Hari itu adalah hari yang suram bagi Bani Israil. Nabi sekaligus
pemimpin mereka telah dipanggil menghadap Sang Pencipta. Wafatnya Nabi
Musa telah meninggalkan duka yang dalam bagi orang-orang Bani Israel.
Kini mereka hanya bisa memandangi sebuah peti yang diwariskan oleh Nabi mereka. Peti yang merupakan simbol kekuatan dan kejayaan Bani Israel itu berisi kitab Taurat, sorban Nabi Harun, tongkat dan sandal Nabi Musa.
Dulunya orang-orang Bani Israel rajin mempelajari dan mengamalkan isi kitab Taurat. Mereka taat beribadah kepada Alloh. Ketaatan kepada Alloh telah membawa Bani Israel menjadi bangsa yang hebat. Namun sejak mereka ditinggalkan oleh Nabi Musa, segala sesuatunya mulai berubah. Keimanan kaum Bani Israel sedikit demi sedikit mulai memudar. Peraturan-peraturan Alloh mulai diabaikan. Hawa nafsu mulai menjadi panutan. Mereka suka bertengkar satu sama lain. Hanya sedikit orang yang masih khusu’ beribadah kepada Alloh, diantaranya Samuel atau Yusa’ bin Nun, seorang hamba Alloh yang dipilih oleh Alloh meneruskan kenabian Musa dan Harun.
Lama kelamaan Bani Israel menjadi bangsa yang sombong dan takabur. Dari luar mereka kelihatan sebagai bangsa yang besar dan hebat, padahal mereka telah menjadi bangsa yang lemah dan pengecut. Sehingga dengan mudahnya kaum kafir yang dipimpin oleh raja Jalut menjajah dan menguasai Bani Israel. Peti suci Bani Israel pun jatuh ke tangan orang-orang kafir. Rakyat Bani Israel menderita, harta mereka dirampas dan mereka diusir dari tanah airnya.
Pada suatu hari mereka menemui Nabi Samuel, “Wahai Nabi…Apakah tidak ada seseorang yang dapat memimpin kami berperang melawan bala tentara Jalut?”.
Samuel terdiam. Ia teringat sifat kaum Bani Israel yang suka berbuat seenaknya kepada pemimpin mereka, bahkan peraturan Alloh pun sering mereka lawan. Sulit rasanya mencari seorang pemimpin yang saleh di kalangan mereka.
“Apakah kalian yakin akan siap berperang melawan bala tentara Jalut? Jangan-jangan ketika tiba di medan perang, kalian berlari ketakutan?” tanya Samuel.
“Mengapa kami harus takut melawn mereka! Sedangkan kami adalah bangsa yang terusir dan keadaan kami makin memburuk!”.
“Kalau memang demikian…baiklah…aku akan memohon petunjuk Alloh untuk mencari raja yang kalian inginkan”.
Berita Mengejutkan
Beberapa kari kemudian Samuel datang menemui orang-orang Bani Israel dengan membawa berita yang sangat mengejutkan..
“Sesungguhnya Alloh telah mengutus Tholut sebagai pemimpin kalian”.
“Haaahh?!…Bagaimana mungkin ia menjadi pemimpin kami? Ia adalah orang miskin yang bukan keturunan seorang pemimpin!”.
“Wahai kaum Bani Israel…Alloh telah memilih Tholut karena ia memiliki pengetahuan yang luas serta fisik yang kuat. Hidupnya sederhana dan tak pernah berkeinginan menjadi raja. Itulah ciri orang yang beriman. Kalau kalian masih ragu, lihatlah sekarang apa yang ada di rumahnya”.
Kaum Bani Israel berbondong-bondong mendatangi rumah Tholut. Ketika telah sampai di depan rumah Tholut, mereka tercengang melihat sebuah benda yang terbujur di depan pintu rumah Tholut.
“Haahh?! Bukankah ini peti suci milik bangsa kita yang telah dirampas oleh Jalut…?!”.
“Benar. Peti ini telah dirampas oleh musuh kalian. Kemudian Alloh perintah kepada malaikat untuk mengambil peti ini dan menyerahkan kembali kepada kalian. Ini adalah sebagai tanda kekuasaan Alloh sekaligus bukti bahwa Alloh telah memlih Tholut untuk menjadi raja kalian” jelas Nabi Samuel.
