Bagian
ini serta dua bagian yang merupakan tujuan penulisan kitab ini. Bagian ini
mengandung pembahasan yang panjang dan luas sekali. Saya telah berusaha menyajikan
tujuan-tujuannya secara ringkas dalam beberapa fasal supaya mudah diingat dan
seterusnya diamalkan, insya Allah.
Masalah ke-1:
Pertama-tama
yang mesti dilakukan oleh guru dan pembaca adalah mengharapkan keridhaan Allah swt:
Allah
berfirman:
.
Terjemahan:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah swt dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan
supaya mereka mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan yang demikian
itulah agama yang lurus.”
(QS Al-Bayyinah 98:5)
Diriwayatkan
dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Rasulullah saw:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan sessungguhnya setiap
orang mendapat apa yang diniatkannya.”
Hadits
ini merupakan tonggak dan dasar Islam.
Telah
kami terima riwayat dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Sesungguhnya manusia diberi
ganjaran sesuai dengan niatnya."
Dan
dari lainnya: “Sesungguhnya orang-orang diberi ganjaran sesuai dengan niat-niat
mereka.”
Telah
kami terima riwayat dari Al-ustadz Abu Qasim Al-Qusyairi rahimahullah dia
berkata: “Ikhlas ialah taat kepada Allah swt saja dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah swt tanpa sesuatu tujuan lainnya, seperti berpura-pura kepada
makhluk atau menunjukkan perbuatan baik kepad orang banyak atau mengharap
kecintaan atau pujian dari manusia atau sesuatu makna selain mendekatkan diri
kepada Allah swt.” Dan dia berkata: “Bisa dikatakan, ikhlas itu adalah
membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk.”
Diriwayatkan
dari Huzaifah Al-Mar’asyi rahimahullah: “Ikhlas ialah kesamaan antara
perbuatan-perbuatan hamba secara lahir dan batinnya.”
Diriwayatkan
dari Dzin Nun Rahimahullah, katanya: “Tiga perkata merupakan tanda ikhals yaitu
sama saja tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan orang banyak; lupa melihat
di antara amal-amal; dan mengharapkan pahala amal-amalnya di akhirat.”
Diriwayatkan
dari Fudhai bin Iyadh ra, katanya: “Meninggalkan amal untuk orang banyak adalah
riya dan bermal untuk orang banyak adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah jika Allah
swt membebaskanmu dari keduanya.”
Diriwayatkan
dari Sahl At-Tustari rahimahullah, katanya: “Orang-orang cerdas mengetahui penafsiran
surah Al-Ikhlas, tapi mereka tidak mendapat selain ini yaitu gerak dan diamnya
dalam keadaan sendiri ataupun di hadapan orang lain hanya bagi Allah swt semata-mata,
tidak bercampur sesuatu apapun baik nafsu, keinginan ataupun kesenangan dunia.”
Diriwayatkan
dari As-Sariyyu rahimahullah, katanya: “Jangan lakukan sesuatu karena mengharap
pujian orang banyak, jangan tinggalkan sesuatu karena mereka, jangan menutup
sesuatu karena mereka dan jangan membuka sesuatu karena mereka.”
Diriwayatkan
dari Al-Qusyairi, katanya: “Kebenaran yang paling utama adalah kesamaan antara
dalam keadaan sunyi (sendiri) ataupun di dalam kebanyakan orang banyak.”
Diriwayatakan
dari Al-Harith Al-Muhasibi rahimahullah, katanya: “Orang yang benar tidak
peduli, meskipun dia keluar dari segala apa yang ditetapkan dalam hati makhluk
terhadapnya untuk kebaikan hatinya. Dan dia tidak suka orang-orang mengetahui
kebaikan perbuatannya sedikit pun dan tidak benci jika orang-orang mengetahui
perbuatannya yang buruk karena kebenciannya atas hal itu adalah sebagai bukti
bahwa dia menyukai tambahan di kalangan mereka, yang demikian itu termasuk
akhlak orang-orang yang lurus.”
