Dakwah Ahlul Bait Nabi SAW bag. II


Dakwah para Ahlul Bait ke Asia 


Hijrah Ahlul Bait tidak terbatas ke Hindia dan daratan Cina serta kepulauan-kepulauan di Asia Tenggara, bahkan sebagian dari mereka pergi ke Afrika. Demikian keterangan DR. Muhammad Abduh Yamani mengenai keberadaan keturunan Siti Fathimah di berbagai Negara. Sebagian dari mereka menempuh perjalanan laut menuju pantai-pantai Hindia dengan tujuan berdagang dan menyeru kepada Allah Azza wa Jalla. Ada yang hijrah dari Hindia menuju pulau-pulau di Laut Cina demi tujuan yang sama. Ada pula yang keluar dari Hadramaut secara langsung menuju pulau-pulau itu sambil membawa risalah Islamiah. Mereka ini telah mendapat sukses besar dalam berda’wah. Upaya seperti ini menyebabkan banyak orang masuk Islam dan sebagian menjadi menantu raja-raja dan pangeran-pangeran di pulau-pulau itu.
Kemudian terbentuklah sebuah negara Islam. Bersama penduduk negeri, mereka giat berdakwah. Mereka mempunyai kapal-kapal khusus yang membawa mereka ke berbagai pulau yang berjumlah ribuan.Maka Islam pun tersebar di kepulauan Malaysia, Indonesia, Philipina, pulau Jawa dan Sumatra. Sebagian dari para dai ini ada yang turun didaratan Cina dan sampailah Islam ke Burma, Thailand, Kamboja dan banyak negri-negri yang bertetangga. Menetapnya kaum Muhajirin (imigran) dari Ahlul Bait di negri-negri itu setelah mengadakan hubungan yang baik dan menjalin hubungan yang baik dan menjalin ikatan-ikatan sosial dengan mereka serta bersama-sama menunaikan berbagai kepentingan keagamaan dan keduniaan. Mereka selalu menjaga garis keturunan dan selalu menunjukkan ketinggian akhlak serta kemuliaan sifat-sifatnya sampai hari-hari ini. Demikian pula keadaannya di Hindia, Pakistan dan negri-negri Islam lainnya. Di Indonesia keturunan Siti Fathimah atau Dzurriyyaturrosul tersebut banyak. Mereka dikenal dengan sebutan Habaib atau Habib. Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. 

Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung. Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik* yang diberi gelar ‘Azhamat Khan*’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan WaliSongo*, Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.

Kapan dan dari mana? 
Dzuriat Rasul Menancapkan  Cahaya Islam di Indonesia
 Sejarah mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Namun demikian, kapan tepatnya Islam hadir di Nusantara?

Menurut penyelidikan para ahli sejarah bahwa masuknya agama islam ke Jawa pada tahun 30H/650M di zaman Khalifah Usman bin Affan R.A. Sulaiman as-Sirafi, pengelana dan pedagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persi mengatakan bahwa di Sili terdapat beberapa orang islam pada masa dia, yaitu sekurang-kurangnya pada abad ke-2 Hijriah. Hal ini sesuatu yang telah pasti dan tidak perlu pen-tahqiq-an lagi kerana perdagangan rempah-ratus dan wangi-wangian yang berasal dari kepulauan Maluku pasti membuat pedagang-pedagang Muslimin sering berkunjung ke sana dank e tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan ini. Menurut pengarang buku Nukhbah ad-Dahr, Kepulauan Sili/Sila adalah Sulawesi dan pulau-pulau yang berdekatan dengannya. Lautan disebut Laut Sala. Demikian pula yang diterangkan oleh Sir Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java*.

Hubungan antara negeri-negeri Arab dengan kepulauan ini belansung sebelum dan sesudah islam. Bangsa Arab sebelum islam termasuk di antara pedagang-pedagang yang menerima barang-barang dagangan itu. Banyak kapal mereka yang melintasi lautan tersebut dengan membawa rempah-ratus dan bahan-bahan lainnya yang diperlukan oleh Yunani dan Romawi. Hal ini dikemukakan oleh Syaikh Abi Ali al-Marzuqi al-Asfihani dalam bukunya al-Azminah wa al-Amkinah. Ibn Jarir dalam buku sejarahnya menyebutkan hal itu pada dua tempat. Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad bin Thalib ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama Syaikh ar-Rabwah dalam bukunya Nukhbah ad-Dahr, setelah menguraikan dengan panjang lebar tentang pulau-pulau Sila, Sala (Sulu), Yaqut, Sabah, dan Alwiyah, serta menjelaskan pulau-pulau yang sekarang dinamakan Filiphina, selanjutnya mengatakan:
“Sekelompok Alawiyin telah memasuki pulau-pulau itu lalu menetap dan berkuasa di sana sampai mati dan dikuburkan di kepulauan itu yang letaknya di sebelah utara lautan ini. Bila seorang asing memasuki kepulaun ini maka ia tidak ingin meninggalkannya walaupun ia tidak hidup dengan mewah”
Ketika menjelaskan tentang negeri Sanf yaitu yang meliputi semua daerah yang terletak sesudah negeri Burma, ia mengatakan sebagai berikut:
“Dakwah islam telah sampai ke sana di zaman Khalifah Usman. Mereka menyeberangi laut Zefti dan tinggal menetap di pulau yang terkenal dengan nama Mirela”. Menurut keterangan yang disebutkan oleh ad-Dimasyqi berada di Laut Cina. Di tempat lain ia mengatakan, “Sili berada di Laut Zefti Timur.”

