Mari kita mulai dengan pembahasan singkat tauhid rububiyyah, yang menjelaskan kata ar-Rabb dengan arti Pencipta,
hal ini sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an. Sebenarnya
arti kata ar-Rabb didalam bahasa dan didalam Al-Qur’an al-Karim tidak
keluar dari arti “ Yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan”.
Dalam surat Al Baqarah (2) : 21: “Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu.”
Dalam surat Al Anbiyaa (21) : 56: “Sebenarnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya “.
Jika kata ar-Rabb berarti Pencipta maka ayat-ayat diatas tidak diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu atau kata yang telah menciptakannya. Karena jika tidak, maka berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita meletakkan kata al-Khaliq (Pencipta) sebagai ganti kata ar-Rabb pada kedua ayat di atas, maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu dan kata yang telah menciptakannya.
Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa arti kata ar-Rabb adalah
Pengatur atau Pengelola, maka disana tetap diperlukan penyebutan kata yang telah menciptakanmu dan kata yang telah menciptakannya. Sehingga dengan demikian, makna atau arti ayat yang pertama diatas ialah “sesungguhnya Zat yang telah menciptakanmu adalah pengatur urusanmu”, sementara arti pada ayat yang kedua ialah “Sesungguhnya pencipta langit dan bumi adalah penguasa dan pengatur keduanya “.
Adapun
bukti-bukti yang menunjukkan kepada makna ini banyak sekali, namun
tidak perlu diungkapkan disitus ini karena akan membutuhkan cukup waktu
untuk menjelaskannya secara rinci. Oleh karena itu, perkataan Muhammad
Ibnu Abdul-Wahhab yang berbunyi “Adapun tentang tauhid rububiyyah, baik Muslim maupun Kafir mengakuinya” adalah perkataan yang tanpa dasar, dan jelas-jelas ditentang oleh nash-nash Al-Qur’an, yang firman-Nya: ”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu.”
(QS. al-An’am: 164). Firman Allah swt kepada Rasul-Nya ini tidak lain
berarti agar beliau menyampaikan kepada kaumnya sebagai berikut: ‘Apakah
engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rabb yang aku akui pengelolaan
dan pengaturannya selain Allah, yang tidak ada pengatur selain-Nya sebagaimana engkau mengambil berhala-berhalamu dan mengakui pengelolaan dan pengaturannya’.
Jika
semua orang-orang kafir mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya
semata-mata milik Allah –sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab– maka ayat Al-An’am itu tidak mempunyai arti sama sekali,
sehingga hanya menjadi sesuatu yang sia-sia, na’udzu billah. Karena
setiap manusia –berdasarkan sangkaan Muhammad bin Abdul Wahhab ini– baik
muslim maupun kafir, semuanya mentauhidkan Allah didalam rububiyyahnya, maka tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rabb selain Allah.
Terdapat
juga ayat yang berkenaan dengan seorang yang beriman dari kalangan
keluarga Fir’aun. Allah swt berfirman didalam surat al-Mukmin [40]:28: “Apakah
kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, ‘Rabbku
ialah Allah’, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa
keterangan-keterangan dari Tuhanmu”. Demikian juga, berpuluh-puluh ayat lainnya menguatkan bahwa kata ar-Rabb
bukanlah berarti Pencipta, melainkan berarti Pengatur, yang di
tangan-Nya terletak pengaturan segala sesuatu. Kata ar-Rabb dengan arti
ini (yaitu Pencipta), sebagaimana ditekankan oleh ayat-ayat Al-Qur’an,
tidak menjadi kesepakatan diantara anggota manusia.
Muhammad bin Abdul Wahhab telah menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyyah tanpa
melalui proses pengkajian, sehingga bahaya yang ditimbulkannya atas
kaum Muslimin sangat besar. Ibnu Taimiyyah tidak mengeluarkan pemikiran
ini dari kerangka ilmiah. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang
ditunjang oleh keadaan sehingga bisa melaksanakan pemikiran ini pada
tataran praktis dan menerapkannya pada kaum Muslimin. Maka hasil dari
semua ini ialah, mereka mudah mengkafirkan madzhab lain selain madzhab Wahabi/Salafi.