Diriwayatkan
dari lainnya: “Jika engkau memohon kepada Allah swt dengan kebenaran, maka Allah
swt memberimu cermin di mana engkau melihat segala sesuatu dari keajaiban dunia
dan akhirat.”
Banyak
pendapat ulama Salaf berkenaan dengan hal ini. Saya hanya menyinggung sebagian kecil
saja sekedar untuk mengingatkan. Saya telah menyebutkan sejumlah pendapat ulama
dan menjelaskannya di awal Syarhil Muhadzdzan dan saya tambahkan adab-adab
orang alim dan pelajar, orang faqih dan pelajar fiqh yang diperlukan bagi
mereka yang sedang menuntut ilmu. Wallahua’lam.
Masalah ke-2:
Hendaknya
seseorang tidak memiliki tujuan dengan ilmu yang dimilikinya untuk mencapai
kesenangan dunia berupa harta atau ketenaran. Kedudukan, keunggulan atas orang-orang
lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang banyak
dan hal-hal seperti itu.
Hendaklah
guru tidak mengharapkan dengan pengajarannya itu sesuatu yang dperlukan dari murid-muridnya,
baik itu berupa pemberian harta atau pelayanan, meskipun sedikit dan sekalipun
berupa hadiah yang seandainya dia tidak mengajarinya membaca Al-Qur’an,
tentulah dia tidak diberi hadiah. Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian daripada keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di
akhirat.”
(QS
Asy-Syuura 26:20)
Allah
berfirman:
Terjemahan:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan
baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.”
(QS Al-Israa’ 17:18)
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa yang keridhaan Allah swt dari ilmu yang dipunyainya, sedangkan dia
tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapat kesenangan dunia, maka diapun tidak
mencium bau syurga pada hari kiamat. Kata Suraij, maksud hadits ini ilalah bau
Syurga.”
(Riwayat Abu Dawud dengan isnad
Shahih)
Dan
masih banyak lagi hadits-hadits seperti itu.
Diriwayatkan
dari Anas, Hudzaifah dan Ka’ab bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa menuntut ilmu sekedar untuk mencari kemenangan berdebat dengan
orang-orang yang lemah (bodoh) atau membanggakan diri kepada para ulama atau
memalingkan perhatian orang-orang kepadanya, maka biarlah dia mendapatkan tempat
yang celaka di neraka.” Abu Isa berkata: Hadits ini adalah hadits Gharib.
Masalah ke-3:
Hendaklah
dia waspada agar tidak memaksakan banyak orang yang belajar dan orang yang
datang kepadanya, hendaklah dia tidak membenci murid-muridnya yang belajar
kepada orang lain selain dirinya. Ini musibah yang menimpa sebagian pengajar
yang lemah dan itu bukti jelas dari pelakunya atas niatnya yang buruk dan
batinnya yang rusak. Bahkan itu adalah hujah yang meyakinkan bahwa dia tidak
menginginkan keridhaan Allah Yang Maha Pemurah dengan pengajarannya itu. Karena
jika dia menginginkan keridhaan Allah swt dengan pengajarannya, tentulah dia tidak
membenci hal itu, tetapi dia akan mengatakan kepada dirinya: “Aku menginginkan
ketaatan dengan pengajarannya. Dengan belajar kepada orang lain dia ingin
menambah ilmu, maka tidak ada yang salah dengan dirinya.”
Telah
kami terima riwayat dalam Musnad Imam yang diakui keafsahannya dan
kepemimpinannya Abu Muhammad Ad-Daarimi rahimahullah dari Ali bin Abu Thalib ra,
katanya: “Wahai orang-orang berilmu! Amalkanlah ilmumu karena orang alim itu
ialah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya dan ilmunya sesuai dengan
amalnya. Akan muncul orang-orang yang mempunyai ilmu dan tidak melampaui
tenggorokan mereka dan perbuatan mereka bertentangan dengan ilmu mereka dan
batin mereka bertentangan dengan zahirnya. Mereka duduk di majelis-majelis dan
sebagian mereka membanggakan diri kepada sebagian lainnya sampai ada orang yang
marah kepada kawan duduknya karena belajar kepada orang lain dan dia meninggalkannya.
