hal itu dari
Hamzah dan Al-Kisaa’i. Cara keempat dengan tasydid pada mim disertai mad.
Al-Wahidi menceritakannya dari Al-Hasan dan Al-Husain bin Al-Fudhail.
Katanya: itu ditegaskan oleh apa yang diriwayatkan dari
Jaafar Ash-Shidiq ra, katanya: Artinya adalah kami menuju kepada-Mu sedang
Engkau Maha Pemurah hingga tidak menyia-nyiakan orang yang menuju. Ini pendapat
Al-Wahidi. Cara keempat ini asing sekali. Kebanyakan ahli bahasa menganggapnya
sebagai kesalahan ucapan dari golongan orang awam.
Sebagian dari sahabat kami berpendapat, barangsiapa
mengucapkan cara keempat, batallah sembahyangnya. Ahli bahasa Arab berkata,
haknya dalam bahasa Arab adalah waqaf (berhenti) karena kedudukannya seperti
suara. Jika disambung, huruf nuun diberi harakat fathah karena adanya pertemuan
dua sukun sebagaimana dia diberi harakat fathah pada Aina dan Kaifa, maka tidak
diberi harakat kasrah karena beratnya bacaan kasrah sesudah ya’. Inilah
penjelasan yang berkaitan dengan lafaz Aamiin.
Saya telah menjelaskan hal itu dengan banyak bukti dan
pendapat tambahan dalam kitab Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat.
Para ulama berkata, diutamakan mengucapkan Aamiin dalam
sembahyang bagi imam, makmum dan orang yang sembahyang sendirian. Imam dan
orang yang sembahyang sendirian membaca Aamiin dengan suara kuat dalam
sembahyang yang jahar bacaannya. Mereka berlainan pendapat berkenaan dengan
bacaan kuat oleh makmum. Pendapat yang sahih ialah membaca dengan suara kuat.
Pendapat kedua tidak membaca dengan suara kuat. Pendapat ketiga membaca dengan
suara kuat jika banyak jumlahnya. Kalau
tidak banyak, maka tidak membaca dengan kuat. Ucapan Aamiin oleh makmum
bersamaan dengan ucapan Aamiin oleh imam, tidak sebelumnya ataupun sesudahnya
sesuai dengan sabda Nabi saw dalam hadits sahih:
.
Terjemahan:
“Jika imam mengucapkan ‘Wa ladhdhaalliin,’ ucapkanlah ‘Aamiin’ karena
barangsiapa yang ucapan ‘Aamiin’nya bertepatan dengan ucapan ‘Aamiin’ para
malaikat, maka Allah mengampuni dosanya yang terdahulu.”
Manakala sabda Nabi saw dalam hadits sahih: “Jika imam
mangucapkan Aamiin, maka ucapkanlah Aamiin.” Artinya ialah apabila ingin
mengucapkan Aamiin.
Para sahabat kami berkata, tidak ada dalam sembahyang
suatu tempat yang diutamakan agar ucapan makmum bersamaan dengan ucapan imam,
kecuali dalam ucapan Aamiin. Sementara dalam ucapan-ucapan lainnya, maka ucapan
makmum datang kemudian setelah imam.
Masalah ke-63:
Sujud
Tilawah. Para ulama sependapat atas perintah melakukan Sujud Tilawah. Mereka
berlainan pendapat sama saja perintah itu merupakan sunah atau wajib?
Mayoritas ulama mengatakan, tidak wajib, tetapi mustahab
(sunah). Ini pendapat Umar Ibnu Al-Khattab ra, Ibnu Abbas, Imran bin Hushairi,
Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tahur, Dawud dan lainnya.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, hukumnya wajib. Dia
berhujah dengan firman Allah swt:
.
Terjemahan:
“Mengapa mereka tidak beriman. Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka,
mereka tidak bersujud.”
(QS Al-Insyiqaaq 84:20-21)
Mayoritas ulam berhujah dengan hadsi sahih dari Umar Ibnu
Al-Khattab ra, “Bahwa dia membaca di atas mimbar pada hari Jumaat surat An-Naml
hingga sampai ayat sajadah, dia turun kemudian sujud dan orang lain pun sujud.
Sehingga pada hari Jumaat berikutnya dia membacanya hingga tiba pada ayat
sajadah, katanya: ‘Wahai para manusia. Sesungguhnya kita melalui tempat sujud,
maka barangsiapa yang sujud, dia telah melakukan sesuatu yang benar. Dan siapa
yang tidak sujud, dia tidak berdosa,’ dan Umar tidak sujud.”
(Riwayat
Bukhari)
Perbuatan
dan perkataan Umar ra di majelis ini adalah dalil yang jelas.
Sementara
jawaban terhadap ayat yang dijadikan hujjah oleh Abu Hanifah ra adalah jelas
karena yang dimaksud adalah mencela mereka yang meninggalkan sujud sebagai
ungkapan pendustaan, sebagaimana firman Allah swt sesudahnya:
.
Terjemahan: “Bahkan
orang-orang kafir itu mendustakan (nya)”
(QS Al-Insyiqaaq 84:22)
Diriwayatkan dalam Shahihain dari Zaid bin Thabit ra.
“bahwa dia membca di hadapan Nabi saw. ‘Wa-Najmi’ dan beliau tidak sujud.”
Diriwayatkan dalam Shahihain “bahwa Nabi saw sujud ketika
membaca surat An-Najm.” Maka semua itu menunjukkan bahwa Sujud Tilawah tidak
wajib.
Masalah ke-64:
Penjelasan
tentang jumlah Sujud Tilawah dan tempatnya. Manakala jumlahnya sebagaimana
dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah danm mayoritas ulama adalah 14
sajadah, yaitu: Surat Al-A’raaf, Ar-Ra’ad, An-Nahl. Al-Israa’, Maryam, dalam
surat Al-Hajj ada dua sujud, Al-Furqan, An-Naml, Alif Laam Tanziil, Haa Mim
As-Sajadah, Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.