Akhirnya kaum Bani Israel mengakui bahwa Tholut memang orang yang pantas menjadi pemimpin mereka.
Tholut menjadi pemimpin kaum Bani Israel yang dihormati. Pembentukan pasukan Tholut pun dimulai. Semua kaum laki-laki dilatih untuk menjadi pasukan yang tangguh, karena musuh yang akan mereka hadapi cukup berat. Selain itu Tholut juga menbekali mereka dengan pengertian-pengertian tentang keyakinan.
“Yang paling utama dalam berperang adalah iman kepada Alloh. Berperang tanpa iman, kita akan lemah dan kalah walaupun bala tentara kita banyak”.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah bala tentara Bani Israel berjumlah 80.000 orang yang dipimpin langsung oleh Tholut. Perjalanan mereka menuju medan perang cukup jauh, mereka harus berjalan melewat hamparan padang pasir yang panas dan gunung-gunung batu yang tandus. Ketika hampir tiba di tujuan, para pasukan Tholut mulai nampak kelelahan. Rasa haus mencekik leher mereka. Tiba-tiba Tholut berseru…
“Wahai kaumku! Bersabarlah! Sebentar lagi kita akan melewati sebuah sungai…!”.
Mendengar kata-kata sungai, bala tentara Tholut kembali bersemangat. Yang terbayang oleh mereka adalah air yang bening mengalir berlimpah-limpah. Mereka akan mandi dan minum sepuas-puasnya. Namun tiba-tiba kegembiraan mereka berubah begitu mendengar peringatan dari Tholut…
“Tetapi ingat! Alloh akan menguji kalian dengan sungai itu. Kalian tidak boleh minum air sungai itu dengan berlebihan, cukup seteguk atau dua teguk saja untuk membasahi tenggorokan kalian. Siapa diantara kalian yang minum dengan berlebihan, maka kalian bukan lagi pengikutku. Yang minum sedikitlah yang tetap menjadi pengikutku!”.
Begitu pasukan Tholut sampai di sungai, banyak diantara mereka yang lupa diri. Padahal Tholut berulang-ulang mengingatkan mereka.
“Minumlah secukupnya! Minumlah secukupnya saja….! Jangan berlebihan!”.
Kaum Bani Israel itu tidak mendengar peringatan rajanya. Mereka memilih menuruti hawa nafsu dengan meminum air sepuas-puasnya. Diantara 80.000 pasukan, hanya tinggal 313 orang saja yang taat pada perintah Tholut.
Akibatnya, orang-orang yang tidak taat pada perintah Tholut satu demi satu bertumbangan. Mereka tidak kuat melanjutkan perjalanan.
Dalam hati Tholut berkata, “Hmm…Kini aku tahu siapa diantara mereka yang lemah imannya lagi pengecut dan yang kuat imannya lagi pemberani. Aku akan berperang dengan orang-orang yang memiliki keberanian dan iman yang tinggi. Meski jumlah mereka sedikit tetapi yang paling penting dalam pasukan adalah, sifat keberanian dan iman yang tinggi, bukan semata-mata jumlah pasukan dan senjata mereka”.
Menghadapi Raja Jalut
Tibalah saat-saat yang menentukan bagi pasukan Tholut. Mereka telah sampai di medan peperengan. Di kejauhan nampak pasukan musuh yang sangat kuat dan banyak sudah siap menghadang. Raja Jalut berdiri paling depan mengenakan baju besi dengan pedang terhunus. Sementara itu pasukan Tholut yang tinggal sedikit itu sebagian besar diantara mereka merasa cemas dan ketakutan.
“Bagaiman mungkin kita dapat mengalahkan pasukan yang kuat ini?”
“Tholut berusaha memberikan semangat dan membesarkan hati pasukan,
“Yang penting dalam pasukan adalah keimanan dan keberanian. Sudah banyak kelompok yang sedikit mampu mengalahkan keompok yang banyak dengan ijin Alloh. Kalian jangan cemas, Alloh pasti menolong kita!”.