Amal-amal yang mereka lakukan di majelis-majelis itu tidak akan sampai kepada Allah
swt.”
Telah
sah riwayat dari Imam Asy-Syafi’i ra bahwa beliau berkata: “Aku berharap
kiranya -orang belajar ilmu ini - yakni ilmu dan kitab-kitabnya - agar kiranya
dia tidak menisbahkan kepadaku satu huruf pun daripadanya.”
Masalah ke-4:
Pengajar
mesti memiliki akhlak yang baik sebagaimana ditetapkan syarak, berkelakuan
terpuji dan sifat-sifat baik yang diutamakan Allah swt, seperti zuhud terhadap
keduniaan dan mengambil sedikit daripadanya, tidak mempedulikan dunia dan
pecintanya, sifat pemurah dan dermawan serta budi pekerti mulia, wajah yang
berseri-seri tanpa melampaui batas, penyantun, sabar, bersikap warak, khusyuk,
tenang, berwibawa, rendah hati dan tunduk, menghindari tertawa dan tidak banyak
bergurau. Dia mesti selalu mengerjakan amalan-amalan syar’iyah seperti
membersihkan kotoran dan rambut yang disuruh menghilangkannya oleh syarak,
seperti mencukur kumis dan kuku, menyisir jenggot, menghilangkan bau busuk dan
menghindari pakaian-pakaian tercela. Hendaklah dia menjauhi sifat dengki, riya,
sombong dan suka meremehkan orang lain, meskipun tingkatan orang itu di
bawahnya.
Sudah
sepatutnya dia menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan
tasbih, tahlil, dzikir-dzikir dan doa-doa lainnya. Dan hendaknya dia selalu
memperhatikan Allah swt dalam kesunyian ataupun dalam kebanyakan, serta
memelihara sikap itu dan hendaklah bersandar kepada Allah swt dalam semua
urusannya.
Masalah ke-5:
Seorang
pengajar sudah sepatutnya bersikap lemah-lembut kepada orang yang belajar
kepadanya dan menyambutnya serta berbuat baik kepadanya sesuai dengan
keadaannya.
Kami
telah meriwayatkan dari Abu Harun Al-Abdi, katanya: “Kami mendatangi Abu Said
Al-Khudri ra, kemudian katanya: ‘Selamat datang dengan wasiat Rasulullah saw,
sesungguhnya Nabi saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Orang-orang akan mengikuti kamu dan ada
orang-orang yang datang kepada kamu dari berbagai penjuru bumi belajar ilmu
agama. Jika mereka datang kepadamu, berwasiatlah kamu kepada mereka dengan
baik.”
(Riwayat Tirnidzi dan Ibnu Majah dan lainnya)
Telah
kami terima riwayat seperti itu dalam Musnad Ad-Daarimi dari Abu Darda’ ra
Masalah ke-6:
Seorang
guru mesti memberikan nasihat bagi mereka karena Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Agama itu nasihat, bagi Allah swt, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin
muslimin dan orang awam di antara mereka.”
(Riwayat Muslim)
Termasuk
nasihat bagi Allah swt dan Kitab-Nya ialah memuliakan pembaca Al-Qur’an dan
pelajarnya, membimbingnya kepada maslahatnya,
bersikap lemah-lembut kepadanya dan membantunya untuk mempelajarinya
sedapat mungkin serta membujuk hati pelajar di samping bersikap mudah ketika
mengajarinya, bersikap lemah-lembut kepadanya dan mendorongnya untuk belajar.
Hendaklah
dia mengingatkannya akan keutamaan hal itu untuk membangkitkan kegiatannya dan
menambah kecintaanya, membuatnya zuhud terhadap kesenangan dunia dan menjauhkan
dari kecondongan serta mencegahnya agar tidak terpedaya olehnya.
Seorang
guru hendaklah mengingatkan dia akan keutamaan menyibukkan diri dengan mengkaji
Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’iyyah lainnya. Itu adalah jalan orang-orang yang
teguh dan arif serta hamba-hamba Allah yang sholeh dan itu adalah derajat para
nabi, mudah-mudahan sholawat dan salam Allah swt tetap atas mereka.