Sementara
sajadah dalam surat Shaad, maka hukumnya mustahab dan tidak ditekankan untuk
melakukan sujud. Diriwayatkan dalah Shahih Muslim dari Ibnu Abbas ra, katanya:
“Sajadah dalam surat Shaad bukanlah sujud yang ditekankan dan aku telah melihat
Nabi saw sujud pada ayat itu. “Ini adalah madzhab Asy’Asy-Syafi’i dan orang
yang berpendapat seperti dia.
Abu
Hanifah berkata, jumlahnya ada 14 sajadah, tetapi dia menggugurkan sajadah
kedua surat Al-Hajj dan menetapkan sajadah dalam surat Shaad serta
menjadikannya sebagai sajadah yang diharuskan sujud. Diriwayatkan dari Ahmad
ada dua riwayat. Yang satu seperti Asy’Asy-Syafi’i dan yang kedua ada 15
sajadah dengan tambahan dalam surat Shaad. Ini adalah pendapat Abul Abbas bin
Syuraih dan Abu Ishaq Al-Marzuki dari pengikut Asy-Syafi’i dan paling terkenal
dari keduannya adalah 11 sajadah. Dia menggugurkan sajadah dalam surat An-Najm,
Al-Insyiqaaq dan Al-‘Alaq.
Ini adalh pendapat lama dari Asy-Syafi’i dan yang sahih
adalah apa yang kami kemukakan. Hadits-hadits yang sahih menunjukkan hal itu.
Manakala tempat Sujud Tilawah terdapat pada:
1.
Akhir
Surat Al-A’raf:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang disisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan
menyembah Allah swt dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka
bersujud.”
(QS Al-A’raf 7:206)
2.
Dalam
surat Ar-Ra’d ialah sesudah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
.
Terjemahan:
“… pada waktu pagi dan petang hari.”
(QS Ar-Ra’d 13:15)
3.
Dalam
surat An-Nahl:
.
Terjemahan:
“…dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
(QS An-Nahl 16:50)
4.
Dalam
Al-Israa’:
.
Terjemahan:
“… dan mereka bertambah khusyuk.”
(QS Al-Israa’ 17:109)
5.
Dalam
Surat Maryam:
.
Terjemahan:
“… maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangsis.”
(QS Maryam 19:58)
6.
Sajadah
pertama dari surat Al-Hajj ialah:
.
Terjemahan:
“…Sesungguhnya Allah swt berbuat apa yang dia kehendaki.”
(QS Al-Hajj 22: 18)
7.
Sajadah
kedua dalam surat Al-Hajj:
.
Terjemahan:
“…berbutlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.”
(QS Al-Hajj 22:77)
8.
Dalam
surat Al-Furqan:
.
Terjemahan:
“…dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh dari (iman).”
(QS Al-Furqan 25:60)
9.
Dalam
surat An-Naml:
.
Terjemahan:“…
Tuhan Yang Mempunyai ‘Arasy yang agung.”
(QS An-Naml 27:26)
10. Dalam
surat Alif Laam Mim Berita:
.
Terjemahan:
“… sedang mereka tidak menyombongkan diri.”
(QS As-Sajadah 32: 5)
11. Dalam Surat Haa Mim:
.
Terjemahan:
“…sedang mereka tidak merasa jemu.”
(QS Fushshilat 41:15)
12. Akhir surat An-Najm:
.
Terjemahan:
“Maka bersujudlah kepada Allah swt dan sembahlah (Dia).”
(QS An-Najm 53:62)
13. Dalam surat Al-Insyiqaaq:
.
Terjemahan:
“… mereka tidak sujud.”
(QS Al-Insyiqaaq 84:21)
14. Dan bacalah di akhir surat Al-‘Alaq (QS ke-19)
.
Terjemahan:
“Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan
dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (QS Al-‘Alaq 96:19)
Tidak
ada perselisihan yang berarti berkenaan dengan suatu tempatnya, kecuali
berkenaan dengan sajadah yang terdapat dalam surat Haa Mim. Dalam masalah ini
para ulama berbeda pendapat. Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat
bahwa tempatnya adalah apa yang kami sebutkan, yaitu sesudah yas-amuuna. Ini
adalah madzhab Said Ibnu Musayyab, Muhammad bin Sirin, Abu Waail Syaqiq bin
Salamah, Sufyan Ath-Thauri, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq bin Rahaqaih. Orang lainnya
berpendapat bahwa tempatnya sesudah firman Allah swt In Kuntum iyyaahu ta’
buduun (QS Fushshilat: 37).
Ibny
Nundzir menceritakannya dari Umar Ibnul Khattab, Hasan Al-Bashri dan para
pengikut Abdullah bin Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’I, Abu Shahih, Thalhah bin
Masharif, Zubaid Ibnul Harith, Malik bin Anas dan Al-Laith bin Sa’ad. Ini
adalah pendapat sebagian pengikut Asy-Syafi’i, Al-Baghawi menceritakannya dalam
At-Tahdziib.
Semenatara
pendapat Abul Hasan Ali bin Said Al-Abdi salah seorang sahabat kami dalam kitabnya
Al-Kifayah berkenaan dengan perselisihan fuqaha di kalangan kami, bahwa sajadah
dalam surat An-Naml ayat 25, adalah pada firman Allah swt, Wa ya’lamu
maayukhfuuna wamaa yu’linuun, berkata bahwa iniadalah madzhab sebagian besar
fuqaha.
Malik
berkata, bahwa sajadah itu pda firman Allah swt, Rabbul ‘arsyil ‘azhiim (QS An-Naml:
26)
Pendapat
ini yang dipetik dari madzhab kami dan madzhab sebagian besar fuqaha yang tidak
dikenal dan tidak diterima, tetapi merupakan kesalahan yang nyata. Inilah kitab-kitab
para sahabat kami yang menegaskan bahwa sajadah itu pada firman Allah swt,
Rabbul ‘arsyil ‘Azhiim.
Masalah ke-65:
Hukum
Sujud Tilawah sama dengan hukum sembahyang, nafilah dalam pensyaratan suci dari
hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup aurat. Maka haram Sujud Tilawah
pada orang yang di badan atau bajunya terdapat najis yang tidak dapat
dimaafkan. Dan haram atas orang yang berhadas, kecuali jika dia bertayamum di
suatu tempat yang diharuskan bertayamum.
