Wafatnya Rasulullah merupakan batu ujian bagi kaum
mus-limin: apakah mereka umat yang kuat, solid, dan mandiri ataukah
mereka umat yang lemah dan bubar lantaran ditinggal Nabi? Sebab
Rasulullah saw. bukan saja simbol pemersatu, tapi sekaligus pemimpin
riil yang selalu membimbing dan memberikan inspirasi kepada umat ini
secara langsung dalam seluruh kehidupan beliau, baik ucapan beliau,
perbuatan beliau, maupun per-setujuan beliau atas sikap dan tindakan
salah seorang dari mereka di hadapan beliau. Tidak ada pemimpin yang
begitu sangat kuat kesan dan pengaruhnya kepada rakyatnya kecuali
beliau. Maka kepergian beliau jelas merupakan pukul-an yang besar
sekaligus ujian bagi umat dan Negara yang baru muncul tersebut. Sejarawan
Ibnu Ishaq mengisahkan bahwa begitu Rasululullah SAW wafat, Umar bin
al Khaththab mendengar kabar bahwa kaum Muhajirin berkumpul di Saqifah
Bani Saidah untuk membahas siapa yang akan menggantikan kepemim-pinan
Rasulullah. Umar langsung meng-ajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin al
Jarrah untuk mendatangi mereka.
Sesampai di sana ternyata kabar tersebut benar. Orang-orang Anshar telah berkumpul. Salah seorang dari mereka, yakni Saad bin Ubadah berpidato: “Amma ba’du. Kami Ansharullah dan tentara Islam. Sedangkan kalian wahai kaum Muhajirin adalah keluarga besar kami. Kalian terusir dari kaum kalian. Apabila mereka (Muhajirin) hendak lepas dari kami (Anshar) merampas masalah (ke-kuasaan) kami”.
Ketika itu Umar ingin menanggapi pidato Sa’ad dan telah merangkai kata-kata dalam pikirannya tapi dia tahan karena berfikir bahwa Abu Bakar pasti akan menanggapinya dengan tanggapan yang lebih baik. Benar. Semua rangkaian kata yang telah dipersiapkan Umar telah disampaikan oleh Abu Bakar dengan susunan yang lebih baik dan lebih menyentuh sehingga membuat Saad diam.
Abu Bakar berkata: “Apa yang kalian sebutkan tentang kebaikan kalian adalah hak kalian. Semua orang Arab tidak mengingkari hal ini kecuali orang-orang Quraisy. Sebab mereka mempunyai na-sab keturunan yang terbaik di antara orang-orang Arab”
Lalu sambil memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah, Abu Bakar berseru: “ Oleh karena itu, bila kalian rela memilih di antara kedua orang ini, maka baiatlah salah satu dari keduanya!”
Namun salah seorang di antara orang Anshar ada yang berteriak: ”Wahai orang-orang Quraisy, kamilah yang menjadi tempat berlindung Rasulullah dan melindungi kemuliannya. Kalau begitu begini saja, kami punya amir dan kalian punya amir sendiri”.
Pernyataan tersebut menyulut kega-duhan di antara para hadirin. At Thabari meriwayatkan bahwa dalam situasi kritis itu Abu Ubaidah bin Al Jarrah menyam-paikan kata-kata bijak yang menyentuh hati kaum Anshar. Abu Ubaidah berkata: “Wahai kaum Anshar, kalian adalah orang-orang yang pertama kali menjadi pelindung dan penolong (Nabi dan agamanya). Janganlah kemudian kalian menjadi orang-orang yang pertama kali berubah dan berpaling”.
