Bulan Sya’ban/malam nishfu Sya’ban
Bulan Sya’ban adalah termasuk bulan suci atau mulia dan
cukup dikenal di kalangan kaum muslimin karena banyak riwayat hadits yang
mengemukakan kemuliaan bulan tersebut.
Nama Sya’ban adalah salah satu nama bulan dari 12 bulan
Arab lainnya yaitu satu bulan sebelum bulan Ramadhan. Sedangkan yang dimaksud nishfu (pertengahan) Sya’ban yaitu
tanggal 15 bulan Sya’ban, sedangkan malam nishfu Sya’ban yaitu mulai waktu
Maghrib pada tanggal 14 Sya’ban. Banyak hadits Hasan yang dipandang mu’tamad
oleh para ulama pakar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan malam nishfu
Sya’ban, diantaranya, Hadits dari
‘Aisyah:
مَا رَأيْتُ
رَسُوْل الله .صَ. : إسْتَكْمَلَ
صِيَامَ شَهْرٍِ قَطُّ, إلاَّ شَهْرَ رَمَضَانَ , وَمَا رَأيْتَهُ فِىْ شَهْرٍ
كْثَـَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
“Tidak terlihat olehku Rasulallah saw. berpuasa satu
bulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak satu bulan yang
hari-harinya lebih banyak dipuasakan Nabi daripada bulan Sya’ban”. (Bukhari dan Muslim)
Riwayat dari Usamah bin Zaid ra. katanya :
قُلْتُ : يَا رَسُوْلُ اللهِ لَمْ أرَاكَ تَصُومُ
مِنْ شَهِْرمِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَان؟
قَالَ
ذَالِكَ شَهْرُْ يَغْفَلُ النَّاسُ عَنْهُ , بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وَهُوَ
شَهْـرٌ تُرْفَعُ بِهِ
الأعْمَال اِلَى
رَبِّ العَالَمِيْنَ فَأحِبُّ اَنْ يُرْفَع عَمَلِى وَأنَا
صَائِمٌ.
Artinya: “Tanya saya: ‘Ya, Rasulallah
kelihatannya tidak satu bulan pun yang lebih banyak anda puasakan dari Sya’ban’.
Ujar Nabi; ‘Bulan itu sering dilupakan
orang, karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah
(bulan Sya’ban) diangkatnya
amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya ingin amalan saya
dibawa naik selagi saya dalam berpuasa’ ”. (HR.Abu Daud dan Nasa’i dan disahkan
oleh Ibnu Khuzaimah)
Hadits dari Ummu Salamah ra., katanya:
‘Belum pernah aku melihat Nabi saw. berpuasa dua bulan berturut-turut
terkecuali di bulan Sya’ban dan Ramadhan”. (HR.
Tirmidzi dengan sanad Hasan)
Abu Dawud mengemukakan hadits dari Abdullah bin Abi Qais dari Aisyah ra.
sebagai berikut: “Bulan yang paling disukai Rasulullah saw. ialah berpuasa di
bulan Sya’ban. Kemudian beliau
menyambung puasanya hingga ke Ramadhan”. (Sulaiman bin al-Asy’at al-Sijistani,
Sunan Abu Daud, t.th, Dar al-Fikr : Beirut , hlm 323 juz 2)
Hadits lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan dishohihkan oleh
Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi saw, 'Wahai Rasulullah, saya tak
melihat engkau melakukan puasa (sunat) sebanyak yang engkau lakukan dalam bulan
Sya'ban'. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab
dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang'’ “.
Hadits dari Imran Ibnu Hushain ra. bahwasanya Nabi saw. pernah berkata pada
seseorang lelaki; “Apakah engkau
pernah berpuasa sebagian dari bulan Sya’ban ini? Jawab lelaki itu:
‘Tidak ‘. Sabda Nabi saw.: ‘Jika engkau telah menyelesaikan bulan Ramadhan,
maka puasalah dua hari sebagai puasa pengganti bulan Sya’ban’ “. (HR.
Bukhori dan
Muslim)
Mengenai nishfu Sya’ban yang diriwayatkan Tirmudzi didalam An-Nawadir
dan oleh Thabarani serta Ibnu Syahin dengan sanad Hasan (baik), berasal
dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menerang- kan
bahwa:
هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ الله ُ
المُسْتَغْفِرِيْنَ , وَ يَرْحَمُ المُسَْتَرْحِمِيْنَ وَ يُؤَخِّرُ أهْلَ الحِقدِ
عَلَى حِقْدِهِمْ
Artinya: “Pada malam nishfu Sya’ban ini Allah mengampuni
orang-orang yang mohon ampunan dan merahmati mereka yang mohon rahmat serta
menangguhkan (akibat) kedengkian orang-orang yang dengki”.
Disekitar hadits terakhir diatas ini beredar sejumlah hadits lainnya yang
memandang mustahab/baik kegiatan menghidupkan (ihya) pada malam nishfu
tersebut. Diantaranya; hadits riwayat Ibnu Majah dari Amirul mukminin Ali
kw.; Hadits riwayat Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad dari ‘Aisyah ra.,
riwayat Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Musa ra. dan sebagainya.
Terkabulnya do’a yang dipanjatkan pada malam tersebut lebih besar harapannya
dan pada bulan itulah di angkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul
‘alamin.
Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang diandalkan golongan
pengingkar ini yaitu Syeikh al-Albani (dalam silsilah
al-Ahadits al-Sahihah, No. 1144) yaitu: “Allah melihat kepada hamba-hambaNya
pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik
(orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci
membenci)”.
Hadits dari ‘Aisyah ra: “Suatu malam Rasulullah salat, kemudian beliau
bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena
curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah
Rasulullah usai salat beliau berkata: ‘Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian’?.
Aku menjawab: ‘Tidak ya Rasulullah, aku hanya berpikiran yang tidak-tidak
(menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama’. Beliau
bertanya: ‘Tahukah engkau, malam apa sekarang ini’. ‘Rasulullah yang lebih
tahu’, jawabku. ‘Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi
hambanya pada malam ini, maka Dia memaafkan mereka yang meminta ampunan,
memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan
orang-orang yang dengki‘ “(HR. Baihaqi). Menurut perawinya hadits ini
mursal (ada rawi yang tidak sambung ke sahabat), namun cukup kuat.
Dalam hadits Ali kw, Rasulullah bersabda: “Malam nisfu Sya’ban, maka
hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah
turun kelangit dunia pada malam itu, Allah bersabda: ‘Orang yang meminta
ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi,
orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing’”.
(H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).
Ingat sekali lagi bahwa para Ulama berpendapat bahwa hadits lemah dapat
digunakan untuk Fadhail ‘Amal (keutamaan amal). Walaupun sebagian
hadits-hadits tersebut tidak shahih, namun melihat dari hadits-hadits lain yang
menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu
Sya’ban jelas mempunyai keutamaan dibandingkan dengan malam-malam lainnya..
Menurut seorang ahli ilmu Ibn Thawus dalam buku ‘Iqbal’, riwayat
dari Kumail bin Ziyad Nakha’i (sahabat Imam Ali bin Abi Thalib kw.), yang
katanya: “Pada suatu hari, saya duduk di Masjid Basrah bersama maulana Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., membicarakan hal nishfu Sya’ban. Ketika beliau
ditanya tentang firman Allah swt dalam surat Ad-Dukhaan: 4:
فِيْهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أمْرٍ حَكِيْمٍ
Artinya: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”
Amirul Mukminin mengatakan
bahwa ayat ini mengenai malam nishfu Sya’ban, orang yang beribadat
dimalam itu, tidak tidur, dan membaca do’a Hadrat Hidr as. akan lebih besar
harapan diterima do’anya. Ketika beliau pulang kerumahnya, dimalam itu, saya
menyusulnya. Melihat saya, Imam Ali bertanya: ‘Apakah keperluan anda kemari’?