Diharamkan
pula menghadap selain kiblat, kecuali dalam perjalanan di mana bisa menghadap
selain kiblat dalam sembahyang nafilah. Semua ini disetujui oleh para ulama.
Masalah ke-66:
Jika
membaca sajadah (dalam Surat Shaad), orang yang berpendapat bahwa dalam surat
itu merupakan ketentuan tempatnya Sujud Tilawah, maka dia berkata, bisa sujud
sama saja ketika dia membacanya di dalam sembahyang atau di luarnya sebagaimana
sajadah-sajadah lainnya. Manakala Asy-Syafi’i dan lainnya berpendapat bahwa
pada tempat itu tidak termasuk tempat tujuan Sujud Tilawah, maka mereka
berkata, apabila membacanya di luar sembahyang, diutamakan baginya sujud karena
Nabi saw sujud pada tempat itu sebagaimana kami kemukakan.
Jika
membacanya dalam sembahyang, dia tidak sujud. Jika sujud, sedang dia tidak tahu
atau lupa, tidaklah batal sembahyangnya, tetapi dia lakukan sujud Sahwi. Jika
dia mengetahui, maka pendapat yang shahih adalah batal sembahyangnya karena dia
menambah dalam sembahyang sesuatu yang bukan termasuk dari sembahyang, maka batallah
sembahyangnya. Sebagaimana jika dia lakukan sujud syukur, maka sujud itu
membatalkan sembahyangnya tanpa ada perselisihan.
Pendapat
kedua adalah tidak batal karena berkaitan dengan sembahyang. Sekiranya imamnya
sujud pada sajadah dalam surat Shaad karena dia meyakininya termasuk sajadah
yang ditekankan untuk sujud sedang makmum tidak menyakininya, maka dia tidak
mengikuti imam, tetapi memsisahkan diri daripadanya atau menunggunya sambil
berdiri. Jika menunggunya, apakah makmum itu melakukan sujud Sahwi? Berkenaan
dengan perkara tersebut ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah
tidak sujud.
Masalah ke-67:
Berkenaan
dengan orang yang disunahkan untuk Sujud Tilawah. Ingatlah bahwa disunahkan
melakukan Sujud Tilawah bagi pembaca Al-Qur’an yang bersuci dengan air atau
tanah, sama saja dalam sembahyang atau di luarnya. Disunahkan pula bagi orang
yang mendengar dan orang yang mendengar tanpa sengaja. Bagaimanapun Imam Asy-Syafi’i
berkata, bahwa saya tidak menekankan ke atasnya sebagaimana saya tekankan bagi
orang yang mendengar. Inilah pendapat yang shahih.
Imamul Haramain sahabat kami berkata, bahwa orang yang
mendengar tidak perlu sujud. Pendapat yang mansyur adalah pendapat pertama.
Tiada bedanya sama saja pembacanya dalam sembahyang atau di luar sembahyang disunahkan
bagi orang yang mendengar ataupun yang mendengar untuk sujud. Sama saja
pembacanya sujud atau tidak. Inilah pendapat yang shahih dan mansyur menurut
para sahabat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah juga menyatakan demikian. Sahibul Bayaan
dari Ash-Habusy Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa orang yang mendengar bacaan orang
yang membaca di dalam sembahyang, tidak perlu sujud.
Ash-Shaidalani
sahabat Asy-Syafi’i berkata, bahwa tidak disunahkan sujud, kecuali jika
pembacanya sujud. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat pertama. Tidak ada
bedanya sama saja pembacanya seorang muslim laki-laki yang sudah baligh dan
bersuci atau sorang kafir atau anak kecil atau berhadas atau seorang perempuan.
Ini adalah pendapat yang sahih menurut pendapat kami dan Abu Hanifah juga
berkata demikian.
Sebagian
sahabat kami berkata, bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang kafir, anak
kecil, orang yang berhadas dan orang yang mabuk. Sejumlah ulama Salaf berkata,
bahwa tidak perlu sujud untuk bacaan orang perempuan. Ibnul Munzir
menceritakannya dari Qatadah, Malik dan Ishaq. Pendapat yang lebih benar adalah
apa yang kami kemukakan.
Masalah ke-68:
Tentang
meringkas sujud Tilawah. Yang dimaksud adalah membaca satu atau dua ayat,
kemudian sujud. Ibnul Mundzir menceritakan dari Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri,
Muhammad bin Sirin, An-Nakha’I, Ahmad dan Ishaq bahwa mereka tidak menyukai hal
itu. Diriwayatkan daripada Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Thsaur bahwa
hal itu tidak ada masalah denganya dan ini sesuai dengan madzhab kami.
Masalah ke-69:
Jika
sembahyang sendirian, dia bisa sujud untuk bacaan dirinya sendiri. Seandainya
dia meninggalkan Sujud Tilawah dan rukuk, kemudian ingin sujud untuk tilawah
sesudahnya, maka tidak bisa. Jika sudah merebahkan diri untuk rukuk tetapi
belum sampai ke batas rukuk, maka bisa melakukan Sujud Tilawah. Jika dia
lakukan dengan mengetahuinya, batallah sembahyangnya. Jika dia sudah merebahkan
dirinya untuk sujud Tilawah, kemudian teringat dan berdiri semula, maka hal itu
bisa.
Sementara
jika orang yang sembahyang sendirian mendengar bacaan seorang pembaca dalam
sembahyang atau lainnya, maka dia tidak bisa sujud karena mendengarnya. Jika dia
sujud dengan mengetahui, batallah sembahyangnya.
Manakala
orang yang sembahyang berjamaah, apabila dai sebagai imam, maka dia seprti
orang yang sembahyang sendirian. Jika Imam Sujud Tilawah karena bacaannya
sendiri, wajiblah atas makmum untuk sujud bersamanya. Jika tidak dilakukannya, batallah
sembahyangnya, Jika imam tidak sujud, maka makmum tidak bisa sujud. Jika makmum
sujud, batallah sembahyangnya. Bagaimanapun diutamakan baginya untuk sujud jika
selesai sembahyang dan tidak ditekankan.
