Al-Tibyan (Nawawi) VII - Adab Berinteraksi Dengan Al-Qur’an


Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Tamim Ad-Daariy ra, katanya: Nabi saw bersabda:

Terjemahan: “Agama itu nasihat. Kami berkata, ‘Untuk siapa? Nabi saw menjawab, ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam mereka.”
           

Para ulama rahimahullah berkata, nasihat untuk Kitab Allah swt adalah, “Beriman bahwa ia adalah kalam Allah dan wahyu-Nya, tidak ada sesuatupun dari makhluk yang menyerupainya dan seluruh makhluk tidak ada yang mampu berbuat seperti itu.”

            Kemudian mengagungkan dan membacanya dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Bersikap khusyuk ketika membacanya, seperti makhraj huruf-hurufnya yang tepat, membelanya dari penakwilan orang-orang yang menyelewengkannya dan gangguan orang-orang yang melampaui batas, membenarkan isinya, menjalankan hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaannya, memperhatikan nasihat-nasihatnya, memikirkan keajaiban-keajaiban dan mengamalkan ayat-ayatnya yang muhkam (jelas) dan menerima ayat-ayatnya yang mutasyabih (samar) mencari keumuman dan kekhususan, nasikh dan mansukhnya, menyebarkan keumuman dan kekhususan ilmu-ilmunya, menyeri kepadanya.

Masalah ke-84:
Kaum muslimin sependapat atas wajibnya mengagungkan Al-Qur’an yang mulia secara mutlak, menyucikan dan menjaganya. Dan mereka sependapat bahwa siapa yang mengingkari satu huruf daripadanya yang telah disetujui atau menambah satu huruf yang tidak pernah dibaca oleh seorang pun sedang dia mengetahui hal itu, maka dia kafir.
           
Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Ingatlah bahwa siapa yang meremehkan Al-Qur’an atau sebagian daripadanya atau memakainya atau mengingkari satu huruf daripadanya atau mendustakan sesuatu hukum atau kabar yang ditegaskan di dalamnya atau membenarkan sesuatu yang dinafikannya atau menafikan sesuatu yang ditetapkannya, sedang dia mengetahui hal itu atau meragukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’ul muslimin.                             
           
Demikian jugalah jika dia mengingkari Taurat dan Injil atau Kitab-kitab Allah Yang diberitakan atau kafir dengannya atau memakainya atau meremehkannya, maka dia telah kafir.
           
Katanya: Para ulama muslimin sependapat bahwa Al-Qur’an yang dibaca di negeri-negeri dan tertulis di dalam Mushaf yang berada di tangan kaum muslimin dan dihimpun di antara dua sampul mulai dari Al-Hamdulillahi rabbil ‘aalamiin hingga akhir Qul A’uudzu birabbin naas adalah Kalamullah dan wahyu-Nya yang diberitakan kepada Nabi-Nya Muhammad saw.
           
Dan mereka sependapat bahwa semua yang terdapat di dalamnya adalah benar dan barangsiapa yang menguranginya dengan sengaja atau menggantikan sehuruf dengan huruf lain atau menambah sehuruf di dalamnya yang tidak tercatat dalam Mushaf yang telah disetujui itu serta menyatakan dengan sengaja bahwa ia bukan termasuk Al-Qur’an, maka dia telah kafir.

            Abu Usman Al-Haddad berkata, “Semua ahli tauhid bersepakat bahwa mengingkari stu huruf dari Al-Qur’an adalah kufur.”

            Fuqaha Baghadad sependapat untuk menyuruh bertaubat Ibnu Syahbudz Al-Muqri seorang imam qari (yang mahir membaca) Al-Qur’an terkemuka bersama Ibnu Mujahid karena membaca dan mengajarkan bacaan dengan huruf-huruf yang ganjil dan tidak terdapat dalam Mushaf. Mereka menyuruh membuat pernyataan untuk berhenti dan bertaubat dengan kesaksiaam mereka di majelis Al-Waziir Ubay bin Maqlah tahun 323 H. Muhammad bin Abu Zaid berfatwa berkenaan dengan orang yang mengatakan kepada seorang anak kecil,” Mudah-mudahan Allah swt mengutuk gurumu dan apa yang diajarkannya kepadamu?”