Akhirnya mereka sama-sama memohon kepada Alloh…
“Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami dan kokohkanlah pendirian kami terhadap orang-orang kafir”
Pasukan Tholut dan pasukan Jalut telah berhadap-hadapan. Keduanya diam dan saling menunggu. Akhirnya hilanglah kesabaran Jalut yang telah bernafsu untuk menghancurkan pasukan Tholut. Raja kafir yang bengis itu berjalan ke tengah-tengah arena…
“Hai… Bani Israel!” suara Jalut menggelegar.
“Bukankah kalian datang kemari ingin melawanku?! Sebelum kalian berhadapan dengan pasukanku, aku menantang kalian untuk berduel satu lawan satu! Siapa yang berani melawanku, maju!” Jalut berteriak-terian sambil mengacungkan pedangnya. Wajahnya begitu menyeramkan.
Pasukan Tholut nampak ketakutan dan kecut hatinya. Tidak ada yang berani membalas tantangan Jalut. Disaat-saat tegang itu tiba-tiba majulah seoran pemuda dari pasukan Tholut. Pemuda berbadan kecil yang pekerjaan sehari-harinya menggembala kambing itu bernama Dawud. Walaupun usianya masih dua belas tahun tetapi Dawud adalah seseorang yang memiliki ketaqwaan tinggi. Ia memahami betul bahwa keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh adalah hakekat kekuatan di alam ini.
Dawud memohon ijin kepada Raja Tholut untuk berduel dengan Jalut. Semula sang Raja tidak mengijinkan…
“Engkau masih muda, Nak… Jangan sia-siakan nyawamu…”.
“Aku tidak takut melawan Jalut. Ijinkanlah untuk menghadapinya”.
Akhirnya Tholut memberi ijin padanya…..
‘Wahai Dawud…Seandainya engkau dapat membunuh Jalut, maka engkau akan kunikahkan dengan putriku dan kujadikan pemimpin pasukan”.
Dawud tidak peduli dengan iming-iming tersebut. Ia hanya berperang membunuh Jalut seorang laki-laki yang sombong, lalim dan tidak beriman kepada Alloh. Dawud bukanlah seorang tentara, ia hanya seorang pengembala kecil yang tidak memiliki pengalaman dalam peperangan, tidak memiliki pedang, senjata yang dimilikinya hanyalah ketepel dan potongan-potongan batu. Meskipun demikian Dawud yakin bahwa Alloh adalah sumber kekuatan hakiki. Atas dasar itulah maka ia merasa lebih kuat daripada Jalut.
Dawud maju ke medan laga dengan membawa potongan-potongan batu dan ketepel. Melihat itu, jalut tertawa terbahak-bahak…
“Ha.. haa..haa..! Mau apa kau bocah?! Mau mati konyol…?!”.
“Hai orang kafir! Aku akan melawanmu! Aku tidak takut padamu!”
Kemudian Dawud meletakkan batu di ketepelnya, lalu ia melepaskannya di udara, sehingga batu itu pun meluncur dengan kencang. Angin seolah menjadi sahabat Dawud karena ia cinta kepada Alloh, angin membawa batu itu ke dahi Jalut.
“Plettakk!” Batu itu mengenai pelipis Jalut. Tubuh besar yang dibekali dengan senjata lengkap itu terhuyung-huyung lalu… ”Gedebukk!” Jalut tersungkur ke tanah sudah tidak bernyawa lagi. Melihat pemimpin mereka mati, pasukan Jalut lari tunggang langgang.
“Horee…horee…kita menang…kita menaaang!” pasukan Tholut melompat-lompat kegirangan. Dawud digendong dan diarak kesana kemari oleh orang-orang Bani Israel.