Sekiranya
imam sujud sedang makmum tidak tahu hingga imam mengangkat kepalanya dari
sujud, maka dia dimaafkan atas ketertinggalannya dan dia tidak bisa sujud.
Sekiranya dia mengetahui sedang imam dalam keadaan sujud, wajiblah dia sujud.
Sekiranya dia rebahkan diri untuk sujud, kemudian imam mengangkat kepalanya
ketika dia sedang bergerak untuk sujud, maka dia mesti berdiri semula
bersamanya dan tidak bisa sujud.
Demikian
orang lemah yang merebahkan untuk sujud bersama imam, apabila imam bangkit dari
sujud sebelum orang yang lemah itu sampai ke tempat sujud lantaran cepatnya
imam dan lambatnya makmum yang lemah itu, maka dia kembali bersamanya dan tidak
bisa meneruskan sujud.
Sementara jika orang yang sembahyang itu sebagai makmum,
maka dia tidak bisa sujud karena bacaannya sendiri ataupun karena bacaan selain
imamnya. Jika dia sujud, batallah sembahyangnya. Dan makruh baginya membaca
ayat sajadah dan mendengar pada bacaan selain imamnya.
Masalah ke-70:
Waktu
sujud Tilawah. Para Ulama berkata, bahwa sujud Tilawah itu mesti dilakukan
sesudah ayat sajadah yang dibaca atau didengarnya. Jika dia tangguhkan dan
tidak lama selang waktunya, dia bisa sujud. Jika lama selang waktunya, maka
telah berlalu waktu sujudnya dan tidak perlu mengqadha menurut madzhab yang
sahih dan masyhur, sebagaimana sembahyang gerhana matahari tidak bisa di qadha.
Salah seorang sahabat kami berkata, bahwa ada pendapat lemah yang mengatakan
bahwa sujud itu bisa di qadha sebagaimana mengqadha sunah-sunah rawatib,
seperti sunah Subuh, Zuhur dan lainnya.
Kalau pembaca atau pendengarnya berhadas ketika membaca
sajadah, kemudian bersuci dalam waktu yang tidak lama, dia bisa sujud. Jika
bersucinya terlambat hingga lama selang waktunya, maka pendapat yang sahih dan
terpilih yang ditetapkan oleh sebagian besar ulama adalah tidak sujud.
Ada orang yang berpendapat bahwa dia bisa sujud. Ini
adalah pilihan Al-Baghawi sahabat kami. Dia pun bisa menjawab muadzin (orang
yang azan) setelah selesai sembahyang. Hal yang dikira berkenaan dengan lamanya
selang waktu dalam hal ini adalah menurut kebiasaan sebagai madzhab terpilih. Wallahua’lam.
Masalah ke-71:
Jika
seluruh ayat sajadah atau beberapa sajadah dibaca dalam suatu majelis, maka dia
sujud pada setiap sajadah tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulangi bacaan
satu ayat dalam beberapa majelis, maka dia sujud untuk setiap kali sajadah
tanpa ada perselisihan. Jika dia mengulanginya dalam satu majelis, maka ada
beberapa pandangan. Jika tidak sujud untuk kali pertama, cukuplah baginya
sekali sujud untuk semuanya. Jika dia sujud untuk kali yang pertama, maka ada
tiga pendapat berkenaan dengan puasaerkara tersebut. cara yang lebih sahih
adalah sujud sekali untuk setiap bacaan karena adanya sebab baru setelah
memenuhi hukum yang pertama.
Pendapat kedua, cukuplah baginya sujud setelah bacaan
pertama untuk semuanya. Ini adalah pendapat Ibnu Surajj dan MerekaAzhab Abu
Hanifah rahimahullah. Penulis Al-‘Uddah sahabat kami berkata, inilah yang
difatwakan. Asy-Syeikh Nashr Al-Maqdisi Az-Zaahid sahabat kami memilih pendapat
ini.
Pendapat
ketiga, jika selang waktunya berlangsung lama, dia bisa sujud. Kalau tidak,
cukuplah baginya sujud karena sajadah
yang pertama. Jika satu ayat dibaca berulang-ulang dalam sembahyang dan kalau
hal itu dilakukan dalam satu rakaat, maka seperti satu majelis. Kalau
berlangsung dalam dua rakaat, maka dia seperti dua majelis hingga dia ulangi
sujudnya tanpa ada perselisihan.
Masalah ke-72:
Jika
membaca sajadah sambil menaiki kendaraan dalam perjalanan, dia bisa sujud
dangan memberi isyarat. Ini adalah madzhab kami, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad, Ahmad, Zufar, Dawud dan lainnya. Seorang sahabat Abu Hanifah
berkata dia, tidak perlu sujud. Pendapat yang lebih banar adalah madzhab
mayoritas ulama. Manakala orang yang menaiki kendaraan di tempat menetap, maka
dia tidak bisa sujud dengn memberi isyarat.
Masalah ke-73:
Jika
dia membaca ayat sajadah dalam sembahyang sebelum Al-Fatihah, maka dia bisa
sujud. Lain halnya jia dia membaca dalam rukuk atau sujud, maka dia tidak bisa
sujud. Karena berarti adalah tempat membaca. Sekiranya dia membaca sajadah,
kemudian merebahkan diri untuk sujud, kemudian dia ragu sama saja membaca
Al-Fatihah atau belum, maka dia bisa sujud untuk tilawah. Kemudian dia berdiri
lagi dan membaca Al-fatihah karena Sujud Tilawah tidak bisa ditangguhkan.
Masalah ke-74:
Jika
seseorang membaca sajadah dengan bahasa Parsi, maka menurut pendapat kami tidak
perlu sujud, sebagaimana jika ayat sajadah itu ditafsirkan. Namun Abu Hanifah
berpendapat bisa sujud.
Masalah ke-75:
Jika
orang yang mendengar ayat sajadah itu sujud bersama pembaca, dia tidak terikat
dengannya dan tidak berniat mengikutinya dan dia bisa bangkit dari sujud
sebelumnya.