Hendaklah
seorang guru menyayangi muridnya dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatannya
seperti perhatiannya terhadap maslahat-maslahat anak-anak dan dirinya sendiri.
Dan
hendaklah murid itu diperlakukan seperti anaknya sendiri yang mesti disayangi
dan diperhatikan akan kebaikannya, sabar menghadapi gangguan dan kelakuannya
yang buruk. Dan memaafkan atas kelakuannya yang kurang baik dalam sutu waktu
karena manusia cenderung berbuat kesalahan dan tidak sempurna, lebih-lebih lagi
jika mereka masih kecil.
Sudah
sepatutnya guru menyukai kebaikan baginya sebagai mana dia menyukai kebaikan
bagi dirinya dan tidak menyukai kekurangan baginya secara mutlak sebagaiamana
dia tidak menyukai bagi dirinya.
Terdapat
riwayat di dalam Shahihain dari Rasulullah saw bahwa baginda Bersabda:
.
Terjemahan:
“Tidaklah sempurna iman seseorang dari kamu hingga dia mencintai saudaranya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Orang yang termulia di sampingku adalah kawan
dudukku yang melangkah melalui diantara manusia hingga dia duduk menghadapku.
Seandainya aku sanggup mencegah lalat hinggap diwajahnya, niscaya aku
melakukannya.”
Dalah
suatu riwayat: “Sungguh lalat yang hinggap di atasnya menggangguku.”
Masalah ke-7:
Sudah
sepatutnya guru tidak menyombongkan diri kepada para pelajar, tetapi bersikap
lemah-lembut dan rendah hati terhadap mereka.
Telah
banyak keterangan berkenaan dengan tawadhuk terhadap kebanyakan manusia. Maka
bagaimana pula terhadap mereka ini yang seperti anak-anaknya di samping
kesibukan mereka dengan Al-Qur’an dan hak pergaulannya pada mereka dan
keseringan mereka datang kepadanya.
Diriwayatkan
dari Nabi saw bahwa Baginda bersabda:
.
Terjemahan:
“Bersikaplah lemah-lembut kepada orang yang kamu ajari dan guru yang mengajari
kamu.”
Diriwayatkan
dari Abu Ayub As-Sakhtiyani rahimahullah, katanya: “Patutlah orang yang alim
meletakkan tanah di atas kepalanya karena merendah diri terhadap Allah Azza wa
Jalla.”
Masalah ke-8:
Sudah
sepatutnya pelajar dididik secara berangsur-angsur dengan adab-adab yang luhur
dan perilaku yang baik serta dilatih dirinya atas perkara-perkara kecil yang
terpuji.
Hendaklah
guru membiasakan diri memelihara dri dalam semua urusan yang batin dan terang
di samping mendorongnya dengan perkataan dan perbuatan yang berulangkali untu
menunjukkan keikhlasan dan berlaku benar serta memiliki niat yang baik serta
memperhatikan Allah swt pada setiap saat.
Hendaklah
guru memberitahu kepada pelajar bahwa dengan sebab itu terbukalah cahaya
makrifat di atasnya, dadanya menjadi lapang, memancar dari hatinya
sumber-sumber hikmah dan pengetahuan, Allah swt akan memberikan berkat pada
ilmu dan perbuatannya dan memberikan petunjuk pada setiap perbuatan dan
perkataannya.
Masalah ke-9:
Mengajari
para pelajar adalah fardu kifayah. Jika tidak ada orang yang mampu kecuali
seorang maka wajiblah ke atasnya. Jika ada beberapa orang yang setengah dari
mereka bisa mengajar tetapi mereka menolak, maka mereka berdosa. Jika setengah
dari mereka mengerjakannya, gugurlah tanggung jawab dari yang selainnya. Jika
salah seorang dari mereka diminta sedang dia menolak, maka pendapat yang lebih
tepat ialah dia tidak berdosa, tetapi dihukumkan makruh ke atasnya jika tiada
halangan.