Basyir bin Saad, salah seorang pemim-pin Anshar dari kaum Khazraj berkata: “Demi Allah, kita sekalipun yang paling utama dalam memerangi orang-orang musyrik dan paling dahulu memeluk agama Islam ini, tidak ada yang kita inginkan selain ridlo Allah dan ketaatan kepada Nabi kita serta menekan kepen-tingan pribadi kita. Maka tidak pantas kita memperbelit-belit urusan ini terha-dap yang lain. Dan seyogyanya kita tidak memiliki orientasi duniawi sama sekali. Karena dalam hal ini sebenarnya Allah telah memberikan kenikmatan kepada kita. Ingatlah bahwa Muham-mad adalah dari keturunan Quraisy dan dalam hal ini kaumnyalah yang lebih berhak dan lebih utama. Demi Allah, Allah tidak akan melihat selama-lama-nya kepada para perebut kekuasaan mereka dalam urusan ini. Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan janganlah kalian menentang serta mengambil kepemimpinan dari mereka”.
Kata-kata Basyir inilah yang mene-duhkan dan karena kata-kata itulah orang-orang Khazraj menjadi tenang.
Ketika itu Abu Bakar yang duduk di antara Umar dan Abu Ubaidah segera memegang tangan tokoh sahabat Muha-jirin itu. Abu Bakar berkata: “Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, siapa di antara mereka berdua yang kalian kehendaki, maka baiatlah!”. Lalu Abu Bakar meng-ajak mereka bersatu dan mengingatkan mereka dari perpecahan.
Demi melihat tidak ada jawaban spontan dan melihat gelagat yang meng-khawatirkan, Umar segera berseru lan-tang:“Hai Abu Bakar, ulurkanlah tanganmu!”.
Abu Bakar lalu mengulurkan tangan-nya dan Umar segera membaiatnya dengan menyebut-nyebut keutamaannya. Demikian pula Abu Ubaidah membaiat Abu Bakar dengan menyebut-nyebut keutamaannya. Langkah mereka diikuti oleh tokoh kaum Khazraj, Basyir bin Saad dan tokoh kaum Aus, Usaid bin Hudlair. Selanjutnya ruang Saqifah itu penuh sesak oleh orang-orang yang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, amirul mukminin, pengganti Rasululullah seba-gai pemimpin dan penguasa atas kaum muslimin, bukan sebagai pengganti beliau dalam kedudukan sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT.
Hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah itu antara lain sebagai berikut:
Pertama, mengangkat seorang kha-lifah sebagai pengganti Rasululullah dalam memerintah negara dan memim-pin kaum muslimin. Bahkan begitu wajibnya sampai-sampai para sahabat menunda penguburan jenazah Rasulullah SAW sampai terpilih dan terbaiatnya khalifah Abu Bakar.
Kedua, tidak benar orang yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam itu tidak jelas dengan bukti bahwa Rasulullah SAW tidak menunjuk siapa pengganti beliau. Justru pernyataan dan perbuatan Rasulullah SAW dalam me-mimpin pemerintahan selama 10 tahun di kota Madinah dengan luas wilayah meliputi seluruh jazirah (sekarang meru-pakan 7 negara). Bukankah Rasulullah SAW bersabda:
“Pemerintahan Bani Israil dahulu selalu diurus oleh para Nabi, setiap seorang nabi wafat, diganti dengan nabi yang lain, sesungguhnya setelahku tidak ada nabi lagi, yang ada adalah para khalifah yang banyak”. Para sahabat bertanya, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Maka Rasulullah saw, bersabda: “Penuhilah baiat yang per-tama, berikanlah hak mereka kepada mereka karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas pemerintahan yang dise-rahkan kepada mereka”. (Sahih Bukhari Juz XI/271).
Ketiga, musyawarah bahkan perde-batan untuk memilih siapa yang terbaik untuk menjadi khalifah yang akan meng-emban tugas kekhilafahan, yakni menja-lankan pemerintahan kaum muslimin dengan tugas yang sangat berat, yakni menerapkan syariat Islam di dalam negeri secara kaffah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia, adalah sesuatu yang dibolehkan. Sebab jabatan itu adalah amanat yang harus diberikan kepada yang berhak, yakni orang yang paling mampu untuk menjalankan amanat itu. Sebab bila tidak dilaksanakan oleh yang paling baik, paling taqwa, dan paling punya kapasitas menjalankan pemerintahan Islam, maka urusan agama dan umat Islam akan menjadi tersia-sia.