Masalah ke-76:
Tidaklah
makruh pembacaan ayat sajadah oleh imam, menurut pendapat kami, sama saja dalam
sembahyang yang pelan bacaannya atau dalam sembahyang yang jahar bacaannya dan
dia bisa sujud jika membacanya.
Dalam hal ini Imam Malik berpendapat, bahwa sujud tidak
disukai sama sekali. Abu Hanifah berpendapat, Makruh sujud Tilawah dalam
sembahyang yang pelan bacaannya, bukan sembahyang yang jahar bacaannya.
Masalah ke-77:
Menurut
pendapat kami tidak makruh Sujud Tilawah dalam waktu-waktu yang dilarang
sembahyang. Ini juga merupakan pendapat Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Salim bin
Abdullah, Al-Qasim, Atha’, Ikrimah, Abu Hanifah, Ashabur Ra’yi dan Malik dalam
salah satu dari dua riwayat. Sejumlah ulama tidak menyukai hal itu. Diantara
mereka adalah Abdullah bin Umar, Sa’id, Ibnul Musayyab dan Malik dalam riwayat
lain, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Thaur.
Masalah
ke-78:
Rukuk tidak bisa manggantikan kedudukan
sujud Tilawah dalam keadaan ikhtiar. Ini mazhab kami dan madzhab mayoritas
Ulama Salaf dan Kalaf. Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, rukuk bisa
menggantikannya. Dalil yang dipakai oleh mayoritas adalah mengkiaskannya dengan
sujud dalam sembahyang. Sementara orang yang tidak sanggup sujud, maka dia memberi
isyarat untuk Sujud Tilawah sebagaimana dia memberi isyarat untuk sujud dalam
sembahyang.
Masalah ke-79:
Tentang
sifat sujud. Ingatlah bahwa orang yang melakukan sujud Tilawah mempunyai dua
keadaan. Yang pertama, di luar sembahyang dan yang kedua di dalam sembahyang.
Manakala
keadaan pertama, maka jika dia ingin sujud, dia niatkan Sujud Tilawah dan
melakukan takbiratul ihram dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua
bahunya sebagaimana dia melakukan takbiratul ihram untuk sembahyang. Kemudian
dia takbir lagi untuk Sujud Tilawah tanpa mengangkat tangan. Takbir yang kedua
ini mustahab, bukan syarat, seperti takbir sujud untuk sembahyang. Sementara
takbir yang pertama, yaitu takbiratul ihram, maka ada tiga pendapat dari
sahabat-sahabat kami.
Pendapat
pertama adalah yang paling tepat yaitu pendapat sebagian besar dari mereka,
bahwa takbir yang pertama (takbiratul ihram) merupakan rukun dan tidak sah
sujud Tilawah kecuali dengannya.
Pendapat
kedua adalah mustahab. Sekiranya takbir itu ditinggalkan sujudnya tetap sah. Ia
adalah pendapat Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini.
Pendapat ketiga tidak mustahab. Wallahua’lam.
Kemudian, jika orang yang ingin sujud itu dalam keadaan
berdiri, dia pun mengucapkan takbiratul ihram, kemudian takbir untuk sujud
ketika merebahkan diri ke tempat sujud. Jika dalam keadaan duduk, maka
jamaah daripada sahabat kami
berpendapat: Disunahkan baginya berdiri, kemudian takbiratul Ihram dalam
keadaan berdiri kemudian merebahkan diri untuk sujud, sebagaimana halnya ketika
permulaan dalam keadaan berdiri.
Dalil pendapat ini adalah mengkiaskan takbiratul ihram
dan sujud dalam sembahyang. Orang yang menetapkan ini antara lain imam-imam
sahabat kami Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan AlQadhi Husain dan kedua
sahabatnya ini adalah penulis At-Titimmah dan At-Tahdzib dan Imam Al-Muhaqiq
Abul Qasim Ar-Rafi’i. Imamul Haramainmenceritakannya dari ayahnya Asy-Syeikh
Abu Muhammad.
Kemudian
dia mengingkarinya dan berkata, saya tidak melihat dasar dikemukakannya alasan
perkara ini. Apa yang dikatakan oleh Imamul Haramainini adalah benar. Tidak ada
riwayat yang sahih berkenaan dengan hal ini dari pada Nabi saw dan tidak pula
dari ulama Salaf yang bisa dibuat sandaran. Mayoritas dari sahabat kami tidak
ada yang menyebutnya. Wallahua’lam.
Kemudian
ketika sujud dia mesti memperhatikan adab-adab sujud dalam bentuk (haiah) dan
tasbihnya. Manakala berkenaan dengan haiahnya, maka dia letakkan kedua
tangannya setakat kedua bahunya di atas tanah dan merapatkan jari-jemarinya
serta membentangkannya ke arah kiblat dan membentangkan jari-jemarinya dari
genggaman sebagaimana orang yang melakukan sujud dalam sembahyang. Dia jauhkan
kedua sikunya dari kedua sisinya dan mengangkat perutnya dari kedua pahanya
kalau seorang lelaki. Jika dia seorang perempuan, maka dia tidak menjauhkannya.
Orang yang sujud mengangkat bagian bawahnya di atas kepalanya dan merapatkan
dahi dan hidungnya di atas mushalla (alas tempat sembahyang) dan tenang dalam
sujudnya.
Sementara tasbih di dalam sujud, maka para sahabat kami
berpendapat, dia bertasbih seperti bertasbih dalam sujud sembahyang. Dia
ucapkan tiga kali Subhana Rabbiyal A’la tiga kali.
Kemudian dia ucapkan:
.
Terjemahan:
“Ya Allah, kapada-Mu aku sujud, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku
berserah diri. Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuk
rupanya, membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya.
Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”
Dan
dia ucapkan Subbuhun Qudduusun Rabbul malaaikati warruuh.
Semia
ini diucapkan orang yang sembahyang dalam sujudnya ketika sembahyang. Para
sahabat kami juga berkata, diutamakan mengucapkan:
.
Terjemahan:
“Ya Allah, tulislah bagiku dengan sujud ini pahala di sisi-Mua dan jadikanlah
dia bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, hapuskan dosa dariku dan terimalah dia
dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud as.”
Doa
ini khusus bagi sujud ini (Sujud Tilawah), maka patutlah dia selalu dibaca.