Jawab saya; ‘Saya kemari untuk mendapat-
kan do’a Hadrat Hidr’. Beliau mempersilahkan saya duduk seraya berkata: ‘Ya,
Kumail, apabila anda menghafal do’a ini dan membacanya setiap malam Jum’at,
cukuplah itu untuk melepaskan anda dari kejahatan, anda akan ditolong Allah swt.,
diberi rezeki, dan do’a ini akan makbul. Ya, Kumail, lamanya per sahabatan
serta kekhidmatan anda, menyebabkan anda dikarunia nikmat dan kemuliaan untuk
belajar’.
Dalam Mafatih, muhaditts besar Al-Qummi, yang dikutip dalam Mishbah-ul-Mutahajjid,
disebutkan bahwa do’a Hadrat Hidr adalah do’a terbaik, dan termasyhur sebagai
do’a hadrat hidr, serta Imam Ali kw, berkata pada Kumail untuk membacanya di
malam nishfu Sya’ban dan setiap malam Jum’at. Dikatakan bahwa do’a ini dapat
memperluas pintu rezeki dan melawan niat jahat musuh.
Disamping do’a hadrat hidr
tersebut ada do’a malam nishfu Sya’ban yang masyhur/terkenal juga
diriwayatkan oleh Abu Syaibah di dalam Al-Mushannif dan oleh Abu
Dunya didalam Ad-Dua, berasal dari Ibnu Mas’ud ra. Juga ada hadits dari
Ibnu Umar yang mengatakan,‘ Seorang hamba Allah yang memanjatkan do’a
do’a itu, Allah pasti meluaskan penghidupannya (rezekinya). Ibnu
Jarir, Ibnul Mundzir dan At-Thabarani meriwayatkan juga hadits tersebut
dengan lafadh (versi) tidak jauh berbeda.
Banyak berita riwayat yang menerangkan, bahwa orang yang memanjatkan do’a malam
nishfu Sya’ban ini akan diluaskan rezekinya dan sebagainya. Juga beberapa
sumber rujukan yang mengisnadkan sebagian isi do’a nishfu dari Umar bin Khattab
ra.. Sebagian isi do’a yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud antara lain berbunyi:
’Ya Allah, jika Engkau telah menyuratkan nasibku..dan seterusnya’. Bagi
yang ingin mengetahui lafadh do’a ini, bisa baca pada kitab majmu’ syarif yang banyak dijual pada toko-toko buku agama.
Keterangan-keterangan demikian ini tentu atas dasar taufiq atau persetujuan
dari Nabi saw.. Sebab tidak ada kewenangan pada seorang sahabat atau
lainnya untuk memberitahu suatu imbalan pahala yang bersifat ghaib kalau
tidak dari Nabi saw.. Jadi do’a-do’a nishfu Sya’ban baik yang dari Imam Ali
kw.(do’a Hadrat Hidhr) serta dari sahabat-sahabat Nabi lainnya sudah terkenal
di kalangan para salaf, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menyangkal
atau mensesatkannya, kecuali golongan pengingkar ini!
Cara ibadah, berdo’a yang dilakukan oleh kaum muslimin
pada malam nishfu Sya’ban itu bermacam-macam:
Ibadah dan berdo’a pada
malam Nishfu Sya’ban walau pun bermacam-macam tapi makna dan intinya sama yakni
bermohon kepada Allah swt. untuk kebaikan didunia dan akhirat.
Ada yang shalat sunnah enam rakaat pada waktu antara maghrib dan Isya’, banyak
hadits yang tidak diragukan ke benarannya mensunnahkan shalat enam raka’at
tersebut. Jika seorang hamba Allah bertawassul kepada-Nya melalui shalat enam
raka’at itu, sungguhlah bahwa tawassul yang dilakukannya itu adalah amalan
shalih, dan itu tidak dapat disangkal. Karena itu sama halnya orang yang
melakukan sholat Hajat, yaitu shalat sunnah yang dengan bulat dibenarkan oleh
semua umat Islam.
Cara ibadah lainnya yaitu
berdo’a dengan tawassul membaca surat Yaasin pada malam nishfu Sya’ban ini,
setiap setelah baca Yaasin sekali langsung disambung dengan do’a (kalimat
doanya lihat bawah) dan hal yang sama ini diulangi sampai tiga kali. Bacaan
pertama dengan niat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt., bacaan
yang kedua dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari berbagai
kesusahan dan bacaan yang ketiga dengan niat agar Allah swt. menjauhkan
dari rasa minder/rendah diri terhadap manusia (Istighna ‘anin Naas). Ini semua
tidak lain merupakan tawassul kepada Allah swt. dengan Kitab Suci-Nya, dengan
firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa para ulama sepakat keshohihan
dari hadits Rasulallah saw tentang riwayat 3 orang yang tertutup di goa,
yang berdoa kepada Allah swt sambil bertawassul dengan amal kebaikan yang
pernah diamalkannya. Kemudian Allah swt mengabulkan doa mereka ini.
Nah, kalau bertawassul dengan amal kebaikan tsb. dibolehkan dan mustajab doanya,
apalagi tawassul dengan firman Allah swt yaitui membaca surah Yasin sebelum
berdoa kepada Allah swt, insya Allah lebih besar lagi harapan doa kita
dikabulkan oleh Allah swt.
Kalimat Doa nishfu Sya'ban:
{{ ALLAAHUMMA YAA
DZAL MANNI WALAA YUMANNU ‘ALAIKA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, YAA DZATH THAULI
WALIN’AAM, LAA ILAAHA ILLAA ANTA, DHAHRUL LAAJIIN, WA JAARUL MUSTAJIIRIIN, WA
AMAANUL KHAA IFIIN, ALLAAHUMMA IN KUNTA KATABTA NII ‘INDAKA FII UMMIL KITAABI
SYAQIYYAN AW MAHRUUMAN AW MATHRUUDAN AW MUQTARRAN ‘ALAYYA FIR RIZQI, FAMHULLAA
HUMMA BI FADLLIKA SYAQAAWATII WA HIRMAANII WA THARDII WAQ TITAARI RIZQII WA
ATS-BITNII INDAKA FII UMMIL KITAABI SA’IIDAN MARZUUQAN MUWAFFAQALLIL KHAIRAAT.
FA INNAKA QULTA WA QAULUKAL HAQQU FII KITAABIKAL MUNAZZALI ‘ALAA NABIYYIKAL
MURSALI, YAMHUL LAAHUMAA YASYAA U WA YUTSBITU WA ‘INDAHUU UMMUL KITAAB. ILAAHII
BITTAJALLIL AA’DHAMI FII LAILATIN NISHFI MIN SYAHRI SYA’BAANIL MUKARRAMIL LATII
YUFRAQU FIIHAA KULLU AMRIN HAKIIM WA YUBRAM, ISHRIF ‘ANNII MINAL BALAA I MAA
A’LAMU WA MAA LAA A’LAM WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUBI BIRAHMATIKA YAA ARHAMAR
RAAHIMIIN. }}.