Dalam buku Sejarah Tanah Jawa* karangan Fruin Mees, jilid 11 halaman 8, dikatakan sebagai berikut:
“Sunnan Kalijaga hidup pada abad keenam di Kerajaan Kadilangu, dekat Demak. Di sanalah terdapat sebuah masjid terkenal yang didirikan pada tahun 874H/1468M. sebelum itu Demak dinamakan Bintara. Di masa itu di sana terdapat masjid yang paling kuno. Sudah semestinya, kaum muslim ada di sana ketika itu.”

Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayyid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Al'aydrus. 



Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw. Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. 

Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali. Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso. Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Basyaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.
Masuknya Islam ke Indonesia  menimbulkan berbagai teori. Meski terdapat beberapa pendapat mengenai kedatangan agama Islam di Indonesia, banyak ahli sejarah cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 berdasarkan Berita Cina zaman Dinasti Tang. Berita itu mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat permukiman pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara.

Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Pendapat ini berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297.

Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, bagian utara Sumatra. Hal ini menyangkut strategisnya letak Perlak, yaitu di daerah Selat Malaka, jalur laut perdagangan internasional dari barat ke timur. Berikutnya ialah Kerajaan Samudra Pasai.


Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun* yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Selain itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.

Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman* pada abad ke-18. Di hulu Sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman Islam kuno. Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340 Saka (1418 M). Jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan berasal dari Majapahit karena bentuk makam bergaya Majapahit dan berangka tahun Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar agama dari Minangkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggangparangan. Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan oleh Dayyan, seorang khatib (ahli khotbah) dari Demak. Di Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.

Di Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo. Hal masuknya Islam ke Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang. Menurut catatan tersebut, raja pertama yang memeluk Islam ialah Kanjeng Matoaya, raja keempat dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603. Adapun penyiar agama Islam di daerah ini berasal antara lain dari Demak, Tuban, Gresik, Minangkabau, bahkan dari Campa. Di Maluku, Islam masuk melalui bagian utara, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Diperkirakan Islam di daerah ini disiarkan oleh keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh Amin, Syekh Mansyur, Syekh Umar, dan Syekh Yakub pada abad ke-8.


Wali Songo
Salah satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Di samping sebagai pedagang, para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama pedagang dengan misi agamanya.
Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam. 
Walisongo
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo*. Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi).
Masjid Demak

Kesembilan wali tersebut adalah seperti berikut.

(1) SunanGresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.






(2) Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.

(3) Sunan Drajat (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.

(4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.

(5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.

(6) Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.

(7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.

(8) Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.

(9) Sunan Gunung Jati(Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar. 

Delapan dari sembilan Wali Songo yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa adalah kaum Alawiyyin dari Ahlu Baiti Rasulillah atau Durriyyaturrosul.  
Silsilah Wali Songo

Karena jasa merekalah, sebagian besar dari rakyat Indonesia sekarang beragama Islam. Keberadaan mereka di Indonesia bagaikan penyelamat bangsa. Hal ini sesuai dengan keterangan Rasulullah saw, dimana beliau pernah bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku diantara kalian adalah seperti kapal Nuh diantara kaumnya. Barangsiapa menaikinya , ia pun selamat dan siapa tertinggal olehnya, iapun tenggelam,” (HR. Al Hakim). Itulah keutamaan dan keistimewaan yang Allah berikan kepada keturunan Siti Fathimah ra. “Demikianlah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendakinya dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Jumuah: 4).

Asal Usul Mubaligh dan Pejuang Islam Indonesia 








Penutup
Yang disayangkan, apa yang sudah dicapai dan dihasilkan serta ditanam oleh para Salaf Alawiyyin tersebut, akhir-akhir ini telah dinodai oleh ulah oknum-oknum Alawiyyin. Penyebabnya tidak lain dikarenakan jauhnya mereka dari Salaf Alawiyyin, sehingga dengan dengan adanya faham yang bermacam-macam dengan mudah terombang-ambing, dan akibatnya mereka tanpa sadar terjerumus kedalam kesesatan. Berkembangnya aliran Syi’ah di Indonesia, adalah merupakan salah satu penyebab kerusakan aqidah dan akhlak Alawiyyin. Kerusakan akhlak yang bersumber dari kerusakan aqidah tersebut dapat dibuktikan dengan kenyataan yang sedang berkembang dimasyarakat sekarang ini. Dimana kalau dahulunya pemuda-pemuda Alawiyyin itu dikenal sangat hormat kepada orang-orang tua mereka, maka kini oknum-oknum Alawiyyin yang sudah teracuni oleh ajaran Syi’ah tersebut, mereka tidak lagi menghormati kepada Salaf mereka. Justru berani mengkritik, mencari-cari kesalahan, bahkan berani menyalahkan Salaf mereka. Padahal kesuksesan orang-orang tua mereka (Salaf mereka) sudah terbukti, dimana mereka dapat merubah bangsa yang tidak mengenal Islam, menjadi bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Walaupun para sesepuh Alawiyyin itu tidak diikat dengan satu organisasi yang khusus, persatuan mereka sudah berjalan sejak dahulu. Hal mana karena mereka terikat dalam satu aqidah Ahlussunah Waljama’ah. 



1 comment:

  1. Anonymous7/02/2013

    Alhamdulillah tambah kuat Keyakinanku tentang Aswaja, namun demikian tulisan penutup yang mengatakan alawiyyin terjerumus aliran syiah itu perlu di klarifikasi. setahu saya alawiyyin tidak terpengaruh dengan syiah, kalau memang ada tolong di infokan siapakah alawiyyin itu. karena mayoritas muslim Indonesia sangat mencintai Habib-Habib kalau nanti memang sebagiannya syiah bisa berabe tuh rakyat awam kayak saya ini. tolong deh admin terangkan alawiyyin yang mana itu yang sdh terkontaminasi syiahhhhhhhhh, terima kasih.

    ReplyDelete

Tentang Saya