Memang ada ayat yang artinya, ‘dan jika engkau bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah, maka bagaimana mereka dapat dipalingkan
(dari menyembah Allah swt)’? (al-Zukhruf: 87). Namun ayat berikutnya,
menjelaskan bahwa mereka bukan kaum yang beriman. Firman Allah swt: ‘Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhamad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman. Maka berpalinglah (hai Muhamad) dari mereka...sampai akhir ayat‘(al-Zukhruf: 88-89).
Baik
al-qur’an maupun sunnah tidak ada menyebut bahwa orang-orang Musyrik
beriman dengan tauhid rububiah saja! Sebaliknya al-quran mengatakan
dengan jelas, bahwa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita
boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiah?
Telah diketahui oleh kaum muslimin dari zaman dahulu banyak orang kafir
tidak mengakui wujudnyaTuhan, apalagi mentauhidkan-Nya!
Tauhid Uluhiyyah
Supaya
lebih jelas, kita akan mengkaji pandangan Muhammad Abdul Wahhab
mengenai seputar tauhid uluhiyyah. Yang dimaksud dengan tauhid uluhiyyah
oleh kalangan Wahabi/Salafi ialah bahwa ibadah semata-mata hanya untuk
Allah swt., dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dengan yang
lainnya di dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan
diutusnya para Nabi dan para Rasul. Kita semua tidak ada keraguan
sedikitpun tentang pemahaman ini. Namun, disana terdapat kekaburan
mengenai istilah. Karena, didalam Al-Qur’an, Allah swt. bukanlah berarti
al-ma’bud. Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid
ibadah. Namun demikian tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah
sepakat mengenai pemahamannya.Kaum Muslimin sepakat akan wajibnya
menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah swt. dan hanya
semata-mata kepada-Nya kita beribadah. Namun yang menjadi perselisihan
ialah mengenai batasan pengertian ibadah. Dan ini merupakan
sesuatu yang paling penting didalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi
tempat tergelincirnya kaki golongan muslimin yang melarang
tawassul/tabarruk, ta'dhim/penghormatan kepada para Rasul dan para
sholihin baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Jika kita
mengatakan bahwa tauhid yang murni ialah kita mempersembahkan
ibadah semata-mata kepada Allah swt., maka yang demikian tidak akan ada
artinya jika kita tidak mendefenisikan terlebih dahulu pengertian
ibadah, sehingga kita mengetahui batas-batasannya, yang tentunya akan
menjadi tolok ukur yang tetap bagi kita untuk membedakan seorang muwahhid (yang bertauhid) dan seorang musyrik. Sebagai contoh: Orang yang bertawassul kepada para wali menziarahi kuburan mereka, menghormati mereka, apakah termasuk seorang musyrik atau seorang muwahhid
(bertauhid)? Sebelum kita menjawab, kita harus terlebih dahulu
mempunyai ukuran, yang dengannya kita dapat menyingkap ekstensi-ekstensi
ibadah pada kenyataan diluar.
Golongan Wahab/Salafii menganggap, bahwa seluruh ketundukan, perendahan diri dan penghormatan adalah ibadah, ini pengertian yang salah! Golongan Wahabi/Salafi ini menganggap bahwa setiap bentuk ketundukan atau perendahan diri seorang pada sesuatu (Nabi Allah, Wali Allah dan sebagainya), orang tersebut dianggap sebagai hamba sesuatu tersebut, dilain kata dia telah menyembahnya.
Dengan demikian berarti dia telah menyekutukan Allah. Menurut golongan
ini bila seorang yang menempuh perjalanan yang jauh dengan tujuan untuk
menziarahi Rasulallah saw., sehingga dapat mencium dan menyentuh
makamnya yang suci, dengan tujuan bertabarruk (baca bab Tabarruk), maka dia terhitung sebagai orang kafir dan orang musyrik.
Demikian juga halnya dengan orang yang mendirikan bangunan di atas
kuburan, untuk menghormati dan mengagungkan orang yang dikubur
didalamnya.
