HUBUNGAN ERAT ANTARA AHLUL BAIT NABI SAW DENGAN SELURUH SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya.
Kami juga memohon perlindungan kepada-Nya terhadap keburukankeburukan
hawa nafsu kami, serta berlindung terhadap akibat perbuatan
buruk kami. Barangsiapa diberi karunia hidayah oleh Allah, niscaya ia akan
mendapatkan hidayah. Barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada siapa
pun yang dapat memberinya petunjuk.
Sesungguhnya Rasulullah SAW merupakan pemimpin anak cucu Adam. Hal
ini merupakan hakikat syar'i yang telah disepakati seluruh kaum muslimin.
Kesepakatan ini merupakan karunia yang sangat besar bagi umat Islam.

Alhamdulillah.
Pendapat sebagian umat Islam yang menganggap beberapa imam tertentu
melebihi Rasulullah SAW—baik berkaitan dengan ilmu maupun bidangbidang
lain1--tidak dapat dibenarkan. Di samping itu, Riwayat-riwayat seperti
itu pasti memiliki riwayat lain yang menakwilkan atau melemahkannya.
Sehingga riwayat itu tidak dapat dijadikan pegangan.
Kemuliaan dan kedudukan Rasulullah SAW merupakan kebenaran yang tidak
diingkari siapapun. Rasulullah SAW adalah pemilik Syafaat Al Kubra (syafaat
teragung), pemilik telaga (Al Haudhl), dan berkedudukan tinggi di dunia dan
akhirat. Barakah Rasulullah SAW juga terlimpah kepada para kerabat beliau,
Ahlul Bait, dan juga para sahabat radhliyallahu 'anhum.
Ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits mutawatir yang menegaskan Ahlul Bait
(sanak kerabat Nabi SAW) memiliki kedudukan yang sangat mulia berjumlah
sangat banyak. Ayat dan hadits tersebut menyebutkan orang-orang yang
hidup bersama Rasulullah SAW dan keturunan mereka. Ayat dan hadits itu
juga menerangkan kemuliaan dan fadhilah (keutamaan) mereka.
Di dalam lembaran-lembaran ini, kami akan membahas tentang jalinan kasih
sayang di antara para sahabat radhliyallahu 'anhum tersebut. Seharusnya kita
tidak merasa bosan membahas tentang sahabat Rasulullah SAW dan
keutamaan-keutamaannya. Seharusnya kita tidak pula merasa bosan
membahas hubungan mereka dengan Nabi. Mereka mendapatkan predikat
mulia, SAHABAT, karena mereka beriman dan hidup bersama Nabi SAW.
Derajat mereka masing-masing di Jannah berbeda sesuai dengan amal serta
jihad mereka bersama Rasulullah. Demikian pula kedudukan mereka selama di
dunia, baik dari kalangan Muhajirin, Anshar, maupun orang-orang sesudah
mereka. Allah menjanjikan kepada mereka semua karunia yang baik. Allah
Ta'ala berfirman:
"Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang
sebelum penaklukan (kota Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orangorang
yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan
kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan." (QS: Al Hadiid 10).
Seluruh sahabat Nabi memiliki keunggulan dan keutamaan. Kita harus
memahami keagungan nilai sahabat Rasul SAW. Hal itu merupakan
kedudukan yang harus diakui dan dihormati. Status kemuliaan mereka sesuai
dengan amalan masing-masing dari mereka. Sahabat nabi terbagi menjadi
beberapa golongan, namun yang paling tinggi adalah: As-Sabiqun Al Awwalun
(mereka yang terdahulu masuk dan berjuang di dalam Islam). Mereka inilah
yang memiliki derajat tertinggi. Orang yang memiliki status sahabat sekaligus
kerabat (mereka adalah keluarga suci; semoga Allah berkenan melimpahkan
salam dan ridha kepada mereka semua). Mereka memperoleh status ‘sahabat’
dan juga ‘kekerabatan’. Klasifikasi mereka juga sesuai dengan amal-amal
kebajikan masing-masing.
Membahas penyebab-penyebab perpecahan di kalangan umat dan cara
menanggulanginya merupakan kewajiban setiap muslim. Pembahasan kali ini
tentang permasalahan yang besar, yang telah berdampak luas pada umat
Islam. Kami akan membahas secara ringkas seputar jalinan kasih sayang para
sahabat Nabi SAW yang termasuk keluarga Nabi alaihimussalam dan kaum
muslimin lainnya. Kasih sayang di antara mereka tetaplah terjalin sekalipun
pernah terjadi peperangan di antara mereka. Inilah hakikat yang ada,
walaupun para pembohong sengaja menyembunyikannya, dan para perawi
sengaja melewati hakekat ini begitu saja, tanpa pernah membahasnya dalam riwayat mereka. Hakikat ini akan tetap menjadi cahaya putih yang akan
membantah anggapan-anggapan dan khayalan-khayalan kebanyakan penulis.
Khayalan yang digunakan dengan baik oleh pengikut hawa nafsu dan politisi
yang ambisius beserta musuh-musuh Islam, demi mencapai tujuan mereka,
sekaligus memecah belah dan menyilangselisihkan umat ini.