Keempat, persatuan dan kesatuan umat Islam harus diutamakan daripada ambisi pribadi maupun kelompok. Per-nyataan salah seorang Anshar agar ada pemimpin (amir) dari Anshar dan amir dari Muhajirin ditolak. Sebab ide tersebut akan membuat negara kaum muslimin langsung terpecah menjadi dua, yakni Negara kaum Anshar dan Negara kaum Muhajirin. Ini tentu tidak boleh. Inilah prinsip negara kesatuan seperti diajarkan Rasulullah SAW,. Beliau bersabda:
“Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang kedua” (Sahih Muslim Juz IX/398).
Kelima, mengalah dalam rebutan jabatan lebih baik terlebih bila melihat ada orang lain yang lebih utama. Apa yang disampaikan Basyir bin Saad sungguh meredam keinginan kaumnya untuk meraih jabatan khalifah pengganti Rasulullah karena melihat kaum Quraisy, kaum dimana Rasul berasal, jelas memiliki keutamaan di jazirah Arab dibandingkan kaum-kaum yang lain. Dan struktur masyarakat yang beragam secara alami akan memberikan peluang stabilitas yang lebih kuat bila pemerintahan di tangan Quraisy dibandingkan bila di tangan yang lain. Penyelesaian pemberontakan kaum murtad dan penolak pembayar zakat dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tidak sampai dua tahun dalam masa pemerintahan khalifah Abu Bakar menunjukkan bahwa pilihan kaum muslimin generasi pertama tepat.
Bila tidak terjadi perdebatan di Saqifah Bani Saidah yang mengantarkan Abu Bakar r.a. pada jabatan Khilafah, boleh jadi Negara Islam yang pertama itu berantakan sejak hari pertama wafatnya Rasulullah SAW dan bubar, dan konsekwensinya tidak ada khilafah Islamiyah yang berjaya sampai lebih dari sepuluh abad yang kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Spanyol (Andalusia) hingga ke Asia tenggara, dan Islam tidak tersebar ke seluruh dunia. Wallahua’lam! [Muhammad al Khaththath/www.suara-islam.com]
jika ada cerita yg bersangkutan dgn kejadian ini seperti perselisihan antara sayyidina umar bin khotthob dengan sayyidina ali bin abi tholib dan istrinya sayyidatina fathimah.itu adalah sebuah kebenaran karna posisi dan keadaan menurut kejernihan akal dan pikiran mereka...wallohu a'lam
Sesampai di sana ternyata kabar tersebut benar. Orang-orang Anshar telah berkumpul. Salah seorang dari mereka, yakni Saad bin Ubadah berpidato: “Amma ba’du. Kami Ansharullah dan tentara Islam. Sedangkan kalian wahai kaum Muhajirin adalah keluarga besar kami. Kalian terusir dari kaum kalian. Apabila mereka (Muhajirin) hendak lepas dari kami (Anshar) merampas masalah (ke-kuasaan) kami”.
Ketika itu Umar ingin menanggapi pidato Sa’ad dan telah merangkai kata-kata dalam pikirannya tapi dia tahan karena berfikir bahwa Abu Bakar pasti akan menanggapinya dengan tanggapan yang lebih baik. Benar. Semua rangkaian kata yang telah dipersiapkan Umar telah disampaikan oleh Abu Bakar dengan susunan yang lebih baik dan lebih menyentuh sehingga membuat Saad diam.
Abu Bakar berkata: “Apa yang kalian sebutkan tentang kebaikan kalian adalah hak kalian. Semua orang Arab tidak mengingkari hal ini kecuali orang-orang Quraisy. Sebab mereka mempunyai na-sab keturunan yang terbaik di antara orang-orang Arab”
Lalu sambil memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah, Abu Bakar berseru: “ Oleh karena itu, bila kalian rela memilih di antara kedua orang ini, maka baiatlah salah satu dari keduanya!”
