JAFFA–Emanuel Hatzofe, 84, tak bergegas menuju ke tempat perlindungan
berupa beton tebal memanjang di Jaffa, Minggu, ketika terdengar bunyi
sirene di langit Tel Aviv, mengingatkan adanya serangan roket dari jalur
Gaza.
Pensiunan kapten kapal itu, tadinya pernah jadi gerilyawan gerakan bawah tanah Yahudi, membawa bangku kayunya, juga bantal kecil, menuju tempat perlindungan.
Sirene tersebut memberi waktu maksimum 90 detik kepada warga untuk berlindung. Suara sirene itu usai ketika Emanuel, sambil berupaya menahan sakit di lututnya, sampai di ujung beton perlindungan, saat Laut Tengah menampakkan sinar matahari di sisi lain.
Terdengar ledakan ganda di langit, di suatu tempat di Jaffa, tak jauh dari pantai.
“Itu dua ledakan,” katanya dengan nada yakin. Peralatan interseptor Iron Dome menghantam dua roket jarak panjang yang ditembakkan dari wilayah Palestina, yang keempat kalinya dalam empat hari.
Hal itu juga menunjukkan kemajuan para pejuang Hamas dalam penguasaan teknologi roket sehingga serangan bisa mencapai kawasan perkotaan Israel, setidaknya di wilayah selatan.
(Dalam enam hari terakhir Israel menghujani wilayah Gaza dengan serangan roket, menelan nyawa ratusan orang Palestina dan menimbulkan kerusakan fisik yang besar. Kecaman atas kebrutalan tersebut mengalir dari seluruh dunia, sementara upaya-upaya diplomasi untuk gencatan senjata mulai dilakukan.)
Emanuel memutar matanya dan memandang ke bulatan asap putih di langit di atas kota tua Arab yang sunyi dan masjid kecil, yang kini berada di distrik Tel Aviv. Itulah satu-satunya petunjuk adanya perang di selatan.
“Tak akan pernah ada solusi atas masalah ini,” keluhnya.
Sambil duduk di luar bengkelnya, berupa gerbong kereta dari kayu antik yang berasal dari Belgia, dia berupaya mengingat kembali masa lalu.
“Saya bergabung di Palmach, ketika kami berperang melawan Inggris dan Arab. Kamu tahu?” Palmach adalah penyerang elit, bagian dari gerakan bawah tanah Haganah, di kawasan Palestina.
“Orang-orang Inggris lah yang mengacaukan semuanya. Mereka harusnya membagi tanah itu antara orang Yahudi dan Arab, tapi itu tak mereka lakukan.”
Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pengambilan suara pada 1947 untuk membagi tanah Palestina bagi negara Yahudi dan negara Arab. Bangsa Arab menolak keputusan itu dan memilih angkat senjata.
Perang tahun 1948 membuat banyak orang Arab terusir dari Jaffa dan ribuan menjadi pengungsi di Gaza. Saat itulah negeri Israel berdiri.
Patung karya Emanuel, diberi nama Boat, yang terbuat dari pasir lembah danau Galilea, kini berada di Tel Aviv Museum of Art.
Sekarang dalam usia tua, dengan rasa sakit di punggungnya, dia hanya membuat patung-patung kecil sambil memandang kehidupan yang terus berjalan.
Mereka yang tinggal di pusat keramaian Jaffa tak punya tempat untuk berlindung dari serangan, tak seperti kota-kota Israel selatan yang bertetangga dengan Gaza, dimana serangan roket merupakan kenyataan sehari-hari dalam delapan tahun terakhir.
Namun orang-orang usia lanjut tak begitu peduli dengan bunyi sirene. Mungkin karena kaki mereka juga sudah lemah untuk mampu cepat-cepat berlari.
“Semua ini (konflik Israel-Palestina) akan berlangsung selamanya,” tandas Emanuel. (Reuters/lt)
Pensiunan kapten kapal itu, tadinya pernah jadi gerilyawan gerakan bawah tanah Yahudi, membawa bangku kayunya, juga bantal kecil, menuju tempat perlindungan.
Sirene tersebut memberi waktu maksimum 90 detik kepada warga untuk berlindung. Suara sirene itu usai ketika Emanuel, sambil berupaya menahan sakit di lututnya, sampai di ujung beton perlindungan, saat Laut Tengah menampakkan sinar matahari di sisi lain.
Terdengar ledakan ganda di langit, di suatu tempat di Jaffa, tak jauh dari pantai.
“Itu dua ledakan,” katanya dengan nada yakin. Peralatan interseptor Iron Dome menghantam dua roket jarak panjang yang ditembakkan dari wilayah Palestina, yang keempat kalinya dalam empat hari.
Hal itu juga menunjukkan kemajuan para pejuang Hamas dalam penguasaan teknologi roket sehingga serangan bisa mencapai kawasan perkotaan Israel, setidaknya di wilayah selatan.
(Dalam enam hari terakhir Israel menghujani wilayah Gaza dengan serangan roket, menelan nyawa ratusan orang Palestina dan menimbulkan kerusakan fisik yang besar. Kecaman atas kebrutalan tersebut mengalir dari seluruh dunia, sementara upaya-upaya diplomasi untuk gencatan senjata mulai dilakukan.)
Emanuel memutar matanya dan memandang ke bulatan asap putih di langit di atas kota tua Arab yang sunyi dan masjid kecil, yang kini berada di distrik Tel Aviv. Itulah satu-satunya petunjuk adanya perang di selatan.
“Tak akan pernah ada solusi atas masalah ini,” keluhnya.
Sambil duduk di luar bengkelnya, berupa gerbong kereta dari kayu antik yang berasal dari Belgia, dia berupaya mengingat kembali masa lalu.
“Saya bergabung di Palmach, ketika kami berperang melawan Inggris dan Arab. Kamu tahu?” Palmach adalah penyerang elit, bagian dari gerakan bawah tanah Haganah, di kawasan Palestina.
“Orang-orang Inggris lah yang mengacaukan semuanya. Mereka harusnya membagi tanah itu antara orang Yahudi dan Arab, tapi itu tak mereka lakukan.”
Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pengambilan suara pada 1947 untuk membagi tanah Palestina bagi negara Yahudi dan negara Arab. Bangsa Arab menolak keputusan itu dan memilih angkat senjata.
Perang tahun 1948 membuat banyak orang Arab terusir dari Jaffa dan ribuan menjadi pengungsi di Gaza. Saat itulah negeri Israel berdiri.
Patung karya Emanuel, diberi nama Boat, yang terbuat dari pasir lembah danau Galilea, kini berada di Tel Aviv Museum of Art.
Sekarang dalam usia tua, dengan rasa sakit di punggungnya, dia hanya membuat patung-patung kecil sambil memandang kehidupan yang terus berjalan.
Mereka yang tinggal di pusat keramaian Jaffa tak punya tempat untuk berlindung dari serangan, tak seperti kota-kota Israel selatan yang bertetangga dengan Gaza, dimana serangan roket merupakan kenyataan sehari-hari dalam delapan tahun terakhir.
Namun orang-orang usia lanjut tak begitu peduli dengan bunyi sirene. Mungkin karena kaki mereka juga sudah lemah untuk mampu cepat-cepat berlari.
“Semua ini (konflik Israel-Palestina) akan berlangsung selamanya,” tandas Emanuel. (Reuters/lt)
No comments:
Post a Comment