Artinya:“Ya Allah Tuhanku Pemilik nikmat, tiada ada yang bisa
memberi nikmat atas-MU. Ya Allah Pemilik kebesaran dan kemuliaan. Ya Allah
Tuhanku Pemilik kekayaan dan Pemberi nikmat. Tidak ada yang patut disembah
hanya Engkau. Engkaulah tempat bersandar. Engkaulah tempat berlindung dan
padaMUlah tempat yang aman bagi orang-orang yang ketakutan. Ya Allah Tuhanku,
jika sekiranya Engkau telah menulis dalam buku besar-MU bahwa adalah orang yang
tidak bebahagia atau orang yang sangat terbatas mendapat nikmat-MU, orang yang
dijauhkan daripada-MU atau orang yang disempitkan dalam mendapat rizki, maka
aku memohon dengan karunia-MU, semoga kiranya Engkau pindahkan aku kedalam
golongan orang-orang yang berbahagia, mendapat keluasan rizki serta diberi
petunjuk kepada kebajikan. Sesungguhnya Engkau telah berkata dalam kitabMU yang
telah diturunkan kepada Rasul-MU, dan perkataan-MU adalah benar, yang berbunyi:
Allah mengubah dan menetapkan apa-apa yang dikehendaki-NYA dan pada-NYA sumber
kitab. Ya Allah, dengan tajalli-MU Yang Mahabesar pada malam Nisfu Sya’ban yang
mulia ini, Engkau tetapkan dan Engkau ubah sesuatunya, maka aku memohon semoga
kiranya aku dijauhkan dari bala bencana, baik yang aku ketahui atau yang tidak
aku ketahui, Engkaulah Yang Mahamengetahui segala sesuatu yang tersembunyi. Dan
aku selalu mengharap limpahan rahmatMU ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Kebaikan yang diminta oleh seorang hamba Allah dari Tuhannya pada hakikat
kenyataan nya berharapan agar Allah swt. berkenan menghapus keburukannya atau
dosanya, karena amal kebaikan itu akan meniadakan keburukan,
sebagaimana firman-firman Allah swt. berikut ini :
إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ
السَّـيِّئـاتِ
Artinya: "Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan” ( Hud : ayat
114 ).
ََاُوْلآئكََ يُبَـدّلُ
اللهُ سَيِّـئَاتِهِمْ حَسَـنَاتٍ
Artinya: “Mereka itulah orang orang yang keburukannya diganti Allah
dengan kebaikan”. (Al-Furqan : 70).
ثُـمَّ
بَدَّلْـنَـا مَكَانَ السَّـيِّـئَةِ الحَسَـنَةَ
Artinya: “Kemudian keburukan (yang ada pada mereka) Kami ganti dengan
kebaikan”. (Al-A’raf:95).
Dan masih ada firman Allah swt. yang menyerukan agar kita
berlomba-lomba mengerjakan kebaikan.
Sedangkan dalam hadits dari Ibn Mas’ud ra berkata:
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْد(ر) أَنَّ رَجُلأ
أَصاَبَ مِنِ امْرَأَةٍ قُبْلَةً فَاتَى النَّبِيِّ فَأخْبَرَهُ فَأنْزَلَ الله
ُتَعَالَى
: وَأَقِمِ الصَّلآةَ طَرَفَىِ
النَّهَارٍوَزُلَفـاً مِنَ الَّليـلِ أِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهـِبْنَ السَّيئَاتِ.
فَقَالَ
الرَّجُلُ : أَلِي هَذَا يَا رَسُولَ
الله ؟ قَالَ
: لِجَمِيعِ أُمّتِي
كُلِّهِمْ (رواه البخاري و مسلم )
Artinya: “Seorang lelaki mencium wanita, maka ia
datang kepada Nabi saw. memberitahu hal itu. Maka Allah menurunkan
(firman-Nya): ‘Tegakkan sholat pada pagi dan sore, dan pada waktu malam.
Sesungguhnya kebaikan itu
dapat menghapus keburukan' (QS.Hud:114). Maka orang itu bertanya: ‘Apakah hukum
ini khusus untukku’, wahai Rasulallah ? Jawab Nabi saw: ’Untuk semua
umatku’ ". (HR.Bukhori dan Muslim)
Setiap hari kita dianjurkan beramal sholeh disamping amalan wajibnya, dan
Allah swt. akan memberi pahala bagi orang yang mengamalkannya. Lepas dari itu,
kita mengenal dalil-dalil didalam Islam yang menunjukkan bahwa ada hari-hari,
bulan dan malam-malam tertentu yang mana pada waktu-waktu tertentu tersebut
Allah swt. lebih meluaskan ampunan,kurnia serta rahmat-Nya kepada
hamba Allah yang sedang beramal sholeh pada waktu-waktu tersebut melebihi
daripada hari-hari, malam-malam atau bulan-bulan biasa. Masalah-masalah ini
semua yang penting adalah agar orang tidak menyakini bahwa
pembacaan-pembacaan do’a, peribadatan dan lain-lain pada hari atau bulan yang
dimuliakan –diantaranya malam nishfu Sya’ban itu– diwajibkan atau ditekankan
oleh syariat, sehingga nanti orang yang tidak sependapat dengan mereka,
memandang salah dan durhaka. Tidak lain
kegiatan ibadah sunnah pada waktu-waktu tersebut adalah fadhilah mubah
bagi siapa yang beroleh taufiq Ilahi. Dan orang-orang yang beroleh
taufiq ilahi tidak banyak jumlahnya.
Masih banyak hadits
lainnya yang tidak kami kemukakan dibab ini mengenai keistemewaan-keistemewaan
serta pahala beramal ibadah pada hari atau bulan-bulan tertentu
umpama: hari Jum’at, puasa pada hari Senin dan Kamis, bulan Ramadhan, puasa 6
hari setelah hari Raya Idul Fithri, puasa pada hari ‘Asyura, giat beribadah
pada malam lailatul Qadr dan keistemewaan mengenai bacaan surat tertentu dari
Al-Qur’an dan lain sebagainya. Juga hadits-hadits yang meriwayatkan kemuliaan tempat-tempat
tertentu seperti tempat-tempat yang disebutkan pada manasik haji, keutamaan dari
tiga masjid, kesucian lembah Thuwa, tempat bekas berdirinya nabi
Ibrahin as. dan lain sebagainya. Dengan demikian kita bisa ambil kesimpulan
bahwa didalam Islam telah dikenal adanya keistemewaan dari Allah swt.
bagi orang yang beramal ibadah pada waktu-waktu dan ditempat-tempat tersebut.
Bila ada orang mengatakan bahwa semua hari, bulan, pembacaan ayat-ayat Qur’an,
serta tempat-tempat tertentu itu sama semuanya tidak ada yang lebih utama
satu sama lain, begitu juga amalan-amalan ibadah pada hari dan tempat-tempat
tertentu sama juga pahalanya, maka kami ingin bertanya pada mereka:
Apakah gunanya
riwayat-riwayat –mengenai pahala-pahala amalan tertentu, bacaan yang
mempunyai manfaat tertentu, pahala ibadah pada tempat-tempat, bulan-bulan dan
malam-malam tertentu, yang pada waktu-waktu tertentu ini Allah lebih
meluaskan Rahmat, Karunia dan Ampunan-Nya– kalau semuanya itu tidak ada
keistimewaannya atau kalau semua sama pahalanya dan keutamaannya? Apakah semua
dalil-dalil tersebut palsu, bohong, dho’if, harus dibuang dan dimunkarkan
karena tidak sesuai dengan akal kita atau karena berlawanan dengan pahamnya
sebagian ulama?
Kami sayangkan masih adanya golongan muslimin yang sering aktif menteror
sesama saudara muslim yang mengamalkan amalan-amalan ibadah nawafil /sunnah atau
mubah yang telah kami kemukakan disitus ini. Golongan pengingkar ini setiap
kali datang bulan-bulan diantaranya bulan Maulidin Nabi saw., bulan
Sya’ban, bulan Rajab menyebarkan makalah-makalah dari website mereka
yang ditulis oleh ulama golongan ini.
Ulama mereka menulis hadits-hadits dan ayat Ilahi –yang menurut paham mereka–
sebagai larangan mengamalkan amalan-amalan mubah tersebut. Mereka ini
tidak segan-segan langsung menvonnis bahwa amalan-amalan yang
diamalkan oleh kaum muslimin didunia pada bulan-bulan tertentu itu sebagai
amalan Haram, Bid’ah Munkar atau syirik dan lain sebagainya. Tetapi
herannya kaum muslimin yang mengamalkan ini bertambah banyak, jadi bertambah
banyak makalah-makalah yang mereka tulis bertambah banyak orang yang
mengamalkan amalan-amalan sunnah atau mubah tersebut. Subhanallah.