            Katanya: “Aku maksudkan adab yang tidak baik dan tidak saya maksudkan Al-Qur’an.” Muhammad berkata: “Orang yang mengatakan itu perlu dihukum.” Sementara yang mengutuk Mushaf, maka dia bisa dibunuh. Inilah akhir pendapat Al-Qadhi Iyadh rahimahullah.

Masalah ke-85:
Diharamkan menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dan berbicara tentang makna-maknanya bagi siapa yang bukan ahlinya. Banyak hadits berkenaan dengan perkara tersebut dan ijmak berlaku atasnya.
           
Sedangkan penafsirannya oleh ulama, itu sesuatu yang diharuskan dan baik. Dan ijmak telah menetapkan atas hal itu. Maka siapa yang ahli menafsirkan dan mempunyai alat-alat untuk mengetahui maknanya dan benar sangkaannya terhadap apa yang dimaksud, dia pun bisa menafsirkannya jika dapat diketahui dengan ijtihad. Seperti makna-makan dan hukum-hukum yang terang ataupun yang samar, tentang keumuman dan kakhususan serta I’raab dan lainnya.

            Kalau tidak dapat diketahui maknanya dengan ijtihad seperti perkara-perkara yang jalannya adalah menukil dan menafsirkan lafaz-lafaz bahasa, maka tidak bisa berbicara berkenaang dengannya. Kecuali dengan nukilan yang sahih oleh ahlinya yang dapat diambil kira. Sementara orang yang bukan ahlinya karena tidak mempunyai alat-alatnya, maka haramlah atasnya menafsirkan maknanya. Bagaimanapun dia bisa menukil tafsirnya dari ahlinya yang layak.

            Kemudian, orang-orang yang menafsirkan dengan pendapat mereka tanpa dalil yang sahih ada beberapa golongan.

·         Di antara mereka ada yang berhujah dengan ayat untuk membenarkan madzhabnya dan menguatkan pikirannya, meskipun tidak benar sangkaannya bahwa itulah yang dimaksud dengan ayat itu. Dia hanya ingin mengalahkan lawannya.
·         Ada yang ingin menyeru kepada kebaikan dan berhujah dengan suatu ayat tanpa mengetahui petunjuk atas apa yang dikatakannya.
·         Bahkan ada yang menafsirkan lafaz-lafaz Arabnya tanpa memahami makna-makna dari ahlinya, padahal hal itu tidak bisa diambil kecuali dengan mendengar dari ahli bahasa Arab dan ahli tafsir, seperti penjelasan makna. lafaz dan I’rabnya, hadzaf, ringkasan, idhmaar, hakekat dan majaz, keumuman dan kekhususan, ijmaal dan bayan, pendahuluan dan pengakhiran dan sebagainya dari hal-hal yang berbeda dengan zahirnya.

Disamping itu tidak cukup mengetahui bahasa Arab saja, tetapi mesti menmgetahui apa yang dikatakan oleh ahli tafsir berkenaan dengannya. Kadang-kadang mereka bersepakat untuk meninggalkan zahirnya atau mendatangkan kekususannya atau yang idhmaar dan sebagainya dari sesuatu yang berbeda dengan zahirnya.

Apabila lafaznya mempunyai beberapa makna, kemudian dia mengetahui di suatu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satu makna dari beberapa makna yang dimaksudnya. Kemudian dia menafsirkan dengan apa yang datang kepadanya, maka ini semua adalah tafsir menurut pendapatnya (tafsir bir ra’yi) dan hukumnya haram. Wallahua’lam.

Masalah ke-86:
Diharamkan mira’ dalam Al-Qur’an dan berbantah-bantah tentang Al-Qur’an tanpa alasan yang benar. Misalnya dia melihat petunjuk ayat itu atas sesuatu yang berlawanan dengan madzhabnya dan mengandung kemungkinan yang lemah sesuai dengan madzhabnya, kemudian dia mengartikan menurut madzhabnya dan mempertahankannya, meskipun ternyata berlawanan dengan apa yang dikatakannya. Manakala orang yang tidak mengetahuinya, maka dia dapat dimaafkan.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa Baginda bersabda:

.

Terjemahan: “Berbantah-bantahan berkenaan dengan Al-Qur’an adalah kufur.”