Al-Uatad
Isma’il Adh-Dharir berkata dalam kitabnya At-Tafsir bahwa pilihan Asy-Syafi’i
ra dalam doa sujud Tilawah adalah mengucapkan:
.
Terjemahan:
“Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.”
(QS Al-Isra’ 17:108)
Petikan dari Asy-Syafi’i ini aneh sekali dan ia adalah
baik. Karena zahir Al-Qur’an menghendaki ucapan pujian di dalam sujud oleh
pelakunya. Maka disunahkan menggabungkan antara dzikir-dzikir ini seluruhnya
dan berdoa berkenaan dengan urusan-urusan akhirat dan dunia yang diinginkannya.
Jika dia batasi pada sebagiannya, sudah cukup bacaan tasbihnya. Sekiranya tidak
bertasbih dengan sesuatu apa pun, tercapailah sujudnya seperti halnya sujud
dalam sembahyang.
Kemudian ketika selesai dari bertasbih dan berdoa, dia
angkat kepalanya sambil bertakbir.
Apakah Sujud Tilwah memerlukan salam? Terdapat dua
pendapat yang masyhur dari Asy-Syafi’i. Cara yang lebih sahih dari keduanya
menurut mayoritas sahabatnya ialah dia memerlukan salam karena memerlukan
takbiratul ihram dan menjadi seperti sembahyang jenazah. Di didukung oleh
riwayat Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud ra
bahwa apabila membaca ayat sajadah, dia pun sujud, kemudian memberi salam.
Pendapat kedua, tidak memerlukan salam seperti Sujud
Tilawah dalam sembahyang karena hal itu tidak dinukil dari pada Nabi saw.
Berdasarkan
pendapat pertama, apakah dia memerlukan tasyahud? Terdapat dua pendapat
berkenaan dengan perkara tersebut. Cara yang lebih sahih dari keduanya ialah
tidak perlu tasyahud, sebagaimana tidak perlu berdiri.
Salah
seorang sahabat kami menggabungkan antara dua masalah dan berkata, berkenaan
dengan tasyahud dan salam ada tiga pendapat:
1.
Pendapat
yang lebih sahih ialah mesti memberi salam tanpa membaca tasyahud.
2.
Pendapat
kedua, dia tidak memerlukan salah satu dari keduanya.
3.
Dan
pendapat ketiga ialah mesti melakukan keduanya.
Mereka
yang berpendapat harus memberi salam, antara lain Muhammad bin Sirin, Abu
Abdurrahman As-Salami, Abul Ahwash, Abu Qalabah dan Ishaq bin Rahawain.
Mereka
yang berpendapat tidak perlu memberi salam, antara lain Hasan Al-Bashri, Said
bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’I, Yahya bin Wathab dan Ahmad. Semua ini dalam
keadaan pertama, yaitu sujud di luar sembahyang. Keadaan kedua, yaitu melakukan
Sujud Tilawah dalam sembahyang, maka dia tidak perlu mengucapkan takbiratul
ihram dan diutamakan bertakbir untuk sujud dan tidak mengangkat kedua tangannya
serta bertakbir untuk bangkit dari sujud. Inilah pendapat yang sahih dan
masyhur yang didukung bersama oleh mayoritas ulama.
Abu
Ali bin Abu Huarirah salah seorang sahabat kami berkata, dia tidak perlu
bertakbir untuk sujud ataupun untuk bangkit dari sujud. Pendapat yang terkenal
adalah pendapat pertama.
Manakala
adab-adab dalam haiah dan tasbih dalam Sujud Tilawah adalah seperti dalam sikap
sujud yang lalu di luar sembahyang. Kecuali jika orang yang sujud itu menjadi
imam, maka hendaklah dia tidak memanjangkan tasbih, kecuali jika dia tahu dari
keadaan para makmuk bahwa mereka lebih suka memanjangkannya.
Kemudian,
ketika bangkit dari sujud, dia berdiri dan tidak duduk untuk diam sejenak tanpa
ada perselisihan. Ini adalah masalah yang aneh dan jarang orang menyebutnya. Di
antara yang menyebutnya adalah Al_Qadhi Husain, Al-Baghawi dan Ar-Rafi’i. Ini
berlainan dengan sujud sembahyang.
Pendapat yang sahih dan disebutkan oleh Asy-Syafi’i
dan terpilih yang tercatat dalam hadits-hadits sahih riwayat Bukhari dan lainnya
adalah anjuran untuk duduk istirahat sesudah sujud yang kedua dari rakaat
pertama dalam setiap sembahyang dan pada rakaat ketiga dalam sembahyang yang
rakaatnya empat.
Kemudian, apabila bangkit dari Sujud Tilawah,
maka harus berdiri tegak. Disunahkan ketika berdiri tegak adalah membaca
sesuatu, kemudian rukuk. Jika berdiri tegak, kemudian rukuk tanpa membaca
sesuatu, maka hukumnya bisa.
Masalah ke-80:
Waktu-waktu
terpilih membaca Al-Qur’an. Ingatlah bahwa membaca Al-Qur’an yang paling baik adalah
di dalam sembahyang. Manurut madzhab Asy-Syafi’i dan lainnya, bahwa berdiri
lama dalam sembahyang lebih baik daripada sujud yang lama.
Sementara membaca Al-Qur’an di luar sembahyang, maka yang
paling utama adalah pada waktu malam dan dalam separuh terakhir dari waktu
malam lebih baik daripada separuh pertama. Membacanya di antara Maghrib dan
Isyak disukai. Manakala pembacaan pada waktu siang, maka yang paling utama
adalah setelah sembahyang Subuh dan tidak ada makruhnya membaca Al-Qur’an pada
waktu-waktu yang mengandung makan.
Sementara yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari
Mu’adz bin Rifa’ah dari guru-gurunya bahwa mereka tidak suka membaca Al-Qur’an
sesudah Ashar. Waktu itu adalah waktu orang Yahudi belajar. Riwayat itu tidak bisa
diterima dan tidak ada dasarnya.