Masalah ke-10:
Diutamakan
bagi pengajar agar mementingkan pengajaran mereka dengan melebihkannya di atas
kemaslahatan dirinya yang bersifat duniawi yang bukan keperluan utama/asas yang
amat mendesak. Hendaklah dia mengosongkan hatinya dari segala hal yang
menyibukkannya, ketika dia duduk untuk mengajari mereka. Hendaklah dia berusaha
keras menjadikan mereka mengerti dan memberi masing-masing dari mereka
memperoleh bagian yang layak ke atasnya. Maka janganlah dia mengajari banyak
perkara kepada pelajar yang tidak bisa menerima banyak dan jangan meringkas
bagi siapa yang menonjol kecerdasannya semala tidak dibimbingkan akan terjadi
fitnah ke atasnya karena timbul rasa bangga atau lainnya.
Siapa
yang kurang perhatiannya, seorang guru bisa menegurnya dengan lemah-lembut
selama dia tidak takut murid itu akan lari. Janganlah dengki kepada salah
seorang dari mereka karena kepandaian yang menonjol dan jangan mengganggap
dirinya istimewa karena nikmat yang dianugerahkan Allah swt kepadanya.
Karena
kedengkian kepada orang lain amat diharamkan, apalagi terhadap pelajar yang memiliki
kedudukan seperti anak. Kepandaiannya adalah atas jasa gurunya yang mendapat
pahala yang banyak di akhirat dan pujian yang baik didunia. Hanya Allah Yang memberi
taufik.
Masalah ke-11:
Jika
jumlah mereka banyak, maka dahulukan yang pertama, kemudian yang berikutnya.
Jika yang pertama rela gurunya mendahulukan lainnya, maka bisa mendahulukannya.
Patutlah guru menunjukkan kegembiraan dan muka yang berseri-seri, memeriksa
keadaan mereka dan keadaan mereka dan menanyakan siapa yang tidak hadir dari
mereka.
Masalah ke-12:
Para
ulama berkata: “Janganlah guru menolak mengajari seseorang karena niatnya tidak
benar.”
Sufyan
dan yang kain bertanya berkenaan dengan niat murid-murid yang menuntut ilmu
kepadanya. Mereka berkata: “Kami belajar ilmu untuk selain Allah swt”, maka
Sufyan enggan mengajar mereka dan berharap agar tidak melakukannya kecuali
untuk Allah swt. Yakni ilmu itu digunakan hanya semata-mata karena Allah swt.
Masalah ke-13:
Termasuk
adab seorang guru yang amat ditekankan dan perlu diperhatikan ilaha guru
mestinya menjaga kedua tanganya ketika mengajar dari bermain-maian dan menjaga
kedua matanya dari memandang kemana-mana tanpa keperluan.
Hendaklah
dia duduk dalam keadaan suci menghadap kiblat dan duduk tengang dengan memakai
baju yang putih bersih. Jika sampai ketempat duduknya, dia sembahyang dua
rakaat sebelum duduk, sama ada tempat itu masjid atau lainnya. Jika sebuah
masjid, maka adab itu lebih di tekankan karena dihukumkan makruh duduk di situ
sebelum sembahyang dua rakaat. Dia bisa duduk bersila atau dengan cara lainnya.
Diriwayatkan
oleh Abu Bakar bin Abu Dawud As-Sijistani dengan isnadnya dari Abdullah bin
Mas’ud r.a: “Beliau pernah mengajar manusia dia masjid sambil duduk berlutut.”
Masalah ke-14:
Termasuk
adab guru yang amat ditekankan dan perlu diperhatikan ialah tidak diperkenankan
merendahkan ilmu dengan pergi ke tempat yang dihuni pelajar untuk belajar dari
padanya. Sekalipun pelajar itu Khalifah atau di bawah kedudukannya.
Bagaimanapun dia mesti menjaga ilmu dari hal itu sebagaimana silakukan para
ulama Salaf ra cerita-cerita mereka tentang hal ini banyak dan sudah diketahui.
Masalah ke-15:
Hendaklah
dia mempunyai majelis atau ruang kelas yang luas supaya murid-murid bisa duduk
di situ. Dalam hadits dari Nabi saw sabdanya:
.
Terjemahan:
“Sebaik-baik majelis ialah yang paling luas.”