Al-Khattabi berkata: Maksud perkataan al-Miraa’u adalah keraguan. ada orang yang berpendapat, berbantah-bantahan yang menimbulkan keraguan. Ada orang yang berpendapat, berbanrah-bantahan yang dilakukan oleh para pengikut aliran sesat berkenaan dengan ayat-ayat takdir dan seumpanya.

Masalah ke-87:
Siapa yang ingin mengetahui tentang pendahuluan suatu ayat sebelum ayat lainnya di dalam Mushaf atau kedudukan ayat ini ditempat ini dan seumpamanya, sepatutnya dia bertanya: Apa hikmahnya ini?

Masalah ke-88:
Dihukumkan makruh seseorang yang mengatakan, aku lupa ayat ini. Bagaimanapun dia katakan, “Aku dilupakan terhadapnya atau aku menggugurkannya.” Mengikut riwayat yang terdapat di dalam Shahihain dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:

.

Terjemahan: “Janganlah seseorang dari kamu berkata: ‘Aku lupa ayat begini dan begini.’ Tetapi ia adalah sesuatu yang dilupakan.”

Menurut suatu riwayat dalam Shahihain juga:

.

Terjemahan: “Sungguh buruk seseorang dari kamu yang mengatakan ‘aku lupa ayat begini dan begini’ tetapi ia adalah sesuatu yang dilupakan.”

Diriwayatkan dalam Shahihain juga dari Aisyah ra.:

“Bahwa Nabi saw mendengar seorang laki-laki membaca, kemudian beliau berkata: ‘Mudah-Mudahan Allah mengasihani si fulan, dia telah mengingatkan aku kepada sesuatu ayat yang aku telah menggugurkannya.”

Dalam suatu riwayat di dalam kitab Ash-Shahih: “Aku dibuat lupa terhadapnya.”

Sementara yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Abdirrahman As-Salami seorang tabi’in yang mulia, katanya: “Janganlah engkau katakan: ‘Aku telah menggugurkan ayat begini’ tetapi katakanlah: ‘Aku telah dibuat lalai’.”

Maka riwayat ini bertentangan dengan yang diriwayatkan dalam hadits sahih. Justru, yang diambil kira adalah hadits yang menyatakan keharusan mengatakan: “Aku telah menggugurkan dan tidak ada celaan terhadapnya.”

Masalah ke-89:
Tidak ada halangan menyebut surat Al-Baqarah, surat Ali Imran, surat An-Nisa’, surat Al-Maidah dan surat Al-An’aam. Demikian jugalah surat-surat lainnya. Sebagian ulama Salaf tidak suka perkara seperti, sebaliknya mereka berkata: Surat yang disebut Al-Baqarah di dalamnya dan yang disebut Ali-Imran di dalamnya, surat yanbg disebut An-Nisa’ di dalamnya dan begitulah seterusnya. Pendapat yang lebih benar ialah pendapat pertama.

Mengikut riwayat yang terdapat di dalam Shahihain daripada Rasulullah saw katanya, Surat Al-Baqarah, surat Al-Kahfi dan surat-surat lainnya. Demikian jugalah diriwayatkan dari pada para sahabat ra.

Ibnu Mas’ud berkata: “Ini tempat yang diberitakan kepadanya surat Al-Baqarah.”

Diriwayatkan daripada Ibnu Mas’ud ra. dalam Shahihain: “Aku membacakan kepada Rasulullah Saw surat An-Nisa’.”

Hadits-hadits dan pendapat ulama Salaf berkenaan dengan hal ini banyak sekali.

Berkenaan dengan surat itu ada dua ucapan, dengan hamzah dan tanpa hamzah, sedangkan tanpa hamzah lebih fasih. Itulah yang dimuat dalam Al-Qur’an. Diantara yang menyebutkan dua ucapan adalah Ibnu Qutaibah dalam Ghariib al-Hadits.

Masalah ke-89:
Tidaklah dihukumkan makruh jika dikatakan, ini bacaan Abu Amrin atau bacaan Naafi’ atau Hamzah atau Al-Kisa’I atau lainnya. Ini adalah pendapat terpilih yang didukung bersama oleh ulama Salaf dan Kalaf tanpa diingkari.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Ibrahim An-Nakha’I, katanya: Mereka tidak suka mengatakan: “Sunnah fulan dan  bacaan fulan.” Pendapat yang lebih benar adalah apa yang kami kemukakan.

