TerasDN -
30 September 1965 yang lalu Indonesia diguncang suatu tragedi yang sangat memilukan sejarah dan catatan perjalanan bangsa. Para Jendral dan Petinggi Angkatan Darat saat itu dibunuh secara sadis dan tidak berperikemanusiaan.
Ketiga, mengapa Soeharto seolah-olah mengulur waktu untuk merebut Gedung RRI dari tangan G30S?
Keempat, mengapa penggalian mayat para jenderal baru dilaksanakan pada 4 Oktober 1965, padahal lokasinya sudah diketahui pada 3 Oktober?
Kelima, adakah konspirasi antara Letkol Untung Syamsuri (pemimpin lapangan), Kolonel Latief, Sjam Kamaruzzaman, dan Mayjen Soeharto?
Boengkoes adalah serma pelaku langsung G30S. Saat gerakan berlangsung ia mendapat tugas menangkap Mayjen MT Haryono. Kesaksian Boengkoes dalam buku ini merupakan kompilasi dari wawancara sejumlah media massa, setelah Boengkoes dibebaskan dari LP Cipinang pada 25 Maret 1999. Salah satu poin kesaksiannya adalah bahwa para jenderal itu tidak disiksa terlebih dahulu sebelum ditembak. Ini sangat berbeda dengan yang digembar-gemborkan Orde Baru bahwa para jenderal itu digambarkan disiksa bahkan dikatakan disayat-sayat, apalagi penis dipotong. “Para jenderal itu dipapah sampai bibir sumur baru kemudian ditembak,” ujarnya. Kesaksian Boengkoes mempertegas hasil Selain itu, kata Boengkoes, “Dan tidak benar kalau ada pesta dan nyanyi-nyanyi (seperti film tayangan TV).
30 September 1965 yang lalu Indonesia diguncang suatu tragedi yang sangat memilukan sejarah dan catatan perjalanan bangsa. Para Jendral dan Petinggi Angkatan Darat saat itu dibunuh secara sadis dan tidak berperikemanusiaan.
Hingga akhir kekuasaan rezim
Soeharto semua orang percaya bahwa semua itu adalah perbuatan yang diotaki oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan di pelajaran sejarah pun di catatkan
kronologi menurut kepentingan penguasa saat itu. Namun ketika orde reformasi
dan tumbangnya rezim orde baru sepeninggal Soeharto dimana kebebasan berbicara
terbuka lebar mulailah terkuak satu persatu kejanggalan skenario sejarah yang
selama ini dicatatkan.
Dalam buku Sejarah kelas 3 kurikulum
1994 ditulis bahwa PKI yang menjadi dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Dimana peristiwa itu mengigatkan kita bahwa PKI selalu berusaha mencari
kesempatan untuk melakukan Kudeta (perebutan kekuasaan).
Vang dan Aidit
Aidit
Amir Syarifudin
PKI
Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Aidit menugaskan Kamaruzaman alias Syam sebagai Ketua Biro Khusus PKI untuk merancang dan mempersiapkan perebutan kekuasaan. Kemudian biro ini melakukan pembinaan terhadap perwira-perwira ABRI diantaranya adalah Brigjen Supardjo dan Letkol Untung dari TNI AD, Kolonel Sunardi dari TNI AL dan Letkol Anwas dari Kepolisian. PKI menyadari bahhwa hambatan untuk mencapai tujuannya adalah TNI AD. Oleh karena itu pada tanggal 30 September 1965 sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965 upaya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi TNI AD dilancarkan. Di buku tersebut juga dipaparkan bahwa penumpasan pemberontakan G30S/PKI dilakukan oleh ABRI dan rakyat yang setia kepada Pancasila. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kembali keadaan.
Vang dan Aidit
Amir Syarifudin
PKI
Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Aidit menugaskan Kamaruzaman alias Syam sebagai Ketua Biro Khusus PKI untuk merancang dan mempersiapkan perebutan kekuasaan. Kemudian biro ini melakukan pembinaan terhadap perwira-perwira ABRI diantaranya adalah Brigjen Supardjo dan Letkol Untung dari TNI AD, Kolonel Sunardi dari TNI AL dan Letkol Anwas dari Kepolisian. PKI menyadari bahhwa hambatan untuk mencapai tujuannya adalah TNI AD. Oleh karena itu pada tanggal 30 September 1965 sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965 upaya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi TNI AD dilancarkan. Di buku tersebut juga dipaparkan bahwa penumpasan pemberontakan G30S/PKI dilakukan oleh ABRI dan rakyat yang setia kepada Pancasila. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kembali keadaan.