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berkata pada salah satu risalahnya:
“.....Barangsiapa
yang menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat
atau para Rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau
menghilangkan bahaya, maka dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain
Allah. Berarti dia telah berdusta dengan ucapannya yang berbunyi‘ Tidak
ada Tuhan selain Allah’. Dia harus diminta bertaubat. Jika dia
bertaubat, dia dibebaskan; namun jika tidak, maka dia harus dibunuh.
Jika orang musyrik ini berkata, ‘Saya tidak bermaksud darinya kecuali
hanya untuk bertabarruk, dan saya tahu bahwa Allah-lah yang memberikan
manfaat dan mendatangkan madharat.’ Katakanlah kepadanya, ‘Sesungguhnya Bani-Israilpun tidak menghendaki
kecuali apa yang kamu kehendaki’. Sebagaimana yang telah Allah swt.
beritakan tentang mereka. Yaitu manakala mereka telah berhasil
menyeberangi laut, mereka mereka mendatangi sebuah kaum yang tengah
menyembah berhala mereka. Kemudian Bani Israil berkata berkata, ‘Hai Musa, buatkanlah untuk kami seorang Tuhan sebagaimana Tuhan-Tuhan yang mereka miliki’,
kemudian Musa berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.’”
(‘Aqa’id al-Islam, kumpulan surat-surat Muhammad bin Abdul Wahhab,
hal.26).
Muhammad bin Abdul Wahhab juga berkata didalam risalahnya yang lain: “Barangsiapa yang bertabarruk kepada
batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah dengan tujuan untuk
bertabarruk (mengambil barokah) kepada mereka, maka berarti dia telah
menjadikan mereka sebagai Tuhan-Tuhan yang lain”. (‘Aqa’id al-Islam
Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.26)
Selain dari Muhammad Abdul Wahhab ini, mari kita rujuk juga kata-kata seorang dari golongan Wahabi –Muhammad Sulthan al-Ma’shumi– terhadap kaum Muslimin yang meng-Esakan Allah dan sedang menziarahi kuburan Rasulallah saw. untuk bertabarruk kepada Nabi saw,. sebagai berikut:
"Pada
kunjungan saya yang ke empat kekota Madinah, saya menyaksikan di Mesjid
Nabawi disisi kuburan Rasulallah saw. yang mulia, banyak sekali
terdapat hal-hal yang bertentangan dengan iman, hal-hal yang
menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan ibadah, yaitu berupa
kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap berlebihan,
kebodohan, taklid buta dan ta’assub yang batil. Sebagian besar yang
melakukan kemunkaran-kemunkaran ini adalah orang-orang asing (bukan
orang Saudi sendiri ?) yang berasal dari berbagai penjuru dunia, yang
mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat agama. Mereka telah
menjadikan kuburan Rasulallah saw. sebagai berhala,
disebabkan cinta yang berlebihan, sementara mereka tidak
merasa.”(Al–Musyahadat al-Ma’shumiyyah ‘Inda Qabr Khair al-Bariyyah,
hal.15) .
Sudah jelas bagi orang yang berpendidikan
agama akan menolak tegas pikiran si Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan
Muhammad Sulthan al-Ma’shumi ini, dengan adanya omongannya itu
menunjukkan mereka tidak bisa membedakan antara ‘ibadah dan ta’dzim/penghormatan. Baik menurut syariat maupun akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata khudhu’ (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri) sebagai ibadah. Kita
melihat banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia didalam
kehidupan sehari-harinya yang disertai dengan ketundukkan dan perendahan
diri.
Contohnya; ketundukkan seorang murid kepada gurunya dan
begitu juga ketundukkan seorang prajurit yang berdiri hormat dan
sebagainya dihadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang
berani mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu ibadah.