Dawud telah mencapai puncak ketenaran ditengah-tengah kaumnya hingga ia menjadi seorang lelaki yang paling terkenal di kalangan Bani Israel. Beliau menjadi pemimpin pasukan dan menjadi suami putri Raja Tholut. Namun Dawud tidak terlena dengan kegembiraan yang dialaminya. Beliau tidak bertujuan mencari ketenaran, kedudukan maupun kehormatan. Yang beliau inginkan adalah menggapai cinta Alloh. Akhirnya setelah Raja Tholut wafat, Dawud diangkat menjadi penggantinya. Selain itu Alloh juga memilihnya menjadi Nabi untuk melanjutkan perjuangan Nabi Samuel
Dulunya orang-orang Bani Israel rajin mempelajari dan mengamalkan isi kitab Taurat. Mereka taat beribadah kepada Alloh. Ketaatan kepada Alloh telah membawa Bani Israel menjadi bangsa yang hebat. Namun sejak mereka ditinggalkan oleh Nabi Musa, segala sesuatunya mulai berubah. Keimanan kaum Bani Israel sedikit demi sedikit mulai memudar. Peraturan-peraturan Alloh mulai diabaikan. Hawa nafsu mulai menjadi panutan. Mereka suka bertengkar satu sama lain. Hanya sedikit orang yang masih khusu’ beribadah kepada Alloh, diantaranya Samuel atau Yusa’ bin Nun, seorang hamba Alloh yang dipilih oleh Alloh meneruskan kenabian Musa dan Harun.
Lama kelamaan Bani Israel menjadi bangsa yang sombong dan takabur. Dari luar mereka kelihatan sebagai bangsa yang besar dan hebat, padahal mereka telah menjadi bangsa yang lemah dan pengecut. Sehingga dengan mudahnya kaum kafir yang dipimpin oleh raja Jalut menjajah dan menguasai Bani Israel. Peti suci Bani Israel pun jatuh ke tangan orang-orang kafir. Rakyat Bani Israel menderita, harta mereka dirampas dan mereka diusir dari tanah airnya.
Pada suatu hari mereka menemui Nabi Samuel, “Wahai Nabi…Apakah tidak ada seseorang yang dapat memimpin kami berperang melawan bala tentara Jalut?”.
Samuel terdiam. Ia teringat sifat kaum Bani Israel yang suka berbuat seenaknya kepada pemimpin mereka, bahkan peraturan Alloh pun sering mereka lawan. Sulit rasanya mencari seorang pemimpin yang saleh di kalangan mereka.
“Apakah kalian yakin akan siap berperang melawan bala tentara Jalut? Jangan-jangan ketika tiba di medan perang, kalian berlari ketakutan?” tanya Samuel.
“Mengapa kami harus takut melawn mereka! Sedangkan kami adalah bangsa yang terusir dan keadaan kami makin memburuk!”.
“Kalau memang demikian…baiklah…aku akan memohon petunjuk Alloh untuk mencari raja yang kalian inginkan”.
Berita Mengejutkan
Beberapa kari kemudian Samuel datang menemui orang-orang Bani Israel dengan membawa berita yang sangat mengejutkan..
“Sesungguhnya Alloh telah mengutus Tholut sebagai pemimpin kalian”.
“Haaahh?!…Bagaimana mungkin ia menjadi pemimpin kami? Ia adalah orang miskin yang bukan keturunan seorang pemimpin!”.
“Wahai kaum Bani Israel…Alloh telah memilih Tholut karena ia memiliki pengetahuan yang luas serta fisik yang kuat. Hidupnya sederhana dan tak pernah berkeinginan menjadi raja. Itulah ciri orang yang beriman. Kalau kalian masih ragu, lihatlah sekarang apa yang ada di rumahnya”.
Kaum Bani Israel berbondong-bondong mendatangi rumah Tholut. Ketika telah sampai di depan rumah Tholut, mereka tercengang melihat sebuah benda yang terbujur di depan pintu rumah Tholut.
“Haahh?! Bukankah ini peti suci milik bangsa kita yang telah dirampas oleh Jalut…?!”.
“Benar. Peti ini telah dirampas oleh musuh kalian. Kemudian Alloh perintah kepada malaikat untuk mengambil peti ini dan menyerahkan kembali kepada kalian. Ini adalah sebagai tanda kekuasaan Alloh sekaligus bukti bahwa Alloh telah memlih Tholut untuk menjadi raja kalian” jelas Nabi Samuel.
Akhirnya kaum Bani Israel mengakui bahwa Tholut memang orang yang pantas menjadi pemimpin mereka.