Namun salah seorang di antara orang Anshar ada yang berteriak: ”Wahai orang-orang Quraisy, kamilah yang menjadi tempat berlindung Rasulullah dan melindungi kemuliannya. Kalau begitu begini saja, kami punya amir dan kalian punya amir sendiri”.
Pernyataan tersebut menyulut kega-duhan di antara para hadirin. At Thabari meriwayatkan bahwa dalam situasi kritis itu Abu Ubaidah bin Al Jarrah menyam-paikan kata-kata bijak yang menyentuh hati kaum Anshar. Abu Ubaidah berkata: “Wahai kaum Anshar, kalian adalah orang-orang yang pertama kali menjadi pelindung dan penolong (Nabi dan agamanya). Janganlah kemudian kalian menjadi orang-orang yang pertama kali berubah dan berpaling”.
Basyir bin Saad, salah seorang pemim-pin Anshar dari kaum Khazraj berkata: “Demi Allah, kita sekalipun yang paling utama dalam memerangi orang-orang musyrik dan paling dahulu memeluk agama Islam ini, tidak ada yang kita inginkan selain ridlo Allah dan ketaatan kepada Nabi kita serta menekan kepen-tingan pribadi kita. Maka tidak pantas kita memperbelit-belit urusan ini terha-dap yang lain. Dan seyogyanya kita tidak memiliki orientasi duniawi sama sekali. Karena dalam hal ini sebenarnya Allah telah memberikan kenikmatan kepada kita. Ingatlah bahwa Muham-mad adalah dari keturunan Quraisy dan dalam hal ini kaumnyalah yang lebih berhak dan lebih utama. Demi Allah, Allah tidak akan melihat selama-lama-nya kepada para perebut kekuasaan mereka dalam urusan ini. Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan janganlah kalian menentang serta mengambil kepemimpinan dari mereka”.
Kata-kata Basyir inilah yang mene-duhkan dan karena kata-kata itulah orang-orang Khazraj menjadi tenang.
Ketika itu Abu Bakar yang duduk di antara Umar dan Abu Ubaidah segera memegang tangan tokoh sahabat Muha-jirin itu. Abu Bakar berkata: “Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, siapa di antara mereka berdua yang kalian kehendaki, maka baiatlah!”. Lalu Abu Bakar meng-ajak mereka bersatu dan mengingatkan mereka dari perpecahan.
Demi melihat tidak ada jawaban spontan dan melihat gelagat yang meng-khawatirkan, Umar segera berseru lan-tang:“Hai Abu Bakar, ulurkanlah tanganmu!”.
Abu Bakar lalu mengulurkan tangan-nya dan Umar segera membaiatnya dengan menyebut-nyebut keutamaannya. Demikian pula Abu Ubaidah membaiat Abu Bakar dengan menyebut-nyebut keutamaannya. Langkah mereka diikuti oleh tokoh kaum Khazraj, Basyir bin Saad dan tokoh kaum Aus, Usaid bin Hudlair. Selanjutnya ruang Saqifah itu penuh sesak oleh orang-orang yang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, amirul mukminin, pengganti Rasululullah seba-gai pemimpin dan penguasa atas kaum muslimin, bukan sebagai pengganti beliau dalam kedudukan sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT.
Hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah itu antara lain sebagai berikut:
Pertama, mengangkat seorang kha-lifah sebagai pengganti Rasululullah dalam memerintah negara dan memim-pin kaum muslimin. Bahkan begitu wajibnya sampai-sampai para sahabat menunda penguburan jenazah Rasulullah SAW sampai terpilih dan terbaiatnya khalifah Abu Bakar.