Allah swt. telah memerintahkan kita untuk menampakkan diri kepada kedua
orang tua ketundukkan dan perendahan. Sebagaimana firman-Nya: “Dan turunkanlah sayapmu (rendahkan lah dirimu) dihadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang”. Kata “penurunan sayap”
disini adalah merupakan kiasan dari ketundukan yang tinggi. Kita tidak
mungkin menyebut perbuatan ini sebagai ibadah. Bahkan, pedoman seorang
muslim adalah “tunduk dan merendahkan diri di hadapan seorang Mukmin,
serta congkak dan meninggikan diri dihadapan orang kafir”. Sebagaimana
Allah swt. berfirman, “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap
orang-orang kafir”. Jika semua perendahan diri dikatakan sebagai
ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin untuk
beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil!
Banyak
ayat ilahi dengan jelas berbicara tentang hal ini, dan menafikan sama
sekali klaim yang dikatakan oleh golongan Wahabi/Salafi. Diantaranya
ialah, ayat yang menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam. Sujud
adalah merupakan peringkat tertinggi dari khudhu’ (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri). Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam’”.(QS. al-Baqarah: 34). Jika sujud kepada selain Allah swt. dan penampakkan puncak ketundukkan dan perendahan diri itu disebut ‘ibadah’ –sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Salafi/Wahabi– maka tentu para malaikat ,na’udzu billah,
telah musyrik dan kafir. Dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa
puncak dari ketundukkan bukanlah ibadah. Disamping itu, tidak ada
seorangpun yang mengatakan bahwa kata ‘sujud’ didalam ayat ini
berarti makna hakiki/yang sesungguhnya. Banyak ahli tafsir menulis bahwa
sujud diayat tersebut berarti sujud penghormatan atau ta’dzim terhadap Adam a.s jadi bukan sujud ibadah atau sujud kepada Adam untuk dijadikan sebagai kiblatnya, sebagaimana menjadikan Ka’bah sebagai kiblat mereka.
Jadi pikiran dan kata-kata Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Muhammad Sulthan al-Ma’shumi,
seperti tersebut diatas ini adalah pikiran yang tidak benar dan tanpa
dasar. Karena, seandainya arti sujud kepada Adam adalah berarti
menjadikan Adam sebagai kiblat atau sebagai penyembahan, maka tidak ada
alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes. Iblis protes karena sujud
ditujukan kepada Adam ini bukan dalam arti hakiki/sesungguhnya hanya
sebagai penghormatan tinggi saja. Begitu juga Al-Qur’an al-Karim telah
mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kemungkinan diatas. Yaitu
melalui perkataan Iblis yang berbunyi, “Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?”. (QS.
al-Isra: 61). Yang Iblis pahami dari perintah Allah swt. ialah sujud
kepada diri Adam itu sendiri (sebagai penghormatan). Oleh karena itu,
dia protes dengan mengatakan, Saya lebih baik darinya. Dengan kata lain dia mengatakan, Saya lebih utama darinya. Bagaimana mungkin seorang yang merasa lebih utama harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama ?
Disamping itu jika yang dimaksud dengan sujud disini ialah menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidaklah harus berarti bahwa kiblat
itu lebih utama dari orang yang sujud. Dengan demikian berarti Adam
tidak mempunyai keutamaan atas mereka. Ini jelas bertentangan dengan
zhahir/lahir ayat itu. Sebagaimana firman Allah swt. dalam surat
Al-Isra’ (17); 61-62: ‘Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?’ Juga katanya (Iblis), ‘Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya
jika Engkau memberi tangguh padaku sampai hari kiamat, niscaya
benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil‘.
Jadi jelas keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam tidak lain adalah
dikarenakan pada sujud tersebut terdapat kedudukan dan keutamaan yang
besar bagi Adam as. dengan lain kata untuk ta’dzim (penghormatan tinggi) pada Adam as..