Kebutuhan akan rekonstruksi sejarah,
yang terasa berkenaan dengan tumbuhnya kebingungan masyarakat awam mengenai
sejarah G30S/PKI seperti yang telah mencuat melalui media massa. Ironisnya
hampir seluruh informasi baru diekspos oleh media tersebut bertolak belakang
dengan buku SMP kelas 3 1994. Pemaparan baru fakta dan opini dibalik G30S/PKI
itu pada pokoknya ingin mengubah peran dan posisi Jendral Soeharto terhadap
G30S/PKI yakni pemberantas yang cekatan dan jitu menjadi terlibat atau
tersangka.
Adapun pemaparan baru tentang fakta
dan opini di balik G30S/PKI itu, ingin merubah total peran dan posisi Soeharto
terhadap G30S/PKI yakni sebagai sebagai pemberantas yang cekatan dan jitu
mejadi terlibat atau tersangka.
Fakta-fakta tersebut antara lain:
1. Pengakuan Kol. A. Latief (gembong
PKI) bahwa dua kali ia memberitahukan kepada Soeharto tentang rencana
penindakan terhadap sejumlah jendral. Dalam bahasa laten menghadapkan Dewan
Jendral kepada Presiden. Namun Soeharto yang pada saat itu Panglima Kostrad
tidak mengambil inisiatif melapor kepada atasannya. Dia diam saja dan hanya
manggut-manggut mendengar laporan itu. Latief menginformasikan rencana
penindakan terhadap pera Jendral itu dua hari dan enam sebelum hari H.
2. Fakta bahwa sebagai perwira
tinggi dengan fungsi pemandu di bawah Pangab Jendral A. Yani, Soeharto tidak
termasuk sasaran G30S/PKI. Ini bisa dipertanyakan, mengingat strategisnya
posisi Kostrad apabila Negara dalam keadaan bahaya. Kalau betul Soeharto tidak
berada dalam Inner Cycle gerakan, kemungkinan besar ia termasuk dalam daftar
korban yang dihabisi di malam tersebut.
3. Hubungan emosional cukup dan amat
dekat Soeharto dengan para pelaku PKI yakni Untung dan Latief sedangkan Sjam
termasuk kolega Soeharto di tahun-tahun sesudah Proklamasi.
4. Menurut penuturan Mayjen (Purn)
Mursjid, 30 September malam menjelang 1 Oktober 1965 itu pasukan Yon
530/Brawijaya berada di sekitar Monas. Padahal tugas panggilan dari Pangkostrad
Mayjen Soeharto adalah untuk defile 5 Oktober.
5. Mayjen (Purn) Suharjo, mantan
Pangdam Mulawarman yang sama-sama dalam tahanan dengan Mayor (Purn) Soekardi,
eks Wadan Yon 530/Brawijaya menceritakan bahwa surat perintah dari Pangkostrad
kepada DanYon 530 itu dalam rangka penugasan yang disinggung Jendral Mursjid
tadi, ternyata kemudian dibeli oleh Soeharto seharga Rp 20 juta.
Ratna Sari Dewi (mantan istri Bung
Karo) pernah menyatakan: ?Sejak pagi 1 Oktober Soeharto sudah propaganda bahwa
pelakunya PKI sepertinya dia sudah tahu semua seakan telah direncanakan. Yang
menjadi pertanyaan, bagaimana ia bisa menguasai Indonesia? Harus diingat system
komunikasi saat itu belum seperti sekarang. Teleponnya belum lancar dan tak ada
yang punya telepon genggam. Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi
pada malam 30 September dan segera bertindak begitu cepat? Kalau belum tahu
rencana G30S/PKI ia tidak mungkin bisa melakukannya.?
Dari kutipan buku Sejarah SMP kelas
3 tersebut diatas dengan pengakuan Ratna Sari Dewi kita dapat menarik menarik
kesimpulan bahwa Soeharto sudah mengetahui akan terjadi gerakan 30 September
yang dilakukan PKI.
Hal ini dibuktikan, mengapa begitu
cepat dia mengambil keputusan dan mengumumkan ke seluruh rakyat Indonesia
melalui RRI, bahwa telah terjadi peristiwa penculikan oleh gerakan kontra
Revolusioner yang menamakan dirinya G30S padahal, alat komunikasi pada saat itu
belum secanggih sekarang.
Fakta-fakta lain yang mampu
mengungkap kebenaran ini tidak hanya sebatas fakta internal. Lebih dari itu
kebenaran yang mulai terkuak mengejutkan masyarakat awam adalah ternayata
Soeharto juga mempunyai hubungan dengan CIA. Hal ini terbukti dengan adanya
satu kompi batalyon 454 Diponegoro Jawa Tengah dan satu kompi batalyon 530
Brawijaya Jawa Timur, yang secara terselubung digunakan Soeharto sebagai
penggerak.
Soeharto disebut-sebut terlibat
dalam peristiwa tragis itu. Oleh saksi dan sejumlah pelaku sejarah , serta
sejarawan, dikatakan Soeharto mengetahui rencana penculikan para jenderal tapi
tidak berusaha mencegahnya. Itulah salah satu titik kontroversi G30S. Buku yang
terbit pertama kali pada 1999 ini menyebutkan ada enam titik kontroversi (hlm.