Kalau kita teliti lagi, perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab
selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca di
kitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu, Satu hadits bisa dishohihkan oleh
sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau di palsukan
oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Begitu juga halnya dengan hadits-hadits tentang keutamaan bulan Rajab dan
amalannya, keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya, keutamaan nishfu
Sya’ban dan amalannya. Perbedaan pendapat amalan nawafil/ sunnah atau mubah
ini sebenarnya tidak perlu diperuncing atau dipertajam sehingga sering
mengakibatkan sesat-mensesatkan, benci-membenci antar sesama muslim. Siapa
yang akan mengamalkan kebaikan itu, silahkan, dan yang tidak akan
mengamalkan amalan-amalan kebaikan itu itu yah silahkan juga !!
Kalau kita telaah dalil-dalil keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban, dalam
kenyataannya banyak beredar hadits –baik yang dhoif mau pun yang shohih atau
hasan– yang juga diakui oleh sebagian ulama golongan pengingkar ini
sendiri. Hanya sayangnya golongan tertentu ini –karena fanatiknya
dengan paham mereka sendiri– tidak
segan-segan dan berani menvonnis bahwa amalan amalan itu semuanya bid’ah munkar
yang harus diperangi dan lain sebagainya. Yang sering digembar-gemborkan oleh
golongan ini ialah tentang amalan-amalan; Tawassul, Tabarruk, menghidupkan
malam Nishfu Sya’ban, peringatan maulidin Nabi saw. dan sebagainya. Alasan
mereka: “Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya.
Begitu juga para shahabatnya tidak ada satu pun diantara mereka yang
mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in”. Atau
ucapan mereka: “Kita kaum muslimin di perintahkan untuk mengikuti Nabi saw.
yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan,
mengapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan
diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat,
ulama-ulama salaf? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh
Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai
perlindungan oleh golongan pengingkar ini, juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah
untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuat an amalan nawafil atau mubah tersebut.
Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram,
munkar, syirik dan sebagainya’ tanpa mau mengembalikannya kepada
kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal
agama.
Omongan mereka seperti ‘Rasulallah saw., para sahabat dan tabi’in tidak
pernah melakukan amalan.... ’, seakan-akan mereka itu pernah hidup pada
zamannya Rasulallah saw. atau zamannya para sahabat beliau saw. sehingga
menyaksikan dengan mata kepala sendiri amalan-amalan yang diamalkan oleh Nabi
saw. dan para sahabat beliau saw.!
Sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelum nya bahwa Allah swt.
berfirman: “Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu,
maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka
berhentilah (mengamalkannya)”. (QS. Al-Hasyr : 7). Dalam ayat ini tidak
dikatakan: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh
Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’. Begitu juga hadits
Rasulallah saw.: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah
semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia”. (HR.Bukhori).
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak bersabda; ’Apabila sesuatu itu
tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia’.
Dengan demikian memahami makna ayat dan hadits yang terakhir itu, kita bisa
mengambil kesimpulan: Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan
haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an
mau pun Hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut.
Jadi bukan seenaknya menurut pemikirannya sebagian orang. Semua perbuatan yang
diharamkan atau dihalalkan oleh syari’at Islam sudah jelas diterangkan dalam
Sunnah Rasulallah saw., bila tidak ada keterangan yang jelas mengenai suatu
amalan, maka para ulama akan meneliti dahulu apakah amalan yang bersangkutan itu
berlawanan dengan hukum yang telah digariskan oleh syari’at Islam
(hukum pokok Islam). Dengan demikian ayat dan hadits tersebut jelas maknanya: Bahwa
suatu perbuatan tidak boleh diharamkan hanya karena alasan bahwa Nabi
saw., para sahabat atau salafus sholih
tidak pernah meng-amalkannya!.Begitu juga tidak semua kata-kata Bid’ah
(rekyasa yang baru) itu otomatis haram, sesat dan lain sebagainya.
Banyak sekali amalan para sahabat yang Bid’ah pada zaman Rasulallah saw.
mau pun setelah wafat beliau yang tidak pernah diajarkan dan di perintahkan
oleh beliau saw.. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa
amalan Bid’ah para sahabat itu itu adalah haram, syirik dan lain sebagainya.
(keterangan lebih mendetail silahkan membaca bab Bid’ah dibuku ini)
Dalil-dalil golongan pengingkar dan jawabannya:
Golonganpengingkar menulis
beberapa hadits dan wejangan para ulama yangmembidáhkan munkar amalan bulan
Sya'ban dan Rajab antara lain tulisanmereka ialah:
Hadits pertama: “Barangsiapa yang shalat seratus raka’at pada
malam nishfu dari bulan Sya’ban, ia baca pada tiap-tiap raka’at sesudah
al-Fatihah, Qulhu sepuluh kali, maka tidak seorang pun yang shalat seperti itu
melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu…sampai akhir
hadits”.
Hadits Kedua: “Barangsiapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban
Qulhuwallahu ahad seribu kali dalam seratus raka’at…sampai akhir hadits”.
Hadits Ketiga: “Barangsiapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12
raka’at, ia baca pada tiap-tiap raka’at Qulhu 30 kali ………sampai akhir
hadits”.
Hadits Keempat: “Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi saw. Shalat
nishfu Sya’ban 14 raka’at, setelah selesai beliau membaca al-Fatihah 14 kali,
qulhu 14 kali, ayat kursi satu kali......sampai akhir hadits”.
Kata mereka selanjutnya:
Imam Ibnu Jauzi berkata, “Tentang hadits-hadits (diatas) ini kami tidak
ragu lagi tentang palsunya, semua rawi-rawinya pada tiga hadits (nomer pertama
s/d ketiga) majhul (tidak diketahui keadaannya oleh ahli hadits). Dan
(hadits) ini (yang keempat) juga maudhu (palsu) dan sanadnya gelap
(tidak diketahui).
Imam Nawawi berkata: “Shalat rajab, shalat nishfu Sya’ban adalah dua
Bid’ah, Munkar lagi Jelek”. (As-Sunan wal Mubtada’at halaman 144,145 karangan
Syaikh Muhammad Abdussalam Al-Hudlori).
Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat ragha’ib (shalat pada malam
Jum’at pertama di bulan Rajab), dan shalat pada awal malam bulan Rajab, dan
shalat pada awal malam Mi’raj, dan shalat Al-Fiyah (seribu) malam
nishfu Sya’ban, adalah Bid’ah dengan kesepakatan pemuka-pemuka Agama
(Islam). Sedang hadits-hadits yang diriwayatkan (semuanya?) Dusta dengan
Ijma’ Ahli Ilmu Hadits”. (Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 23 hal.131 s/d
135).
Imam Fatany berkata: “Tentang shalat nishfu Sya’ban itu tidak
ada satu pun kabar atau riwayat (yang shahih) melain- kan riwayat yang dho’if
atau palsu. Oleh karena itu janganlah kita tertipu dengan disebutnya
(shalat nisfu itu) di kitab QUT dan Ihya’ dan yang selain keduanya”. (As-Sunan
wal Mubta-da’at hal.144 dan 145).
Dikitab Ihya karangan Imam Al-Gazali memang ada tersebut disunatkannya shalat
nishfu Sya’ban itu. Oleh karena itulah Imam Fatany memperingat kan kita
supaya jangan tertipu dengan disebutnya dikitab Ihya itu dimana pengarangnya
seorang Imam besar namun manusia manakah yang tidak mempunyai salah?
Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat diKitab Ihya
mengatakan, “Hadits-hadits tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu adalah
hadits yang Bathil,dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ali, apabila
datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam- nya dan puasalah pada
waktu siangnya. Tapi semua sanad nya dlo’if ! (Ihya ‘Ulumid din
jilid 1 halaman 203 oleh: Imam Al-Gazali)
Jawaban:
Tidak adanya pengakuan atau kepercayaan –para Imam diatas itu– tentang
hadits-hadits, yang berkaitan dengan sholat pada malam nishfu Sya’ban
yang ditentukan bilangan raka’atnya dan bacaan-bacaan tertentu
didalam sholat tersebut, bukan berarti mereka ini mengharamkan
orang yang mengamalkan sholat sunnah atau mubah pada malam nishfu Sya’ban itu.
Para imam ini hanya mengatakan –semua amalan yang telah dikemukakan dalam
hadits tersebut– itu bid’ah (rekyasa baru), karena ,menurut mereka,
Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan atau mengucapkan tentang ketentuan
atau cara sholat dan bacaannya pada malam nishfu Sya’ban atau pada bulan Rajab.
Bila benar Rasulallah saw. tidak pernah mensunnahkannya, tidak lain yang dicela
oleh para ulama diatas ialah mencela atau mensesatkan orang yang mengemukakan
hadits atas nama Rasulallah saw., yang mana beliau saw sendiri tidak pernah
mengucapkannya! Jadi bukan amalan ibadahnya yang dicela atau disesatkan,
selama amalan ibadah ini tidak keluar dari yang telah digariskan oleh syari’at
Islam!! Karena syari’at tidak melarang orang sholat sunnah muthlaq
berapa raka’at yang mereka kehendaki dengan bacaan apa pun dari Al-Qur’an.(baca
keterangan bid'ah disitus ini dan keterangan berikut ini).
Jadi para ulama tadi tidak mengharamkan orang-orang yang mengamalkan
amalan sholeh pada malam nishfu Sya’ban.Para Imam itu juga tidak mengingkari
adanya hadits Rasulallah saw. lainnya yang
diakui oleh para ulama pakar lainnya mengenai keutamaan bulan
dan malam nishfu Sya’ban tersebut. Umpamanya hadits yang telah
kami kemukakan sebelumnya dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulallah saw. bersabda:
‘..pada bulan Sya’ban diangkatnya amalan-amalan keRabbul ‘Alamin....sampai
akhir hadits’. Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. bahwa
Rasulllah saw. bersabda:.’...pada malam nishfu Sya’ban Allah swt. akan
mengampuni orang yang mohon ampun ...sampai akhir hadits’ dan
hadits-hadits lainnya. Mengapa justru
golongan pengingkar ini yang memutuskan bahwa semua amalan-amalan ibadah
pada bulan dan nishfu Sya’ban adalah bid’ah munkar serta melarang
orang extra sholat sunnah dan amalan ibadah lainnya pada waktu yang mulia
tersebut?
Begitu juga golongan
pengingkar dan pengikutnya ini mempunyai paham bahwa hadits-hadits yang dhoif
–walaupun dalam masalah kebaikan– tidak boleh untuk diamalkan,
dengan lain perkataan, bila amalan yang tercantum di dalam hadits dhoif
itu diamalkan maka otomatis menjadi haram atau bid’ah sesat yang
harus diperangi.
Akidah mereka seperti itu telah menyalahi Ijma’ (sepakat) Ulama yang
mengatakan: “Hadits yang dhoif itu boleh diamalkan bila berkaitan dengan
Fadhail ‘Amal (amalan-amalan yang mulia/ baik)”. Hadits dhoif
adalah hadits yang mempunyai asal/akar tetapi belum memenuhi
syarat-syarat hadits hasan atau shohih, misalnya karena ada diantara perawi
dari hadits tersebut yang majhul (tidak dikenal) atau lemah
hafalannya. Tetapi bila banyak beredar hadits dhoif mengenai amalan yang
sama dan diriwayatkan oleh berbagai para perawi lainnya maka dia meningkat
menjadi hadits Hasan/ Baik, begitu juga hadits Hasan bila banyak
diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda-beda dia akan meningkat menjadi hadits
shohih. Hanya dengan satu hadits saja –walau pun misalnya hadits
ini lemah– tetapi banyak diriwayatkan dari berbagai jalan sudah cukup buat
kita sebagai anjuran dalil untuk mengamalkan amalan-amalan sholeh pada
kesempatan emas tersebut yaitu pada malam nishfu itu. Apalagi masih ada dalil
yang tidak dhoif mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban itu. Dengan
demikian orang tidak bisa main pukul sama rata bahwa semua hadits mengenai
kemuliaan bulan dan malam nishfu Sya’ban adalah munkar!
Sekali lagi, umpama saja, kita benarkan
bahwa tidak ada cara tertentu yang sah dari Rasulallah saw. untuk
beribadah pada malam tersebut, ini bukan berarti orang tidak boleh atau
haram untuk sholat sunnah Muthlaq atau berdo’a pada malam nishfu
Sya’ban yang mulia itu. Dimana dalilnya dari Rasulallah saw. atau dari para
sahabat atau dari para salaf bahwa orang dilarang/haram mengamalkan
ibadah (sholat, membaca do’a dan lain sebagainya) pada malam tersebut?
Sudah Tentu Tidak Ada! Karena semuanya itu merupakan amalan-amalan sholeh.
Agama Islam tidak pernah melarang orang mengamalkan kebaikan selama hal ini
tidak berlawanan dengan yang telah digariskan oleh syari’at, serta tidak
disyariatkan sebagai amalan wajib! Malah sebaliknya syari’at sering
menganjurkan agar kita selalu mengamalkan amalan-amalan sholeh/kebaikan! Apakah
orang yang berdo’a, sholat sunnah Muthlaq bukan termasuk sebagai amalan sholeh?
Tidak ada satu pun dari golongan muslimin yang mengamalkan amalan ibadah pada
malam nishfu mempunyai firasat bahwa amalan itu adalah amalan yang diwajibkan
oleh syari’at Islam, tidak lain ini hanya omongan atau isu-isu yang
diada-adakan oleh golongan pengingkar ini!
Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt.
yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan
untuk sholat sunnah atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah Muthlaq
(yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang
dilarang oleh agama. (ump. setelah sholat Shubuh, setelah sholat ‘Ashar dan
lain sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih). Firman Allah swt.dalam
surat (Al- Mu’min :60); “..Berdo’alah padaKu Aku akan mengabulkannya”
juga firman-Nya dalam surat Thaahaa:14; ‘..Dan dirikanlah sholat untuk
mengingat-Ku’. Dalam ayat ini Allah swt. tidak membatasi lafadh/kalimat do’a
yang harus dibaca, begitu juga Dia tidak membatasi hanya sholat wajib
saja, malah ada firman Allah swt. agar manusia sholat sunnah tahajjud (sholat
waktu malam) atau amalan-amalan sunnah disamping amalan wajibnya!
Perkataan Imam Nawawi:
“Bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah dimalam itu (malam nishfu)
adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12
rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak
ada dalilnya dari Rasulullah saw. Beliau (Imam Nawawi) mengingatkan untuk tidak
terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya’
Ulumiddin karya Al-Ghazali, maupun di dalam kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib
Al-Makki”. Jelas yang dimaksud Imam Nawawi ialah sholat bentuk ritual yang
ditentukan 100 raka’at dimalam nishfu Sya’ban dan sholat Raghaib 12
raka’at di bulan Rajab itu Bid’ah (rekayasa yang baru) yang tidak ada
dalilnya dari Rasulallah saw. Tetapi beliau tidak mengatakan bahwa
amalan itu ‘Bid’ah yang Haram dikerjakan’!