Mari kita ikuti dialog mengenai sujudnya Malaikat untuk Nabi Adam as. berkut ini:
”Pada suatu hari seorang Wahabi, yaitu pemimpin jama’ah Ansharus-Sunnah
dikota Barbar kawasan utara Sudan, pernah memprotes seorang madzhab
sunnah berkenaan dengan pembahasan ini. Dia (pemimpin jama’ah)
mengatakan;
‘Sesungguhnya sujudnya malaikat kepada Adam
adalah dikarenakan perintah Allah swt.’. Seorang bertanya padanya; ‘Jika
demikian, berarti anda tetap bersikeras bahwa perbuatan ini, yaitu
sujud, termasuk kategori syirik namun Allah swt.
memerintahkannya’. Syekh Wahabi ini menjawab: ‘Ya’. Seorang tersebut
bertanya lagi kepadanya,
‘Apakah perintah Ilahi ini telah
mengeluarkan sujudnya malaikat kepada Adam dari katagori syirik?’. Si
Syekh Wahabi menjawab, ‘Ya’.
Kemudian orang tersebut
berkata, “Ini perkataan yang tidak berdasar, yang tidak akan diterima
oleh orang yang bodoh sekalipun, apalagi oleh orang yang berilmu.
Karena, perintah Ilahi tidak dapat mengubah esensi sesuatu. Sebagai contoh, esensi dari celaan dan caci maki ialah penghinaan. Jika Allah swt. memerintahkan kita untuk mencaci Fir’aun, apakah perintah Ilahi ini dapat mengubah esensi celaan, sehingga celaan akan berubah menjadi pujian
dan penghormatan bagi Fir’aun? Demikian juga sujud yang dikarenakan
perintah Allah akan berubah (dari kemusyrikan) menjadi tauhid yang
murni. Tidak !, yang demikian ini mustahil. Dengan perkataan ini berarti
anda telah menuduh para malaikat telah berbuat syirik”. Dengan jawaban
seorang tersebut si Syekh golongan Wahabi ini tampak keheranan
diwajahnya dan diam tidak bicara.
Orang tersebut
meneruskan sambil berkata; “Dihadapan anda ada dua kemungkinan, yang
pertama apakah sujud ini keluar dari katagori ibadah?, dan ini adalah apa yang kami katakan dan yakini.
Yang kedua, apakah sujud ini merupakan salah satu bentuk ibadah,
sehingga dengan demikian berarti malaikat yang sujud telah berbuat
syirik, namun perbuatan syirik yang telah diizinkan dan di perintahkan
oleh Allah swt.? Perkataan yang kedua ini adalah perkataan yang tidak
mungkin dikatakan oleh seorang Muslim yang berakal sehat, dan
jelas-jelas tertolak berdasarkan firman Allah swt. yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?’” (QS. al-A’raf (7): 28). Sekiranya sujud itu ibadah dan perbuatan syirik, tentu Allah swt. tidak akan menyuruhnya !
Al-Qur’an
al-Karim juga telah memberitahukan kita akan sujudnya saudara-saudara
Yusuf dan juga ayahnya kepada dirinya. Sujud yang mereka lakukan ini
bukan dikarenakan perintah Allah, namun demikian Allah swt. tidak
menyebutnya sebagai perbuatan syirik, dan tidak menuduh saudara-saudara
Yusuf dan juga ayahnya telah melakukan perbuatan syirik. Allah swt.
berfirman; ”Dan dia menaikkan kedua ibu bapaknya keatas singgasana. Dan mereka (semuanya)
merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, ‘Wahai
ayahku, inilah tabir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah
menjadikannya suatu kenyataan’”. (QS. Yusuf [12] : 100). Mimpi yang dikatakan Yusuf itu terdapat didalam surat Yusuf [12]; 4; “Ingatlah
ketika Yusuf berkata kepada ayahnya,’ Wahai ayahku, sesungguhnya aku
bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan; aku lihat
semuanya sujud kepadaku”.
Allah swt. telah
menyebut peristiwa sujudnya mereka kepada Yusuf pada dua tempat yaitu
sujudnya saudara-saudara Yusuf dan sujudnya sebelas bintang, matahari
dan bulan dalam mimpinya kepadanya. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan arti sujud diayat ini yaitu perbuatan yang menampakkan
ketundukkan, perendahan diri dan pengagungan, jadi bukanlah ibadah. Atas dasar ini, kita tidak bisa menuduh atau menjuluki seorang Muslim muwahhid (bertauhid)
yang tunduk dan merendahkan diri dihadapan makam Rasulallah, makam para
imam dan makam para wali, sebagai orang musyrik yang menyembah
kuburan. Karena, ketundukkan bukanlah berarti ibadah atau penyembahan.