Hari-hari yang terpilih ialah Jumaat, Senin, Kamis dan
hari Arafah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari
bulan Dzulhijjah; sedang bulan yang paling utama dalah bulan Ramadhan.
Masalah ke-81:
Jika
pembaca merasa bingung dan tidak mengetahui tempat sesudah ayat yang telah
dicapainya, maka bertanyalah kepada orang lain. Patutlah dia mengacu dengan apa
yang diriwayatkan daripada Abdullah Abu Mas’ud, Ibrahium An-Nakha’I dan Basyir
bin Abu Mas’ud ra. Mereka berkata, apabila seseorang dari kamu bertanya kepada
saudaranya tentang suatu ayat, hendaklah dia membaca ayat yang sebelumnya,
kemudian diam dan tidak mengatakan bagaimana bisa begini dan begini, hal itu
akan mengelirukannya.
Masalah ke-82:
Jika
ingin berdalil dengan suatu ayat, maka dia bisa berkata, Qaalallahu Ta’ala
kadza (Allah telah berfirman demikian) dan dia bisa berkata, Allaahu Ta’ala
Yaquulu kadza (Allah berfirman demikian). Tidak ada makruhnya sesuatu pun dalam
hal ini. Ini adalah pendapat yang sahih dan yang terpilih yang didukung bersama
oleh ulama Salaf dan Kalaf.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Mutharif bin
Abdullah Ibn Asy-Syakhiir seorang tabi’in yang masyhur, katanya: Janganlah kamu
katakan, Innallaaha Ta’ala Yaquulu, tetapi katakanlah, InnAllah swta Ta’ala
qaala. Apa yang diingkari oleh Mutharif rahimahullah ini bertentangan dengan
apa yang disebut di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dilakukan oleh para
sahabat serta para ulama setelah mereka-mudah-mudahan Allah swt meridhaoi mereka.
Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
(QS Al-Ahzab 33:4)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr ra
katanya: Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa berbuat baik, maka dia mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.”
(QS Al-An’am 6:60)
Diriwayatkan dalam shahih Muslim dalam bagian Tafsir;
“Lan Tanaalul birra hattaa tunfiquu mimmaa tuhibbuun.”
Abu Talhah berkata:
Terjemahan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
(QS Ali-Imran 3:92)
Ini adalah pendapat Abu Thalhah di hadapan Nabi saw
Diriwayatkan dalam hadits sahih dari Masruq rahimahullah,
katanya: Aku berkata kepada Aisyah ra, bukankah Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Tuhan di ufuk yang terang.”
(QS At-Takwir 81:23)
Maka Aisyah menjawab, tidaklah engkau mendengar bahwa Allah
berfirman:
.
Terjemahan:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu.”
(QS Al-An’am 6:130)
Atau tidakkah engkau
mendengar bahwa Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berbicara dengan dia,
kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.”
(QS Asy-Syuura 26:51)
Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
(QS Al-Maidah 5:67)
Kemudian Aisyah berkata dan Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Katakanlah! Tidak ada seorang pun di langit dan dibumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah.”
(QS An-Naml 27:65)
Pendapat ini lebih banyak ditemukan dalam pandangan ulama
Salaf dan Kalaf. Wallahua’lam.
Masalah ke-83:
Adab-adab
berkhatam Al-Qur’an dan segala yang berkaitan dengannya. Dalam bab ini ada
beberapa Masalah:
Masalah
pertama, berkenaan dengan waktunya telah ditentukan bahwa pengkhataman oleh
pembaca sendirian disunahkan untuk dilakukan dalam sembahyang. Ada orang yang
berpendapat, disunahkan melakukan pengkhataman itu dalam dua rakaat sunah Fajar
dan dalam dua rakaat sunah Maghrib, sedangkan dalam dua rakaat Fajar lebih
utama.
Disunahkan
pengkhataman Al-Qur’an sekali khatam di awal siang dalam suatu rumah dan
mengkhatamkn lainnya diakhir siang di rumah lain. Manakala yang mengkhatamkan
di luar sembahyang dalam jamaah yang mengkhatamkan bersama-sama, maka disunahkan
pengkhataman mereka berlangsung di awal siang atau di awal malam sebagaimana
dikemukakan. Awal siang lebih utama menurut sebagian ulama.
Masalah
kedua, diutamakan berpuasa pada hari pengkhataman, kecuali jika bertepatan
dengan hari yang dilarang syarak puasa hari itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Dawud
dengan isnadnya yang sahih, bahwa Thalhah bin Mutharif dan Habib bin Abu
Thabit, serta Al-Musayyib bin Raafi’ para tabi’im Kuffah ra, dianjurkan
berpuasa pada hari di mana mereka mengkhatamkan Al-Qur’an.
Masalah ketiga, diutamakan sekali menghadiri majelis
pengkhataman Al-Qur’an.
Diriwayatkan dalam
Shahihain:
Terjemahan:
“Bahwa Rasulullah saw menyuruh perempuan-perempuan yang haid keluar pada hari
raya untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.”
Diriwayatkan
oleh Ad-Daarimi dan Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari ibnu Abbas ra bahwa dia
menyuruh seseorang memperhatikan seorang yang membaca Al-Qur’an. Jika pembaca Al-Qur’an
itu akan khatam, hendaklah dia memberitahukan kepada Ibnu Abbas, sehingga dia
dapat menyaksikan berkhatam itu.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dawud dengan dua isnadnya yang sahih dari Qatadah seorang tabi’in
besar sahabat Anas ra, katanya: Anas bin Malik ra. Apabila mengkhatamkan Al-Qur’an,
dia kumpulkan keluarganya dan berdoa. Dia meriwayatkan dengan isnad-isndnya
yang sahih dari Al-Hakam bin Uyainah seorang tabi’in yang mulia.
Katanya:
Mujahid dan Utbah bin Lubabah mengutus orang kepadaku, keduanya berkata, kami
mengutus orang kepadamu karena kami ingin mengkhatamkan Al-Qur’an. Doa sangat
mustajab ketika mengkhatamkan Al-Qur’an. Dalam suatu riwayat yang sahih
disebutkan, bahwa rahmat turun ketika mengkhatamkan Al-Qur’an.