Berapa banyak riwayat yang menyebutkan amalan ibadah sholat sunnah atau
bacaan-bacaan didalam sholat yang diamalkan para sahabat yang sebelum dan
sesudah nya tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw. atau tidak ada
dalilnya dari beliau saw.. Begitu juga Sayyidina ‘Umar bin Khattab ra. pernah
mengatakan ‘Bid’ah yang nikmat’ pada sholat Tarawih, Siti Aisyah ra
sendiri pernah membid’ahkan sholat Dhuha yang beliau kerjakan dan lain
sebagainya, yang telah kami kemukakan pada bab Bid’ah dibuku ini. Tetapi tidak
ada satu pun dari para sahabat yang mengatakan bahwa kata-kata ‘Bid’ah’ itu
otomatis Haram, Munkar yang harus diperangi. Pikirkanlah !
Sholat sunnah Muthlaq itu boleh dilakukan kapan saja (kecuali
waktu-waktu tertentu yang dilarang) dan berapa saja jumlah raka’at yang
di kehendaki. Sholat sunnah itu menurut ilmu Fiqih dibagi menjadi dua macam
yaitu Muthlaq dan Muqayyad. Untuk sunnah Muthlaq
cukuplah orang berniat shalat saja (sholat yang tidak ada namanya).
Imam Nawawi –rahimahullah–
sendiri berkata: “Seseorang yang melakukan sholat sunnah dan tidak menyebutkan
berapa raka’at yang akan dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan
satu raka’at lalu bersalam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga,
seratus, seribu raka’at dan seterusnya.
Apabila seseorang sholat sunnah dengan bilangan yang tidak
diketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula tanpa perselisihan
pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh golongan
kami (madzhab Syafi’i) dan diuraikan
pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”. (Dinukil dari kitab Fiqih
Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahan Indonesia, jilid 2 cet.kedua th.1977 hal
.11)
Pada halaman 12 dikitab yang sama diatas ini ditulis, bahwa Imam Baihaqi
meriwayatkan dengan isnadnya, “bahwa Abu Dzar ra. melakukan sholat
(sunnah) dengan raka’at yang banyak, dan setelah salam ditegur oleh Ahnaf
bin Qais ra., katanya: ‘Tahukah anda bilangan raka’at dalam sholat tadi,
apakah genap atau ganjil’? Ia (Abu Dzar) menjawab: ‘Jikalau saya tidak
mengetahui berapa jumlah raka’atnya, maka cukuplah Allah mengetahuinya’,
sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.) bersabda
–sampai disini Abu Dzar menangis– kemudian dilanjutkan pembicaraannya; Saya
mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda: ‘Tiada seseorang hamba pun yang
bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh Allah sederajat dan
dihapuskan daripadanya satu dosa’ “. (Menurut al-Albani dalam kitabnya
,terjemahan bahasa Indonesia, Tamamul Minnah jilid 1 hal. 292
cet.pertama th.2001 bahwa hadits ini ada dalam shohih al-Baihaqi dan
didalam- nya tidak ada perawi yang diperselisihkan, begitu juga imam Ahmad
telah meriwayatkan hadits ini).Adapun mengenai sholat sunnah Muqayyad
itu terbagi dua:
Pertama: Yang disyariatkan sebagai sholat-sholat sunnah yang
mengikuti sholat fardhu/wajib dan inilah yang disebut sholat Rawatib
(ump..sholat-sholat sunnah Fajr, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan Isya’).
Kedua: Yang disyariatkan bukan sebagai sholat sunnah yang
mengikuti sholat Fardhu/wajib (ump. Sholat Tasbih, sholat Istisqa dan
lain-lain).
Abu Dzar ra. –sahabat Nabi saw. yang terkenal– telah melakukan
sholat sunnah Muthlaq (yang hanya niat sholat saja), tanpa mengetahui
berapa jumlah raka’at yang beliau kerjakan itu. Tidak ada para sahabat yang
menegor beliau dan mengatakan bahwa amalan itu Bid’ah munkar, Haram
dan sebagainya! Abu Dzar ra. juga menyebutkan suatu dalil umum yang membolehkan
amalan sholat sunnah itu berapa pun jumlahnya yaitu ‘Tiada seseorang hamba
pun yang bersujud kepada Allah ....sampai akhir hadits’. Mengapa justru
golongan pengingkar ini berani menvonnis amalan-amalan sholat sunnah Muthlaq
pada malam nishfu sebagai bid’ah munkar, haram dan lain
sebagainya?
Imam Nawawi sendiri telah mengatakan bahwa orang dibolehkan/sah sholat
sunnah satu, dua, sampai ratusan raka’at dengan satu kali salam bila
sholat sunnah itu tidak disebutkan berapa raka’at sebelumnya. Imam yang cukup
terkenal ini pun tidak mengingkari kebolehan orang untuk sholat sunnah (Mutlaq)
terserah berapa raka’at yang dia kehendaki, mengapa golongan pengingkar ini
berani membid’ahkan munkar atau haram orang yang mengamal kan ibadah sholat
sunnah Muthlaq dimalam yang mulia yaitu nishfu Sya’ban? Apakah Abu Dzar, Imam
Nawawi itu bodoh, tidak mengerti hukum fiqih hanya ulama golongan peng ingkar
saja yang pandai,cerdas dan menguasai ilmu fiqih?
Jadi para imam yang dikemukakan oleh golongan pengingkar tadi hanya mencela
atau memunkarkan kepada orang yang meriwayatkan hadits atas nama Rasulallah
saw. karena beliau saw. –menurut penelitian mereka– tidak pernah menganjurkan
amalan-amalan ibadah tertentu pada malam nishfu atau pada bulan Rajab. Jadi
bukan amal ibadahnya yang dicela atau disesatkan.
Umpama saja kita tolerans
dengan golongan pengingkar yaitu membenar- kan paham mereka bahwa para imam itu
benar-benar mengharamkan amalan ibadah pada bulan Sya’ban atau Rajab. Ini pun
bukan suatu dalil yang harus di-ikuti karena dalam syari’at tidak ada
pengharaman sholat sunnah dengan bacaan-bacaan tertentu dalam sholat tersebut.
Malah sebaliknya banyak dalil yang menganjurkan agar kita memperbanyak ibadah
sunnah dan berdzikir serta banyak riwayat yang menulis bahwa para sahabat
mengamalkan amalan bid’ah hasanah yaitu menambah bacaan dalam sholat
fardhu yang tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulallah
saw.. (silhakan rujuk kembali pada bab
Bid’ah dibuku ini) Wahai saudaraku, janganlah seenaknya menghukum amalan ibadah
sunnah atau mubah sebagai bid’ah munkar atau haram dikerjakan!
Menghukum sesuatu amalan nafilah sebagai bid’ah munkar atau haram harus
menunjuk kan nash yang khusus atas keharaman amalan tersebut, jadi tidak
seenaknya sendiri! Bila kalian tidak mau mengamalkan amalan-amalan mubah ini, silahkan,
itu urusan kalian tidak ada orang yang mencela hal itu, karena tidak lain
semuanya itu hanya amalan sunnah atau mubah! Cukup banyak dalil baik dari
firman Allah swt. mau pun dari sunnah Rasulallah saw. agar manusia selalu
berbuat kebaikan, dan setiap kebaikan walau pun kecil akan dicatat
pahalanya! Apakah sholat sunnah atau do’a kepada Allah swt. itu bukan
termasuk kebaikan?
Ibnu Taimiyyah
menghidupkan Nishfu Sya’ban dengan
amalan yang khusus.
Ibnu Taimiyah mengkhususkan
amalan sholat pada nishfu Sya’ban dan memujinya: Berkata Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya Majmu’ Fatawa pada jilid 24 halaman 131 mengenai amalan
Nishfu Sya'ban sebagai berikut:
إذا صلَّى الإنسان
ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل طوائف من المسلمين فهو: حَسَنْ
Artinya: "Apabila
seorang itu menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya'ban secara individu
atau berjamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan oleh
sebilangan masyarakat Islam maka hal itu adalah Baik".