Tholut menjadi pemimpin kaum Bani Israel yang dihormati. Pembentukan pasukan Tholut pun dimulai. Semua kaum laki-laki dilatih untuk menjadi pasukan yang tangguh, karena musuh yang akan mereka hadapi cukup berat. Selain itu Tholut juga menbekali mereka dengan pengertian-pengertian tentang keyakinan.
“Yang paling utama dalam berperang adalah iman kepada Alloh. Berperang tanpa iman, kita akan lemah dan kalah walaupun bala tentara kita banyak”.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah bala tentara Bani Israel berjumlah 80.000 orang yang dipimpin langsung oleh Tholut. Perjalanan mereka menuju medan perang cukup jauh, mereka harus berjalan melewat hamparan padang pasir yang panas dan gunung-gunung batu yang tandus. Ketika hampir tiba di tujuan, para pasukan Tholut mulai nampak kelelahan. Rasa haus mencekik leher mereka. Tiba-tiba Tholut berseru…
“Wahai kaumku! Bersabarlah! Sebentar lagi kita akan melewati sebuah sungai…!”.
Mendengar kata-kata sungai, bala tentara Tholut kembali bersemangat. Yang terbayang oleh mereka adalah air yang bening mengalir berlimpah-limpah. Mereka akan mandi dan minum sepuas-puasnya. Namun tiba-tiba kegembiraan mereka berubah begitu mendengar peringatan dari Tholut…
“Tetapi ingat! Alloh akan menguji kalian dengan sungai itu. Kalian tidak boleh minum air sungai itu dengan berlebihan, cukup seteguk atau dua teguk saja untuk membasahi tenggorokan kalian. Siapa diantara kalian yang minum dengan berlebihan, maka kalian bukan lagi pengikutku. Yang minum sedikitlah yang tetap menjadi pengikutku!”.
Begitu pasukan Tholut sampai di sungai, banyak diantara mereka yang lupa diri. Padahal Tholut berulang-ulang mengingatkan mereka.
“Minumlah secukupnya! Minumlah secukupnya saja….! Jangan berlebihan!”.
Kaum Bani Israel itu tidak mendengar peringatan rajanya. Mereka memilih menuruti hawa nafsu dengan meminum air sepuas-puasnya. Diantara 80.000 pasukan, hanya tinggal 313 orang saja yang taat pada perintah Tholut.
Akibatnya, orang-orang yang tidak taat pada perintah Tholut satu demi satu bertumbangan. Mereka tidak kuat melanjutkan perjalanan.
Dalam hati Tholut berkata, “Hmm…Kini aku tahu siapa diantara mereka yang lemah imannya lagi pengecut dan yang kuat imannya lagi pemberani. Aku akan berperang dengan orang-orang yang memiliki keberanian dan iman yang tinggi. Meski jumlah mereka sedikit tetapi yang paling penting dalam pasukan adalah, sifat keberanian dan iman yang tinggi, bukan semata-mata jumlah pasukan dan senjata mereka”.
Menghadapi Raja Jalut
Tibalah saat-saat yang menentukan bagi pasukan Tholut. Mereka telah sampai di medan peperengan. Di kejauhan nampak pasukan musuh yang sangat kuat dan banyak sudah siap menghadang. Raja Jalut berdiri paling depan mengenakan baju besi dengan pedang terhunus. Sementara itu pasukan Tholut yang tinggal sedikit itu sebagian besar diantara mereka merasa cemas dan ketakutan.
“Bagaiman mungkin kita dapat mengalahkan pasukan yang kuat ini?”
“Tholut berusaha memberikan semangat dan membesarkan hati pasukan,
“Yang penting dalam pasukan adalah keimanan dan keberanian. Sudah banyak kelompok yang sedikit mampu mengalahkan keompok yang banyak dengan ijin Alloh. Kalian jangan cemas, Alloh pasti menolong kita!”.
Akhirnya mereka sama-sama memohon kepada Alloh…
“Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami dan kokohkanlah pendirian kami terhadap orang-orang kafir”
Pasukan Tholut dan pasukan Jalut telah berhadap-hadapan. Keduanya diam dan saling menunggu. Akhirnya hilanglah kesabaran Jalut yang telah bernafsu untuk menghancurkan pasukan Tholut. Raja kafir yang bengis itu berjalan ke tengah-tengah arena…
“Hai… Bani Israel!” suara Jalut menggelegar.