Jika
perbuatan yang semacam ini dikatagorikan sebagai perbuatan ibadah
kepada kuburan, maka kita juga harus konsekwen mengatakan bahwa amal
perbuatan kaum muslimin pada manasik haji –thawaf mengelilingi Ka’bah,
melakukan sa’i antara shafa-marwa, mencium batu hajar aswad dan lain
sebagainya– termasuk ibadah dan perbuatan syirk. (Na’udzu billahi).
Karena dilihat dari bentuk dhahir/lahir perbuatan-perbuatan ini tidak berbeda dengan perbuatan mengelilingi kuburan Rasulallah saw., menciumi atau menyentuhnya.
Allah swt. berfirman mengenai tawaf dan Sa’i; “Dan hendaklah mereka melakukan tawaf mengelilingi rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. al-Hajj : 29). Allah swt. juga berfirman, “Sesungguhnya
Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa
yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa
baginya mengerjakan sa’i diantara keduanya”. (QS. al-Baqarah: 158).
Apakah
anda memandang bahwa berthawaf mengelilingi batu dan tanah (Ka’bah)
merupakan ibadah kepadanya? Seandainya secara umum ketundukkan atau
perendahan diri dikatakan sebagai ibadah, tentu perbuatan-perbuatan
inipun dikatagorikan sebagai ibadah, dan tidak bisa dirubah esensinya
melalui perintah Allah. Karena sebagaimana telah kita jelaskan bahwa
perintah Allah tidak dapat mengubah esensi suatu perbuatan“! Demikianlah
dialog yang cukup menarik antara Syeikh Wahabi dan golongan madzhab
Sunnah.
Namun yang menjadi masalah bagi golongan Salafi (baca: Wahabi) ialah mereka kurang memahami definisi ibadah, dan tidak memahami jiwa dan hakikatnya, sehingga mereka hanya berurusan dengan bentuk lahiriyahnya saja. Ketika mereka melihat seorang peziarah kuburan Rasulallah saw. menciumi makam Rasulallah saw. atau makam para waliyullah, maka dengan serta merta terbayang didalam benak mereka seorang musyrik yang menciumi berhalanya,
lalu dengan segera mereka menyamakan perbuatan seorang Muslim muwahhid
yang menciumi kuburan tersebut dengan perbuatan seorang musyrik yang
menciumi berhalanya. Jelas pikiran seperti ini adalah salah! Seandainya
semata-mata bentuk luar/lahiriyah cukup untuk dijadikan dasar penetapan hukum, maka tentunya merekapun harus mengkafirkan seluruh orang Muslim yang mencium hajar aswad. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian! Seorang Muslim yang mencium hajar aswad, perbuatannya itu dihitung sebagai tauhid yang murni –karena mereka tidak meyakini hajar aswad sebagai sesembahannya– sementara seorang kafir yang mencium berhala, perbuatannya itu dihitung sebagai perbuatan syirik yang nyata, karena mereka meyakini berhala ini sebagai sesembahannya yang memiliki sifat ketuhanan”.
Ingat
hadits Rasulallah saw yang diriwayatkan oleh imam Muslim (Shahih Muslim
Bab 41 no 158 dan hadits yang sama no 159) bahwa Usamah bin Zaid ra
membunuh seorang pimpinan Laskar Kafir yang telah terjatuh pedangnya,
lalu dengan wajah tidak serius ia (laskar kafir) mengucap syahadat,
Usamah membunuhnya. Betapa murkanya Rasulallah saw saat mendengar kabar
itu.., seraya bersabda: Apakah engkau membunuhnya padahal dia mengatakan
Laa ilaaha illallah!? Usamah ra berkata: Kafir itu hanya bermaksud
ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulullah., maka beliau saw bangkit dari
duduknya dengan wajah merah padam dan membentak: Apakah engkau telah belah sanubarinya?, hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan ini diulangi tiga kali) … ..sampai akhir hadits.
No comments:
Post a Comment