Lihat bagaimana Ibnu Taimiyah sendiri memuji siapa yang menghidupkan amalan khusus pada malam Nishfu Sya'ban yaitu dengan menunaikan sholat sunnah pada waktu itu baik secara perseorangan mau pun secara berjama’ah, Ibnu Taimiyah menyifatkan amalan khusus itu sebagai Hasan/ Baik.
Pada halaman 132 dikitab yang
sama itu, Ibnu Taimiyyah mengakui adanya hadits yang mengkhususkan untuk ibadah
sholat malam Nishfu Sya’ban:
وأما ليلة النصف - من شعبان - فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات
Artinya: "(Berkenaan
malam Nishfu Sya'ban) maka telah diriwayatkan mengenai kemuliaan dan
kelebihan Nishfu Sya'ban dengan hadits-hadits dan atsar, di nukilkan dari
golongan Salaf (orang-orang
dahulu) bahwa mereka menunaikan sholat khusus pada malam Nishfu Sya'ban,
sholatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah
dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil
maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara jama’ah (pada malam
nishfu sya'ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada berkumpulnya
manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat". Dalam kitabnya Iqtido'
As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan:
ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد - ابن حنبل من أئمة السلف - ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيَّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن
Artinya: "(Malam Nishfu
Sya'ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits
Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam
yang mulia dan dikalangan ulama As-Salaf yang mengkhususkan malam
Nishfu Sya’ban dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa
bulan Sya'ban, ada pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang
yang terdahulu), sebagian dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian
dikalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliannya
dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits:
'Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu
kambing bani kalb'. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan
ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban,
dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad bin Hanbal dari ulama
Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan
Nishfu Sya'ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan
ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya'ban dalam banyak
kitab hadits Musnad dan Sunan". Demikianlah pendapat Ibnu Taimiyyah
mengenai bulan dan malam Nishfu Sya'ban.
Jelas sebagai bukti bahwa Ibnu
Taimiyah sendiri mengakui dan tidak mengingkari kebaikan amalan khusus
pada nishfu Sya’ban termasuk didalamnya sholat sunnah. Belliau juga mengatakan
bahwa amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban dikerjakan oleh para Salaf.
Tetapi sayangnya golongan peng- ingkar yang mengaku sebagai penerus akidah
Ibnu Taimiyyah ini telah meng haramkan dan membid’ahkan mungkar
amalan dalam bulan dan nishfu Sya’ban ini? Mereka hanya menyebutkan kata-kata
Ibnu Taimiyyah yang sepaham dengan mereka tetapi kata-kata Ibnu
Taimiyyah yang tidak sepaham, mereka kesampingkan! Apakah mereka ini juga
berani membid’ahkan mungkar Ibnu Taimiyyah? Apakah mereka ini akan merubah atau
mengarti kan kata-kata Ibnu Taimiyah yang sudah jelas tersebut –sebagaimana
kebiasaan mereka– sampai sesuai dengan paham mereka?
Al-Qasthalani
dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan
bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul
telah berjuhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu
sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya
Al-Qasthalany berkata perbedaan pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk
cara ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara
berjama’ah yaitu pendapat Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Ada
lagi yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat
ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya.
Menghidupkan malam nisfu
sya`ban dengan amalan ibadah itu telah disepakati pula oleh para ulama madzhab
antara lain:
Ibnu Abidin Al hanafi dalam
kitab : Hasyiah Roddul Muhtar Juz 2 hal 25 ;
Ibnu Najem Alhanafi
dalam kitab Bahru Roiq juz 2 hal 56.2-
Imam Dasyuqi Almaliki dalam
Kitab Assyarhul kabir juz 1 Hal 399.3-
Imam Syafii dalam Kitab Umm
juz 2 hal 264,
Alkhatib Syirbini dalam kitab Mughni
Muhataj juz 1 hal 591.4-
IbnuTaimiyyah Alhambali dalam
kitab Majmu` Fatawa juz 23 hal 132
Ibnu Rajab Al hambali dalam
Kitab Lathiful Ma`arif hal 263 dan lain-lainnya.
Masih banyak lagi pendapat
para ulama yang membolehkan amalan ibadah khusus pada malam nishfu Sya’ban
karena merupakan amalan kebaikan yang taqarrub/ mendekatkan diri kepada Allah
swt. Dengan demikian para ulama salaf dari zaman dahulu sampai zaman
sekarang telah mengakui adanya amalan-amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban.
Wallahu A’lam
Amalan-amalan pada bulan Rajab
Alasan-alasan dan dalil-dalil
yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsahan kemuliaan, keutaman
bulan dan malam nishfu Sya’ban, pada dasarnya memperkuat juga
keabsahan kemuliaan dan keutamaan bulan Rajab. Lepas dari itu semua,
kami ingin mengutip dan mengumpulkan ,secara singkat, riwayat-riwayat mengenai
kemuliaan dan amalan pada bulan Rajab berikut ini. Keterangan yang muktamad
tentang bulan Rajab adalah bahwa bulan itu termasuk bulan-bulan yang
dihormati dan dimuliakan, atau dalam Al-Qur’an di sebut sebagai Asyhurul
Hurum, yaitu, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muhar- ram dan Rajab.
Dalam bulan tersebut, Allah
swt. melarang peperangan dan ini merupakan tradisi yang sudah ada jauh sebelum
turunnya syariat Islam. Allah swt berfirman dalam surat At-Taubah: 36 sebagai
berikut: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,
diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa”.
Didalam surat Al-Maidah:2,
Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu
melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan lah melanggar kehormatan bulan-bulan
haram”.
Empat bulan haram itu di
sebutkan juga dalam sabda Rasulullah saw. berikut ini: “Sesungguhnya zaman
telah berputar seperti pada hari penciptaan langit dan bumi, setahun terdapat
dua belas bulan dan empat di antaranya adalah bulan haram dan tiga diantaranya
berturut-turut, yaitu dzul qa’dah, dzul hijjah, muharram dan rajab mudhar yang
berada di antara jumadil awal, jumadil akhir dan sya’ban”.(HR.Bukhari
dan Muslim).
Imam al-Qurtubi didalam tafsir-nya
bahwa Nabi saw. sendiri pernah menegaskan bahwa “bulan Rajab itu adalah bulan
Allah, yaitu bulan Ahlullah. Dan di katakan penduduk (mukmin) Tanah Haram itu
Ahlullah karena Allah yang memelihara dan memberi kekuatan kepada
mereka”.(al-Qurtubi, Jami’ Ahkam al-Qur’an, juz.6, hlm 326).
Bulan-bulan haram memiliki
kedudukan yang agung, dan bulan Rajab termasuk salah satu dari empat bulan
tersebut. Dinamakan bulan-bulan haram karena diharamkan nya berperang di
bulan-bulan itu kecuali musuh yang memulai. Hadits dari Anas bin Malik r.a.
berkata; “Bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu
berdo’a, ‘Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.’ Artinya,
‘ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan
Ramadan’ “. (HR.Ahmad dalam Musnad-nya juz 1: 259 hadits no 2346 dan
Tabrani). Hadits ini disebutkan dalam banyak keterangan, seperti
dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346).
Al-Bazzar didalam Musnadnya –sebagaimana
disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar– (616); Ibnu As-Sunny didalam ‘Amal
al-Yawm Wa al-Lailah (658); Ath-Thabarany didalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939).
Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim didalam al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqy di
dalam Syu’ab (al-Iman) (3534). Kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14). Al-Khathib
al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473).
Diriwayatkan dari Mujibah
al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda; “Puasalah pada bulan-bulan haram
(mulia)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Imam Ath-Thabrani
meriwayatakan hadits dari Abu Hurairah ra “bahwa Nabi saw. tidak menyempurnakan
puasa sebulan setelah Ramadhan kecuali pada Rajab dan Sya’ban.” (ibid,
hlm 161 juz 9 hadits no. 9422).