Kedua, tidak benar orang yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam itu tidak jelas dengan bukti bahwa Rasulullah SAW tidak menunjuk siapa pengganti beliau. Justru pernyataan dan perbuatan Rasulullah SAW dalam me-mimpin pemerintahan selama 10 tahun di kota Madinah dengan luas wilayah meliputi seluruh jazirah (sekarang meru-pakan 7 negara). Bukankah Rasulullah SAW bersabda:
“Pemerintahan Bani Israil dahulu selalu diurus oleh para Nabi, setiap seorang nabi wafat, diganti dengan nabi yang lain, sesungguhnya setelahku tidak ada nabi lagi, yang ada adalah para khalifah yang banyak”. Para sahabat bertanya, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Maka Rasulullah saw, bersabda: “Penuhilah baiat yang per-tama, berikanlah hak mereka kepada mereka karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas pemerintahan yang dise-rahkan kepada mereka”. (Sahih Bukhari Juz XI/271).
Ketiga, musyawarah bahkan perde-batan untuk memilih siapa yang terbaik untuk menjadi khalifah yang akan meng-emban tugas kekhilafahan, yakni menja-lankan pemerintahan kaum muslimin dengan tugas yang sangat berat, yakni menerapkan syariat Islam di dalam negeri secara kaffah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia, adalah sesuatu yang dibolehkan. Sebab jabatan itu adalah amanat yang harus diberikan kepada yang berhak, yakni orang yang paling mampu untuk menjalankan amanat itu. Sebab bila tidak dilaksanakan oleh yang paling baik, paling taqwa, dan paling punya kapasitas menjalankan pemerintahan Islam, maka urusan agama dan umat Islam akan menjadi tersia-sia.
Keempat, persatuan dan kesatuan umat Islam harus diutamakan daripada ambisi pribadi maupun kelompok. Per-nyataan salah seorang Anshar agar ada pemimpin (amir) dari Anshar dan amir dari Muhajirin ditolak. Sebab ide tersebut akan membuat negara kaum muslimin langsung terpecah menjadi dua, yakni Negara kaum Anshar dan Negara kaum Muhajirin. Ini tentu tidak boleh. Inilah prinsip negara kesatuan seperti diajarkan Rasulullah SAW,. Beliau bersabda:
“Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang kedua” (Sahih Muslim Juz IX/398).
Kelima, mengalah dalam rebutan jabatan lebih baik terlebih bila melihat ada orang lain yang lebih utama. Apa yang disampaikan Basyir bin Saad sungguh meredam keinginan kaumnya untuk meraih jabatan khalifah pengganti Rasulullah karena melihat kaum Quraisy, kaum dimana Rasul berasal, jelas memiliki keutamaan di jazirah Arab dibandingkan kaum-kaum yang lain. Dan struktur masyarakat yang beragam secara alami akan memberikan peluang stabilitas yang lebih kuat bila pemerintahan di tangan Quraisy dibandingkan bila di tangan yang lain. Penyelesaian pemberontakan kaum murtad dan penolak pembayar zakat dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tidak sampai dua tahun dalam masa pemerintahan khalifah Abu Bakar menunjukkan bahwa pilihan kaum muslimin generasi pertama tepat.
Bila tidak terjadi perdebatan di Saqifah Bani Saidah yang mengantarkan Abu Bakar r.a. pada jabatan Khilafah, boleh jadi Negara Islam yang pertama itu berantakan sejak hari pertama wafatnya Rasulullah SAW dan bubar, dan konsekwensinya tidak ada khilafah Islamiyah yang berjaya sampai lebih dari sepuluh abad yang kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Spanyol (Andalusia) hingga ke Asia tenggara, dan Islam tidak tersebar ke seluruh dunia. Wallahua’lam! [Muhammad al Khaththath/www.suara-islam.com]
jika ada cerita yg bersangkutan dgn kejadian ini seperti perselisihan antara sayyidina umar bin khotthob dengan sayyidina ali bin abi tholib dan istrinya sayyidatina fathimah.itu adalah sebuah kebenaran karna posisi dan keadaan menurut kejernihan akal dan pikiran mereka...wallohu a'lam
No comments:
Post a Comment