(Riwayat Abu Dawud dalam
Sunannya)
Hadits
itu telah disebutkan di awal kitab Al-Adab dengan isnad sahih riwayat Abu Said
Al-Khudri ra
Masalah ke-16:
Adab
pelajar dan penuntut ilmu. Semua yang saya sebutkan berkenaan dengan adab
pengajar (guru) juga merupakan adab bagi pelajar. Termasuk adab pelajar ialah
menjalani hal-hal yang menyibukkan sehingga tidak bisa memusatkan perhatian
untuk belajar, kecuali hal yang mesti dilakukan karena keperluan. Hendaklah dia
membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dosa supaya bisa menerima Al-Qur’an,
manghafal dan memanfaatkannya.
Diriwayatkan
dari Rasulullah saw bahwa Baginda bersabda:
.
Terjemahan:
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh mansuia segumpal daging. Jika daging
itu baik, seluruh tubuh menjadi baik. Jika daging itu rusak, seluruh tubuh
menjadi rusak. Ingatlah, daging itu ialah hati.”
Sungguh
baik perkataan orang yang mengatakan: “Hati itu menjadi baik dengan ilmu
sebagaimana bumi menjadi baik karena dijadikan pertanian.”
Hendaklah
pelajar bersikap merendah hati terhadap gurunya dan sopan kepadanya, meskipun
lebih muda, kurang terkenal dan lebih rendah nasab dan keturunannya dari pada
dia. Hendaklah pelajar bersikap merendah hati untuk belajar ilmu. Dengan
sikapnya yang merendah hati dia bisa mendapat ilmu.
Seorang
penyair menendangkan sebuah madah:
Ilmu itu tidak bisa mencapai pemuda
Yang menyombongkan diri,
Sebagaimana air bah
Tidak bisa mencapai tempat yang tinggi.
Pelajar
mesti patuh kepada gurunya dan membicarakan dengannya dalam urusan-urusannya.
Dia terima perkataannya seperti orang sakit yang berakal menerima nasihat
dokter yang menasihati dan mempunyai kepandaian, maka yang demikian itu lebih
utama.
Masalah ke-17:
Janganlah
dia belajar kecuali dari orang yang lengkap keahliannya, menonjol keagamaanya,
nyata pengetahuannya dan terkenal kebersihan dirinya.
Muhammad
bin Sirin dan Malik bin Anas serta para ulama salaf lainnya berkata: “Ilmu ini
adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.”
Pelajar
mesti memuliakan gurunya dan meyakinkan kesempurnaan keahliannya dan
keunggulannya dia atas golongannya karena hal itu lebih dekat untuk mendapat
manfaat dari padanya.
Sebagian
ulama masa lalu (ulama Mutaqaddimin) apabila pergi kepada gurunya, dia
sedekahkan sesuatu seraya berkata: “Ya Allah, tutupilah keburukan guruku dariku
dan jangan hilangkan keberkatan ilmunya dariku. “Rabi, sahabat Asy-Syafi’i
rahumahullah berkata: “Aku tidak berani minum air sementara Asy-Syafi’i
memandang kepadaku karena kewibawaannya.”
Telah
kami terima riwayat yang bersumber dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib ra,
katanya: “Termasuk kewajibanmu terhadap guru ialah engkau memberi salam kepada
orang-orang secara umum dan mengkhususkannya dengan suatu penghormatan.
Hendaklah engkau duduk di depannya dan tidak memberi isyarat di dekatnya dengan
tanganmu ataupun mengerdipkan kedua matamu.”
Janganlah
engkau katakan, si fulan berkata lain dari yang engkau katakan. Jangan
mengumpat seseorang di dekatnya dan jangan bermusyawarah dengan kawan dudukmu
di majelisnya. Jangan memegang bajunya jika dia hendak berdiri, jangan
mendesaknya jika dia malas dan jangan merasa bosan karena lama bergaul
denganya. Patutlah pelajar melaksanakan adab-adab yang ditunjukkan oleh Allah swt.
Hendaklah
pelajar menolak umpatan terhadap gurunya jika dia mampu. Jika tidak mampu
menolaknya, hendaklah dia tinggalkan majelis itu.
Masalah ke-18:
Hendaklah
pelajar masuk ke ruang/majelis gurunya dalam keadaan memiliki sifat-sifat
sempurna sebagaimana yang saya sebutkan perlu ada pada guru. Antara lain dengan
bersuci menggunakan siwak dan menggosokkan hati dari hal-hal yang menyibukkan.
Janganlah dia masuk sebelum minta izin jika gurunya berada di suatu tempat yang
perlu minta izin untuk memasukinya. Hendaklah pelajar memberi salam kepada para
hadirin ketika masuk dan mengkhususkan gurunya dengan penghormatan tertentu.
Dia memberi salam kepada gurunya dan kepada mereka ketika dia pergi sebagaimana
disebut di dalam hadits:
“Bukanlah
salam yang pertama itu lebih baik daripada yang kedua?”
Janganlah
dia melangkahi bahu orang lain, tetapi hendaklah dia duduk di mana tempat majelis
berakhir, kecuali jika guru mengizinkan baginya untuk maju atau dai ketahui
dari keadaan mereka bahwa mereka lebih menyukai hal itu. Janganlah dia menyuruh
seseorang berdiri dari tempatnya. Jika orang lain mengutamakannya, jangan
diterima, sesuai dengan sikap Umar ra kecuali jika dengan mengikutinya terdapat
maslahat bagi orang-orang yang hadir atau guru menyuruhnya berbuat demikian.
Janganlah dia duduk di tengah halaqah (majelis), kecuali jika ada keperluan.
Janganlah duduk siantara dua kawan tanpa izin keduanya. Tetapi jika keduanya
melapangkan tempat untuknya, dia pun bisalah duduk merapatkan dirinya.
Masalah ke-19:
Hendaklah
dia menunjukkan adab terhadap kawan-kawannya dan orang-orang yang menghadiri majelis
guru itu. Hal itu merupakan sikap sopan terhadap guru dan pemeliharaan terhadap
majelisnya. Dia duduk dihadapan guru dengan cara duduk sebagai seorang pelajar,
bukan cara duduknya guru. Janganlah dia menguatkan suaranya tanpa keperluan,
jangan tertawa, jangan banyak bercakap tanpa keperluan, jangan bermain-main
dengan tangannya ataupun lainnya. Jangan menoleh ke kanan dan kekiri tanpa
keperluan, tetapi menghadap kepada guru dan mendengar setiap perkataanya.
Masalah ke-20:
Perkara
lain yang perlu diperhatikan ialah tidak belajar kepada guru dalam keadaan hati
guru sedang sibuk dan dilanda kejemuan, ketakutan, kesedihan, kegembiraan,
kehausan, mengantuk, kegelisahan dan hal-hal lain yang dapat menghalangi guru
untuk dapat mengajar dengan baik dan serius. Hendaklah dia manfaatkan
waktu-waktu di mana gurunya dalam keadaan sempurna.
Termasuk
sebagian dari adabnya ialah menahan ketegasan guru dan keburukan akhlaknya.
Janganlah hal itu menghalangnya untuk menzaliminya dan meyakini
kesempurnaannya. Hendaklah dia mentakwilkan perbuatan-perbuatan dan
perkataan-perkataan zahir gurunya yang kelihatantidak baik dengan takwil-takwil
yang baik. Tidaklah bisa melakukan itu kecuali orang yang mendapat sedikit
taufik atau tidak mendapatnya. Jika gurunya berlaku kasar; hendaklah dia yang
lebih dahulu meminta maaf dengan mengemukakan alasan kepada guru dan menujukkan
bahwa dialah yang patut dipersalahkan. Hal itu lebih bermanfaat baginya didunia
dan diakhirat serta lebih membersihkan hati guru.
Mereka
berkata: “Barangsiapa tidak sabar menghadapi kehinaan ketika belajar, maka
sepanjang hidupnya tetap dalam kebodohan. Dan barangsiapa yang sabar
menghadapinya, maka dia akan mendapat kemuliaan di dunia dan akhirat.” Senada
dengan nasihat itu ialah athar yang mansyur dari Ibnu Abbas r.a: “Aku menjadi
hina sebagai pelajar dan menjadi mulia sebagai guru.”