Al-Syaukani dalam Nailul
Authar, (dalam pembahasan puasa sunat) sabda Nabi saw., ‘Bulan Sya’ban
adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang’, itu
secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan
puasa didalamnya. Ditulis juga oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar,
bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani yang
mengatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang
menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa
Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab (walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abu Bakar), sebagaimana Abu
Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak
ada dalil yang kuat. Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua
hadits yang secara khusus menunjuk kan keutamaan bulan Rajab dan
disunnahkan puasa didalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadits-hadits
yang umum (seperti yang tercantum diatas) itu cukup menjadi hujah
atau landasan. Disamping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat
yang memakruhkan puasa dibulan Rajab.
Puasa/Shaum dibulan Rajab
dibolehkan (ibahah) ber dasarkan hadits shahih.. Tetapi tidak satu pun
dalil-dalil shahih dari Rasulallah saw. yang menentukan/ menetapkan
tanggal-tanggal tertentu (seperti 1 Rajab, 17 Rajab, 27 Rajab, dan
sebagainya), semua hadits berkenaan dengan tanggal-tanggal tersebut
adalah dha’if atau maudhu’ sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Sebagian sahabat dan salafus-shalih memakruhkan jika berpuasa Rajab
sebulan penuh dan sebagian lainnya tidak memakruhkannya.
Hadits shahih tentang hal tersebut adalah; Imam Muslim
meriwayatkan dalam shahih-nya: “Telah menceritakan pada kami Abubakar
bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah
menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami,
telah mencerita kan pada kami Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata: ‘Aku
bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu
sedang berada di bulan Rajab’, maka ia menjawab: Aku mendengar Ibnu Abbas berkata:
‘Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya
beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa
sampai kami berkata: Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab)
seluruhnya’“. (Albani sendiri dalam Al-Irwa’ mengatakan: Hadits ini
di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139) dan Ahmad (I/26). Saya
(Albani) katakan: Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam
Al-Musnad (VI/156, no. 2547); Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ (IV/906); dan
dalam Syu’abul Iman (VIII/316, no. 3638).
Kendati pun demikian, ada pula
hadits-hadits lain yang memakruhkan berpuasa dibulan Rajab, jika
berpuasa satu bulan penuh (Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (VIII/330, no.
3653). Ibnu Umar termasuk yang memakruhkan berpuasa di bulan Rajab walau
pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abubakar (HR. Ahmad dalam Al-Musnad
I/180, no. 176; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ III/893). Diriwayatkan bahwa Umar
bin Khaththab ra juga tidak menyukai puasa dibulan Rajab (namun kedudukan haditsnya
diperbincangkan, karena ada Rijal yang tidak dikenal) (HR. At-Thabrani dalam
Al-Ausath (XVI/427 no. 7851), tetapi Imam Al-Haitsami mengomentari hadits ini:
“Dalam sanadnya ada Hasan bin Jablah dan aku tidak menemukan orang yang
menyebutkan tentang siapa dia ini, selebihnya Rijal-nya Tsiqat.” (Majma’
Az-Zawa’id, III/191).
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, berbunyi:
“Telah sampai kepada kami bahwa Asy-Syafi’i mengatakan: ‘Sesungguhnya do’a itu mustajab
pada lima malam: malam juma’at, malam ‘Idul Adha, malam ‘Idul
Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban’ “. (al-Baihaqi,
Sunan al-Kubra, 1994, Maktabah Dar al-Baz: Makkah al-Mukarramah, juz.3 hlm
319). Masih banyak hadits yang beredar mengenai beramal sholeh pada bulan Rajab
dan Sya’ban yang tidak kami kemukakan disini.
Berdasarkan keterangan tadi,
jelaslah kepada kita bahwa bulan Sya’ban dan bulan Rajab
mempunyai dalil-dalil yang tersendiri. Sumber-sumber hukum Islam dan
keterangan baik para ulama Salaf mau pun Khalaf telah memberitahu bahwa
terdapat hadits-hadits yang shohih, hasan, mursal, marfu’, maudhu’, dhaif,
dhaif jiddan (amat lemah) tentang amalan-amalan seputar bulan Sya’ban
dan Rajab. Begitu juga banyak hadits yang beredar mengenai keutamaan bulan
Sya’ban dan bulan Rajab.
Oleh karenanya, kita tidak bisa pukul sama rata bahwa semua
hadits tentang amalan ibadah pada bulan Sya’ban dan Rajab itu palsu,
dhoif ….dan tidak ada yang shohih atau hasan. Setiap isu dan
dalil harus dipahami secara menyeluruh lagi mendalam agar kita tidak tersesat
dari landasan yang benar. Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang
dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa
saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah, puasa atau
berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah (yang hanya berniat sholat
saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang di makruhkan oleh agama (ump.
seusai sholat Shubuh, seusai sholat ‘Ashar dan sebagainya yang disebutkan dalam
kitab-kitab fiqih), begitu juga puasa sunnah (hanya berniat puasa saja) tidak
boleh diamalkan pada hari-hari yang dilarang menurut ahli Fiqih. Karena firman
Allah swt.; ‘Berdo’alah pada-Ku Aku akan mengabul- kannya” juga
firman-Nya “Dirikanlah sholat untuk mengingatKu”. Dalam ayat ini tidak
dibatasi lafadh do’a yang harus dibaca, begitu juga tidak dibatasi hanya
sholat wajib saja. Sedangkan mengenai puasa sunnah (yang hanya berniat
puasa saja) banyak hadits yang meriwayatkan.
Semua ibadah yang diamalkan karena Allah swt. itu
adalah baik, malah amalan-amalan yang dikerjakan pada zaman jahiliyyah
pun bisa kita tiru kalau mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan
syari’at Islam. Sebagai contoh satu hadits yang diriwayatkan Al-Hakim
dari Nubaisyah ra.; “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw., ‘Wahai
Rasulallah, kami memberi persembahan (kepada berhala) di zaman
jahiliyah, apa yang harus dilakukan di bulan Rajab ini? Beliau saw. menjawab: ‘Sembelihlah
binatang ternak karena Allah, dibulan apapun, lakukanlah kebaikan karena Allah
dan berilah makanan’”. Imam Al-Hakim
mengatakan: ‘Isnad hadits ini adalah shohih tetapi tidak dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam shohih mereka berdua’. (Abu Abdillah
al-Hakim, al-Mustadrak ala Sahihain, 1990, Cetakan pertama, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah : Beirut, juz 4, hlm 263).
Misalnya ada hadits Nabi saw.
–sudah tentu tidak mungkin– yang melarang umatnya berpuasa atau beramal
sholeh di bulan Sya’ban dan Rajab, hadits ini akan diteliti betul-betul oleh
para ulama, karena jelas bertentangan dengan hadits-hadits lain yang
menganjurkan orang berpuasa dan sholat sunnah disamping yang wajib dan beramal
sholeh setiap waktu!! Imam Syaukani sendiri dalam Nailul Authar berkata:
“Tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa dibulan Rajab
begitu juga tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang
menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus”. Dengan demikian
amalan ibadah puasa bulan Rajab serta amalan ibadah memperbanyak sholat sunnah
atau berdzikir adalah amalan mubah, yang sudah pasti juga mendapat
pahala dari Allah swt.. Karena semua amalan baik walau pun kecil pasti akan
dicatat juga sebagai kebaikan, begitu juga amalan buruk walau pun kecil pasti
akan dicatat juga sebagaik keburukan (Al-Zalzalah:7-8)! Begitu juga menurut
kaidah ulama hadits yang dhoif boleh diamalkan bila mengandung Fadhail
‘Amal. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment