Sebenarnya adakah kaitan antara
cinta Rasul dan perayaan maulid, alias hari kelahiran beliau? Pertanyaan ini
mungkin terdengar aneh bagi mereka yang kerap merayakannya. Bagaimana tidak,
sedang disana dibacakan sejarah hidup beliau, diiringi dengan syair-syair pujian
dalam bahasa Arab untuk beliau (yang dikenal dengan nama burdah), yang
kesemuanya tak lain demi mengenang jasa beliau dan memupuk cinta kita
kepadanya…?
Dalam sebuah muktamar negara-negara Islam sedunia, salah seorang dai kondang dari Saudi yang bernama Dr. Said bin Misfir Al Qahthani, berjumpa dengan seorang tokoh Islam (syaikh) dari negara tetangga. Melihat pakaiannya yang khas ala Saudi, Syaikh tadi memulai pembicaraan (Sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh Dr. Said Al Qahthani ketika berkunjung ke kampus kami, Universitas Islam Madinah dan memberikan ceramah di sana.):
Syaikh: “Assalaamu ‘alaikum…”
Dr. Said: “Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabaraatuh…”
Syaikh: “Nampaknya Anda dari Saudi ya?”
Dr. Said: “Ya, benar.”
Syaikh: “Oo, kalau begitu Anda termasuk mereka yang tidak cinta kepada Rasul…!”
(kaget bukan kepalang dengan ucapan Syaikh ini, ia berusaha menahan emosinya sembari bertanya):
Dr. Said: “Lho, mengapa bisa demikian?”
Syaikh: “Ya, sebab seluruh negara di dunia merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali negara Anda; Saudi Arabia… ini bukti bahwa kalian orang-orang Saudi tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dr. Said: “Demi Allah… tidak ada satu hal pun yang menghalangi kami dari merayakan maulid Beliau, kecuali karena kecintaan kami kepadanya!”
Syaikh: “Bagaimana bisa begitu??”
Dr. Said: “Anda bersedia diajak diskusi…?”
Syaikh: “Ya, silakan saja..”
Dr. Said: “Menurut Anda, perayaan Maulid merupakan ibadah ataukah maksiat?”
Syaikh: “Ibadah tentunya!” (dengan nada yakin).
Dr. Said: “Baik… apakah ibadah ini diketahui oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah tidak?”
Syaikh: “Tentu beliau tahu akan hal ini!”
Dr. Said: “Jika beliau tahu akan hal ini, lantas beliau sembunyikan ataukah beliau ajarkan kepada umatnya?”
(…. Sejenak syaikh ini terdiam. Ia sadar bahwa jika ia mengatakan “ya”, maka pertanyaan berikutnya ialah: Mana dalilnya? Namun ia juga tidak mungkin mengatakan tidak, sebab konsekuensinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyembunyikan sebagian ajaran Islam. Akhirnya dengan terpaksa ia menjawab )
Syaikh: “Iya… beliau ajarkan kepada umatnya…”
Dr. Said: “Bisakah Anda mendatangkan dalil atas hal ini?”
(Syaikh pun terdiam seribu bahasa… ia tahu bahwa tidak ada satu dalil pun yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini…)
Syaikh: “Maaf, tidak bisa…”
Dr. Said: “Kalau begitu ia bukan ibadah, tapi maksiat.”
Syaikh: “Oo tidak, ia bukan ibadah dan bukan juga maksiat, tapi bidáh hasanah.”
Dr. Said: “Bagaimana Anda bisa menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat??”
Dr. Said: “Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabaraatuh…”
Syaikh: “Nampaknya Anda dari Saudi ya?”
Dr. Said: “Ya, benar.”
Syaikh: “Oo, kalau begitu Anda termasuk mereka yang tidak cinta kepada Rasul…!”
(kaget bukan kepalang dengan ucapan Syaikh ini, ia berusaha menahan emosinya sembari bertanya):
Dr. Said: “Lho, mengapa bisa demikian?”
Syaikh: “Ya, sebab seluruh negara di dunia merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali negara Anda; Saudi Arabia… ini bukti bahwa kalian orang-orang Saudi tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dr. Said: “Demi Allah… tidak ada satu hal pun yang menghalangi kami dari merayakan maulid Beliau, kecuali karena kecintaan kami kepadanya!”
Syaikh: “Bagaimana bisa begitu??”
Dr. Said: “Anda bersedia diajak diskusi…?”
Syaikh: “Ya, silakan saja..”
Dr. Said: “Menurut Anda, perayaan Maulid merupakan ibadah ataukah maksiat?”
Syaikh: “Ibadah tentunya!” (dengan nada yakin).
Dr. Said: “Baik… apakah ibadah ini diketahui oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah tidak?”
Syaikh: “Tentu beliau tahu akan hal ini!”
Dr. Said: “Jika beliau tahu akan hal ini, lantas beliau sembunyikan ataukah beliau ajarkan kepada umatnya?”
(…. Sejenak syaikh ini terdiam. Ia sadar bahwa jika ia mengatakan “ya”, maka pertanyaan berikutnya ialah: Mana dalilnya? Namun ia juga tidak mungkin mengatakan tidak, sebab konsekuensinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyembunyikan sebagian ajaran Islam. Akhirnya dengan terpaksa ia menjawab )
Syaikh: “Iya… beliau ajarkan kepada umatnya…”
Dr. Said: “Bisakah Anda mendatangkan dalil atas hal ini?”
(Syaikh pun terdiam seribu bahasa… ia tahu bahwa tidak ada satu dalil pun yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini…)
Syaikh: “Maaf, tidak bisa…”
Dr. Said: “Kalau begitu ia bukan ibadah, tapi maksiat.”
Syaikh: “Oo tidak, ia bukan ibadah dan bukan juga maksiat, tapi bidáh hasanah.”
Dr. Said: “Bagaimana Anda bisa menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat??”
Setelah berdialog cukup lama,
akhirnya syaikh tadi mengakui bahwa sikap sahabatnyalah yang benar, dan bahwa
maulid Nabi yang selama ini dirayakan memang tidak berdasar kepada dalil yang
shahih sama sekali.
Ini merupakan sepenggal dialog yang
menggambarkan apa yang ada di benak sebagian kaum muslimin terhadap sikap
sebagian kalangan yang enggan merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dialog singkat di atas tentunya tidak mewakili sikap seluruh
kaum muslimin terhadap mereka yang tidak mau ikut maulidan. Kami yakin bahwa di
sana masih ada orang-orang yang berpikiran terbuka dan obyektif, yang siap
diajak berdiskusi untuk mencapai kebenaran sesungguhnya tentang hal ini.
Namun demikian, ada juga kalangan
yang bersikap sebaliknya. Menutup mata, telinga, dan fikiran mereka untuk
mendengar argumentasi pihak lain. Karenanya kartu truf terakhir mereka ialah
memvonis pihak lain sebagai ‘wahhabi’ yang selalu dicitrakan sebagai ‘sekte
Islam sempalan’, yang konon diisukan sebagai kelompok yang gampang membid’ahkan,
mengkafirkan, mengingkari karomah para wali, dan sederet tuduhan lainnya.
Cara seperti ini bukanlah hal baru.
Sejak dahulu pun mereka yang tidak senang kepada dakwah tauhid, selalu berusaha
memberikan gelar-gelar buruk kepada para dainya. Tujuannya tak lain ialah agar
masyarakat awam antipati terhadap mereka. Simaklah bagaimana Fir’aun dan
kaumnya menggelari Musa dan Harun ‘alaihimassalam:
(57)
Fir’aun mengatakan: “Adakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari
negeri kami dengan sihirmu hai Musa? (58) Sungguh kami pasti mendatangkan pula
kepadamu sihir semacam itu, maka buatlah suatu waktu untuk pertemuan antara
kami dan kamu, yang kami tidak akan menyalahinya dan tidak pula kamu di suatu
tempat yang pertengahan (letaknya).” (59) Musa menjawab: “Waktu pertemuan itu
ialah di hari raya dan hendaklah manusia dikumpulkan pada waktu dhuha.” (60)
Maka Fir’aun meninggalkan (tempat itu), lalu mengatur tipu dayanya, kemudian
dia datang. (61) Musa berkata kepada mereka: “Celakalah kamu, janganlah kamu
mengadakan kedustaan terhadap Allah, hingga Dia membinasakanmu dengan siksa.”
Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan. (62) Maka
mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka, dan mereka
merahasiakan percakapan (mereka). (63) Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang
ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri
kalian dengan sihirnya, dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama…” (Qs. Thaha: 57 – 63)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya
telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata,
(24) kepada Fir’aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: “Ia (Musa) adalah
seorang ahli sihir yang pendusta.”
(Qs. Ghafir: 23-24)
Simak pula bagaimana kaum Nabi Luth ‘alaihissalam
hendak mengusir beliau dan para pengikutnya dengan tuduhan ‘orang-orang yang
sok menyucikan diri’:
Maka tidak
lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya
dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan
dirinya) bersih.”
(Qs. An Naml: 56)
Atau Nabi Shalih ‘alaihissalam
yang dianggap sombong dan pembohong oleh kaumnya… Allah berfirman:
(23) Kaum
Tsamudpun telah mendustakan ancaman-ancaman (itu). (24) Mereka berkata:
“Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia (biasa) di antara kita?
Sesungguhnya kalau begitu kita benar-benar berada dalam keadaan sesat dan
gila”, (25) Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya -yakni Nabi Shaleh
‘alaihissalam- di antara kita? Sebenarnya dia seorang yang amat pendusta lagi
sombong.” (26) Kelak mereka akan tahu siapakah yang sebenarnya amat pendusta
lagi sombong. (Qs. Al
Qamar: 23 – 26)
Sampai junjungan kita Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun tak luput dari julukan-julukan buruk kaumnya. Allah
berfirman:
(1) Shaad,
demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan (2) Sebenarnya orang-orang kafir itu
(berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. (3) Betapa banyaknya
ummat sebelum mereka yang telah kami binasakan, lau mereka meminta tolong padahal
(waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. (4) Dan mereka heran
karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan
mereka; dan orang-orang kafir berkata: “ini adalah seorang ahli sihir yang
banyak berdusta.”
(Qs. Shaad: 1 – 4)
Jadi, banyaknya tuduhan-tuduhan
jelek terhadap suatu golongan, mestinya tidak menghalangi kita untuk bersikap
adil dan obyektif terhadap mereka. Karena boleh jadi kebenaran justeru berpihak
kepada mereka, dan dalam hal ini yang menjadi patokan adalah dalil-dalil dari
Al Qur’an dan Hadits yang shahih.
Berangkat dari sini, penulis ingin
mengajak para pembaca yang budiman untuk mendudukkan masalah perayaan maulid
Nabi, benarkah ia merupakan bid’ah hasanah?
Benarkah ia merupakan perwujudan cinta kepada Rasul yang dibenarkan? Apakah
asal muasal perayaan ini? dan berbagai masalah lainnya seputar maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tentunya semua akan disajikan secara ilmiah dengan
merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan pemahaman As Salafus shaleh.
No comments:
Post a Comment