Diriwayatkan
dengan isnadnya yang sahih dari mujahid, katanya: Mereka berkumpul ketika
mengkhatamkan Al-Qur’an dan berkata, rahmat Allah swt turun.
Masalah
keempat, berdoa sesudah pengkhataman Al-Qur’an amat disunahkan berdasarkan apa
yang kami sebutkan dalam masalah sebelumnya. Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi
dengan isnadnya dari Humaid Al-A’raj, katanya: Barangsiapa membaca Al-Qur’an,
kemudian berdoa, maka doanya diamini oleh 4.000 malaikat. Hendaklah dia
bersungguh-sungguh dalam bedoa dan mendoakan hal-hal yang penting serta memperbanyak
untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin mereka.
Diriwayatkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah An-Nisaburi
dengan isnadnya bahwa Abdullah Ibn Al-Mubarak ra apabila mengkhatamkan Al-Qur’an,
maka sebagian besar doanya adalah untuk kaum
muslimin, Mukminin dan mukminat. Pada waktu yang sama dia juga berkata
seperti itu. Maka hendaklah orang yang berdoa memilih doa-doa yang menyeluruh,
seperti:
.
Terjemahan:
“Ya Allah, sempurnakanlah hati kami, hilangkanlah keburukan kami, bimbinglah
kami dengan jalan yang terbaik, hiasilah kami dengan ketaqwaan, kumpulkanlah
bagi kami kebaikan akhirat dan dunia dan anugerahkanlah kami ketaatan kepada-Mu
selama Engkau menghidupkan kami.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, mudahkanlah kami ke jalan kemudahan dan jauhkanlah kami dari
kesukaran, lindungilah kami dari keburukan diri kami dan amal-amal kami yang
buruk, lindungilah kami dari siksa neraka dan siksa kubur, fitnah semasa hidup
dan sesudah mati serta fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu petunjuk, kekuatan, kesucian diri dak
kecukupan.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, Kami amanahkan pada-Mu agama, jiwaraga dan penghabisan amal-amal kami,
keluarga dan orang-orang yang kami cintai, kaum muslimin lainnya dan segala
urusan akhirat dan dunia yang Engkau anugerahkan kepada kami dan mereka.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, kami mohon kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam agama, dunia dan
akhirat. Kumpulkanlah antara kami dan orang-orang yang kami cintai di negeri
kemuliaan-Mu dengan anugerah dan rahmat-Mu.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, sempurnakanlah para pemimpin muslimin dan jadikanlah mereka berlaku
adil terhadap rakyat mereka, berbuat baik kepada mereka, menunjukkan kasih
sayang dan bersikap lemah-lembut kepada mereka serta memperhatikan
maslahat-maslahat mereka. Jadikanlah mereka mencintai rakyat dan mereka
dicintai rakyat. Jadikanlah mereka menempuh jalan-Mu dan mengamalkan
tugas-tugas agama-Mu yang lurus.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, berlembutlah kepada hamba-Mu penguasa kami dan jadikanlah dia
memperhatikan maslahat-maslahat dunia dan akhirat. Jadikanlah dia mencintai
rakyatnya dan jadikanlah dia dicintai rakyat.”
Dia membaca doa-doa lanjutan berkenaan dengan para
pemimpin dan menambahkan sebagai berikut:
.
Terjemahan:
“Ya Allah, rahmatilah diri dan negerinya, jagalah para pengikut dan tentaranya,
tolonglah dia untuk menghadapi musuh-musuh agama dan para penantang lainnya. Jadikanlah
dia bertindak menghilangkan berbagai kemungkaran dan menunjukkan
kebaikan-kebaikan serta berbagai bentuk kebajikan. Jadikanlah Islam semakin
tersebar dengan sebabnya, muliakanlah dia dan rakyatnya dengan kemuliaan yang
cemerlang.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum muslimin dan murahkanlah harga-harag
mereka, amankanlah mereka di negeri-negeri mereka, lunasilah hutang-hutang
mereka, sembuhkanlah orang-orang yang sakit diantara mereka, bebaskanlah mereka
yang ditawan, sembuhkanlah penyakit hati mereka, hilangkanlah kemarahan hati
mereka dan persatukanlah diantara mereka.
Jadikanlah
iman dan hikmah dalam hati mereka, tetapkanlah mereka diatas agama Rasul-Mu
saw. Ilhamilah mereka agar memenuhi janji-Mu yang Engkau berikan kepada mereka,
tolonglah mereka dalam menghadapi musuh-Mu dan musuh mereka, wahai Tuhan Yang
Maha Besar dan jadikanlah kami dari golongan mereka.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, jadikanlah mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mengamalkannya,
mencegah dari yang mungkar dan menjauhinya, memelihara batas-batas-Mu,
melakukan ketaatan kepada-Mu, saling berbuat baik dan menasihati.”
.
Terjemahan:
“Ya Allah, jagalah dalam pendapat dan perbuatan mereka, berkatilah mereka dalam
semua keadaan mereka.”
Orang
yang berdoa hendaklah memulai dan mengakhiri doanya dengan ucapan:
.
Terjemahan:
“Segala Puji bagi Allah Tuhan sekalian alam dengan pujian yang memadai dengan
nikmat-nikmat-Nya dan sepadan dengan tambahan-Nya.
Ya
Allah, limpahkanlah sholwat dan salam ke atas Muhammad dan keluarga (Penghulu
Kami) Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan sholwat ke atas Ibrahim dan
keluarganya.
Berkatilah
(Penghulu kami) Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkati
Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan
Maha Mulia.”
Masalah
kelima, apabila selesai dari pengkhataman Al-Qur’an, apabila selesai dari
pengkhataman Al-Qur’an, disunahkan memualai lagi membaca Al-Qur’an sesudahnya.
Para Ulama Salaf dan Kalaf telah menganjurkan hal itu. Mereka berhujah dengan hadits
Anas ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Sebaik-baik amal adalah al-Hallu dan ar-Rahlah. Ditanyakan kepada baginda,
‘Apakah keduanya itu?’ Nabi saw menjawab, ‘Memulai membaca Al-Qur’an dan
mengkhatamkannya’.”
No comments:
Post a Comment