6-9).
Pertama, siapa dalang gerakan 1
Oktober 1965?
Kedua, mengapa Mayjen Soeharto menghalangi Mayjen Pranoto Reksosamodro menghadap Presiden Soekarno untuk didaulat menjadi Men/Pangad, jabatan yang ditinggalkan Letjen Ahmad Yani?
Kedua, mengapa Mayjen Soeharto menghalangi Mayjen Pranoto Reksosamodro menghadap Presiden Soekarno untuk didaulat menjadi Men/Pangad, jabatan yang ditinggalkan Letjen Ahmad Yani?
Ketiga, mengapa Soeharto seolah-olah mengulur waktu untuk merebut Gedung RRI dari tangan G30S?
Keempat, mengapa penggalian mayat para jenderal baru dilaksanakan pada 4 Oktober 1965, padahal lokasinya sudah diketahui pada 3 Oktober?
Kelima, adakah konspirasi antara Letkol Untung Syamsuri (pemimpin lapangan), Kolonel Latief, Sjam Kamaruzzaman, dan Mayjen Soeharto?
Keenam, mengapa Ketua Partai Komunis
Indonesia, D.N. Aidit, dibunuh ketika dia tertangkap di Boyolali, padahal
kesaksiannya di pengadilan akan sangat membantu untuk menyingkap tabir G30S
yang sebenarnya?
Yang menarik pada buku ini adalah
pengungkapan pertemuan Kolonel Latief dan Soeharto di RSAD Gatot Soebroto
beberapa jam menjelang penculikan para jenderal. Waktu itu anak Soeharto yang
berusia tiga tahun, Tommy, ketumpahan sup panas dan dilarikan ke rumah sakit
itu. Di sana pada sekitar pukul 21.00, Latief menemui Soeharto. Menurut
pengakuan Soeharto, dalam wawancara dengan surat kabar Del Spiegel Jerman Barat
pada Juni 1970, kedatangan Latief untuk membunuhnya. “Tapi, nampaknya ia tidak
melaksanakan berhubung kekhawatirannya melakukan di tempat umum,” ujar
Soeharto. Pengakuan Soeharto itu bertentangan dengan jawaban yang diberikan
kepada penulis bernama Brachman pada 1968, yang mengatakan bahwa Kolonel Latief
datang untuk menanyakan kesehatan anaknya. “Saya terharu atas keprihatinannya,”
kata Soeharto (hlm 18). Sementara itu, Latief sendiri mengatakan: “Yang
sebenarnya saya pada malam itu di samping memang menengok putranda yang sedang
terkena musibah itu, sekaligus saya melaporkan akan diadakannya gerakan pada
esok pagi harinya untuk menggagalkan Coup d”Etat dari Dewan Jenderal, di mana
beliau sudah tahu sebelumnya.” (hlm 20). Buku ini juga mengungkap kesaksian
Boengkoes, yang muncul di media massa setelah Soeharto lengser.
Boengkoes adalah serma pelaku langsung G30S. Saat gerakan berlangsung ia mendapat tugas menangkap Mayjen MT Haryono. Kesaksian Boengkoes dalam buku ini merupakan kompilasi dari wawancara sejumlah media massa, setelah Boengkoes dibebaskan dari LP Cipinang pada 25 Maret 1999. Salah satu poin kesaksiannya adalah bahwa para jenderal itu tidak disiksa terlebih dahulu sebelum ditembak. Ini sangat berbeda dengan yang digembar-gemborkan Orde Baru bahwa para jenderal itu digambarkan disiksa bahkan dikatakan disayat-sayat, apalagi penis dipotong. “Para jenderal itu dipapah sampai bibir sumur baru kemudian ditembak,” ujarnya. Kesaksian Boengkoes mempertegas hasil Selain itu, kata Boengkoes, “Dan tidak benar kalau ada pesta dan nyanyi-nyanyi (seperti film tayangan TV).
Suasana saat itu benar-benar sepi….”
Masih ada sejumlah kesaksian pelaku sejarah mengenai G30S, yang menarik untuk
diketahui sebagai perbandingan dengan sejarah G30S versi Orde Baru yang tidak akurat atau sengaja dipalsukan.
diketahui sebagai perbandingan dengan sejarah G30S versi Orde Baru yang tidak akurat atau sengaja dipalsukan.
Sejarah menjadi fakta jika ditulis pada zamannya...karena pada masa itu para saksi sejarah masih hidup, dan dapat dikonfirmasi..jika sejarah ditulis 40 tahun kemudian [ satu generasi] maka dapat dipastikan bahwa saksi sudah tidak ada, kalaupun masih tentu sudah linglung...
ReplyDelete