“Bukankah kalian datang kemari ingin melawanku?! Sebelum kalian berhadapan dengan pasukanku, aku menantang kalian untuk berduel satu lawan satu! Siapa yang berani melawanku, maju!” Jalut berteriak-terian sambil mengacungkan pedangnya. Wajahnya begitu menyeramkan.
Pasukan Tholut nampak ketakutan dan kecut hatinya. Tidak ada yang berani membalas tantangan Jalut. Disaat-saat tegang itu tiba-tiba majulah seoran pemuda dari pasukan Tholut. Pemuda berbadan kecil yang pekerjaan sehari-harinya menggembala kambing itu bernama Dawud. Walaupun usianya masih dua belas tahun tetapi Dawud adalah seseorang yang memiliki ketaqwaan tinggi. Ia memahami betul bahwa keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh adalah hakekat kekuatan di alam ini.
Dawud memohon ijin kepada Raja Tholut untuk berduel dengan Jalut. Semula sang Raja tidak mengijinkan…
“Engkau masih muda, Nak… Jangan sia-siakan nyawamu…”.
“Aku tidak takut melawan Jalut. Ijinkanlah untuk menghadapinya”.
Akhirnya Tholut memberi ijin padanya…..
‘Wahai Dawud…Seandainya engkau dapat membunuh Jalut, maka engkau akan kunikahkan dengan putriku dan kujadikan pemimpin pasukan”.
Dawud tidak peduli dengan iming-iming tersebut. Ia hanya berperang membunuh Jalut seorang laki-laki yang sombong, lalim dan tidak beriman kepada Alloh. Dawud bukanlah seorang tentara, ia hanya seorang pengembala kecil yang tidak memiliki pengalaman dalam peperangan, tidak memiliki pedang, senjata yang dimilikinya hanyalah ketepel dan potongan-potongan batu. Meskipun demikian Dawud yakin bahwa Alloh adalah sumber kekuatan hakiki. Atas dasar itulah maka ia merasa lebih kuat daripada Jalut.
Dawud maju ke medan laga dengan membawa potongan-potongan batu dan ketepel. Melihat itu, jalut tertawa terbahak-bahak…
“Ha.. haa..haa..! Mau apa kau bocah?! Mau mati konyol…?!”.
“Hai orang kafir! Aku akan melawanmu! Aku tidak takut padamu!”
Kemudian Dawud meletakkan batu di ketepelnya, lalu ia melepaskannya di udara, sehingga batu itu pun meluncur dengan kencang. Angin seolah menjadi sahabat Dawud karena ia cinta kepada Alloh, angin membawa batu itu ke dahi Jalut.
“Plettakk!” Batu itu mengenai pelipis Jalut. Tubuh besar yang dibekali dengan senjata lengkap itu terhuyung-huyung lalu… ”Gedebukk!” Jalut tersungkur ke tanah sudah tidak bernyawa lagi. Melihat pemimpin mereka mati, pasukan Jalut lari tunggang langgang.
“Horee…horee…kita menang…kita menaaang!” pasukan Tholut melompat-lompat kegirangan. Dawud digendong dan diarak kesana kemari oleh orang-orang Bani Israel.
Dawud telah mencapai puncak ketenaran ditengah-tengah kaumnya hingga ia menjadi seorang lelaki yang paling terkenal di kalangan Bani Israel. Beliau menjadi pemimpin pasukan dan menjadi suami putri Raja Tholut. Namun Dawud tidak terlena dengan kegembiraan yang dialaminya. Beliau tidak bertujuan mencari ketenaran, kedudukan maupun kehormatan. Yang beliau inginkan adalah menggapai cinta Alloh. Akhirnya setelah Raja Tholut wafat, Dawud diangkat menjadi penggantinya. Selain itu Alloh juga memilihnya menjadi Nabi untuk melanjutkan perjuangan Nabi Samuel
No comments:
Post a Comment