Alangkah
indahnya madah penyair berikut ini:
Barangsiapa tidak tahan mereasakan kehinaan sesaat,
Maka dia melalui seluruh hidupnya dalam keadaan hina.
Masalah ke-21:
Termasuk
adab pelajar yang amat ditekankan ialah gemar dan tekun menuntut ilmu pada
setiap waktu yang dapat dimanfaatkannya dan tidak puas dengan yang sedikit
sedangkan dia bisa belajar banyak. Janganlah dia memaksa dirinya melakukan
sesuatu yang tidak mampu dilakukannya supaya tidak jemu dan hilang apa yang
diperolehnya. Ini berbeda sesuai dengan perbedaan manusia dan keadaan mereka.
Jika tiba di majelis guru dan tidak menemukannya, dia mesti menunggu dan tetap
tinggal di pintunya. Janganlah meninggalkan tugasnya, kecuali jika dia takut
gurunya tidak menyukai hal itu dengan mengetahui bahwa gurunya mengajar dalam
waktu tertentu dan tidak mengajar ketika lainnya.
Jika
menempati guru sedang tidur atau sibuk dengan sesuatu yang penting, janganlah
dia minta izin untuk masuk, tetapi bersabar sehingga dia bangun atau selesai
dari kesibukkannya.
Bersabar
lebih utama sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Abbas ra dan lainnya. Hendaklah dia
mendorong dirinya dengan berijtihad dalam menuntut ilmu ketika lapang, dalam
keadaan giat dan kuat, cerdas pikiran dan sedikit kesibukkan sebelum nampak
tanda-tanda ketidak-mampuan dan sebelum mencapai kedudukan yang tinggi.
Amirul
Mukminin Umar Ibn Al-Khattab ra berkata: “Tuntutlah ilmu sebelum kamu menjadi
pemimpin. Yakni berijtihadlah dengan segenap kemampuanmu ketika kamu menjadi
pengikut sebelum menjadi pemimpin yang diakui, kamu enggan belajar lantaran
kedudukanmu yang tinggi dan pekerjaanmu yang banyak. Inilah makna perkataan
Imam Asy-Syafi’i r.a:
“Tuntutlah
ilmu sebelum engkau menjadi pemimpin. Jika engkau sudah menjadi pemimpin, maka
tiada lagi waktu untuk menuntut ilmu.”
Masalah ke-22:
Hendaklah
dia pergi kepada gurunya untuk belajar di pagi hari berdasarkan hadits Nabi saw:
.
Terjemahan:
“Ya Allah, berkatilah umatku pada waktu pagi hari.”
Hendaklah
dia memelihara bacaan hafalannya dan tidak mengutamakan orang lain pada waktu gilirannya
karena mengutamakan orang lain dalam hal ibadah adalah makruh. Lain halnya
dengan kesenangan nafsu, maka hal itu disukai. Jika guru melihat adanya
maslahat dalam mangutamakan orang lain pada suatu makna syar’i, kemudian menasihatinya
agar berbuat sedemikian, maka dia perlu mematuhi perintahnya.
Di
antara yang wajib dan wasiat yang ditekankan daripadanya ialah jangan iri hati
kepada seorang kawannya atau lainnya atau suatu keutamaan yang dianugerahkan Allah
swt kepadanya dan jangan membanggakan dirinya atas sesuatu yang diistemewakan Allah
swt baginya. Telah saya kemukakan penjelasan hal ini dalam adab-adab guru.
Cara
menghilangkan kebanggaan itu ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak
mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya, tetapi merupakan anugerah dari Allah
swt. Tidaklah patut dia membanggakan sesuatu yang tidak diciptakannya, tetapi
diamanahkan oleh Allah swt padanya.
Cara
untuk menghilangkan iri hati ialah dengan menyadari bahwa hikmah Allah swt,
menghendaki untuk memberikan keutamaan tertentu kepada orang yang
dikehendaki-Nya. Maka patutlah dia tidak menyanggahnya dan tidak membenci
hikmah yang sudah ditetapkan Allah swt.
No comments:
Post a Comment