Masalah ke-90:
Orang kafir tidak dilarang mendengar Al-Qur’an berdasarkan firman Allah:

.

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.”(QS At-Taubah 9:6)

Bagaimanapun, mereka (orang kafir) dilarang menyentuh Mushaf. Bisakah mengajarinya Al-Qur’an? Para sahabat kami berpendapat, jika tidak bisa diharapkan keislamannya, maka ada dua pendapat. Pendapat yang labih kuat (sahih) adalah bisa karena mengharapkan keislamannya.

Pendapat yang kedua adalah tidak bisa, sebagaimana tidak bisa menjual Mushaf kepadanya, meskipun diharapkan keislamannya. Jika kita melihatnya belajar, apakah dia dilarang? Berkenaan dengan perkara tersebut ada dua pendapat.

Masalah ke-91:
Para ulama berlainan pendapat berkenaan dengan penulisan Al-Qur’an dalam bejana, kemudian dicuci dan diberi minum kepada orang sakit. Al-Hasan, Mujahid, Abu Qulabah dan Al-Auza’i berkata: “Tidak ada masalah dengannya.” Sedangkan An-Nakha’i tidak menyukainya. Al-Qadhi Husain, Al-Baghawi dan para sahabat kami lainnya berkata: “Sekiranya Al-Qur’an ditulis di atas halwa (sejenis makanan) dan makanan lainnya, tidaklah mengapa memakannya.”

Al-Qadhi berkata: “Sekiranya ditulis di atas sepotong kayu, tidaklah disukai membakarnya.”

Masalah ke-92:
Madzhab kami ialah tidak menyukai penulisan Al-Qur’an dan nama-nama Allah swt di atas dinding dan baju. Atha’ berkata: “Tidaklah mengapa jika menulis Al-Qur’an dalam bentuk azimat, maka Malik berpendapat, tidak ada masalah dengannya kalau ditulis pada sepotong buluk atau kulit kemudian dibalut.

Sebagian sahabat kami berpendapat, apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dalam suatu wadah bersama lainnya, maka tidaklah haram, tetapi lebih baik ditinggalkan karena dibawa dalam keadaan berhadas.

Jika ditulis, maka ia mesti dijaga sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Asy-Syeikh Abu Amrin Ibnu Ash-Shalah rahimahullah.

Masalah ke-93:
Tentang meniup dengan membca Al-Qur’an sebagai ruqyah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari Abu Juhaifah seorang sahabat Nabi saw dan namanya Wahb bin Abdullah atau lainnya, dari Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’I bahwa mereka tidak menyukai itu. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh, bahkan sunah muakkad.

Diriwayatkan daripada Aisyah ra:

.

Terjemahan: “Bahwa Nabi saw apabila hendak tidur setiap malam, beliau merapatkan kedua telapak tangannya, kemudian meniup pada keduanya, kemudian membaca ‘Qul Huwallaahu Ahad, Qul A’uudzu bi rabbil falaq dan Qul A’udzu bi rabbin Naas’. Kemudian dia sapukan keduanya pada tubuhnya sedapat mungkin dimulai dari atas kepala dan mukanya serta bagian tubuhnya yang dapat dicapai. Beliau lakukan yang demikian tiga kali.”
(Riwayat Bukhari & Muslim)

Menurut beberapa riwayat dalam Shahihain ada tambahan dari ini. Sebagiannya sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah ra, kataanya:

.

Terjemahan: “Ketika Nabi saw sakit, beliau menyuruhku melakukannya dengan cara demikian.”

Dan sebagian lainnya:

.

Terjemahan: “Nabi saw meniup pada dirinya ketika sakit yang menyebabkan wafatnya dengan membaca Al-Mu’awwidzaat.”

Aisyah ra berkata: “Ketika sakit beliau bertambah tenat, akulah yang meniup padanya dengan membaca Al-Mu’awwidzaat dan mengusapkan tangannya sendiri untuk mengambil berkatnya.”

Dan sebagian lainnyanya lagi: “Nabi saw ketika sakit membaca untuk dirinya Al-Mu’awwidzaat dan meniup.”

Pakar bahasa mengatakan, An-Nafth ialah tiupan yang ringan tanpa mengeluarkan air ludah. Wallahua’lam.

No comments:

Post a Comment

Tentang Saya