Kami berseru kepada para penelaah dan penulis sejarah Islam. Bahkan juga
kepada mereka yang menyerukan persatuan umat. Kami berseru kepada
mereka yang memperingatkan umat terhadap bahaya globalisasi dan
dampaknya serta keharusan menyatukan barisan. Kami juga berseru kepada
mereka yang semangat terhadap Islam... Kami katakan kepada kalian:
"Mengapa kita mesti mengorek-ngorek peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah
sejarah yang berdampak perpecahan dan menjerumuskan kita ke dalam permusuhan
tanpa adanya penelitian yang benar? Adakah hal ini sengaja dilakukan untuk
memangsa masyarakat awam ataukah dalam rangka mengumpulkan harta!
Sungguh Anda akan heran terhadap banyak para penulis dan peneliti yang
menghambur-hamburkan waktu dan mengerahkan daya upaya mereka demi
masalah-masalah sejarah dan pemikiran-pemikiran yang berdasar pada
riwayat-riwayat dha'if, khayalan, hawa nafsu, dan sebagainya. Bahkan ada di
antara mereka yang beranggapan, bahwa dengan menceritakan riwayatriwayat
palsu itu dia telah mencetak prestasi. Ia beranggapan bahwa ia telah
sampai pada kesimpulan ilmiah! Padahal yang sebenarnya terjadi, mereka
telah berhasil memecah belah umat.
Bila Anda bertanya kepada mereka tentang hasil kerja dan upaya mereka,
maka Anda tidak akan memperoleh jawaban! Paling bagus mereka akan
menjawab: "Hal ini kami lakukan demi tuntunan ilmiah saja!" Lalu manakah
dasar-dasar ilmiah yang dijadikan landasan?!
Sebelum ini, di dalam risalah "Sahabat Nabi" telah dijelaskan hubungan erat
antara Rasulullah SAW dengan para sahabat yang mulia. Termasuk tugas
Rasul SAW adalah mensucikan orang-orang yang beriman kepada beliau. Mereka terdiri dari orang-orang buta huruf, yang dikaruniai Allah kemuliaan
iman terhadap Nabi SAW dan hidup bersama beliau.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka,
yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS: Al Jumu'ah 2).
Jadi, mereka inilah orang-orang yang dibimbing, disucikan, dan dibina Rasulullah SAW.
Sebelumnya telah dibahas tentang hubungan Rasul SAW selaku seorang
komandan pasukan perang. Dibahas pula hubungan Rasul SAW selaku
seorang teladan, selaku seorang tetangga, selaku seorang pimpinan (imam)
bagi mereka yang berada di bawah kekuasaan beliau, yaitu para sahabat
beliau.
Sebelumnya telah dibahas peran-peran tersebut di dalam risalah sebelumnya.
Jika Anda berkehendak, silahkan Anda telaah pada pasal pertama.
***
Anda pasti yakin, bahwa Rasul SAW telah melaksanakan seluruh perintah
Allah Ta'ala dengan sempurna. Yaitu: menyampaikan risalah, mendidik para
sahabat, membina mereka, dan sebagainya. Di antara hasil dari upaya tarbiyah
ini adalah sifat-sifat terpuji yang akhirnya menjadi ciri khas para sahabat radhliyallahu 'anhum. Allah menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik
umat yang dikeluarkan bagi umat manusia. Hal ini cukup untuk menjelaskan
sifat-sifat terpuji para sahabat. Allah Ta'ala berfirman:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (QS: Ali Imran
110).
Renungkanlah firman Allah Ta'ala: "Dimunculkan" (ukhrijat). Siapakah kiranya
yang telah memunculkan mereka dan menempatkan mereka pada derajat
kemuliaan seperti itu?
Hal itu serupa dengan firman Allah Ta'ala:
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."(QS: Al Baqarah 148).
Terdapat banyak sekali ayat-ayat Allah dalam Al Qur’an yang menjelaskan
sifat sahabat, memuji, dan menyebut mereka. Sebelumnya telah kami jelaskan
tentang sikap-sikap mereka dan ayat-ayat yang diturunkan berkaitan dengan
hal itu, sehingga tidak perlu diulang kembali.
***
SIFAT-SIFAT SAHABAT-SAHABAT RASUL SAW
Saya yakin Anda masih ingat, bahwa sahabat adalah generasi istimewa yang
telah memperoleh kedudukan tinggi dan terhormat. Kedudukan mereka tidak
mungkin dijangkau oleh manusia setelah mereka. Mereka telah beruntung
karena hidup dan menemani Nabi. Beliau sendirilah yang telah membina,
mengajar, dan mendidik mereka. Bersama mereka pula-lah beliau SAW
memerangi orang-orang kafir. Mereka pula yang ikut serta membela beliau.
Kita akan memilih satu saja dari sifat-sifat mereka yang harus dipelajari,
dibahas, dan diperjelas. Untuk kemudian disebarkan dan diumumkan agar
diketahui seluruh muslimin dari segala kelompok dan golongan.
Tahukah Anda sifat apakah itu?
Sifat itu adalah kasih sayang.
Mengapa harus membicarakan sifat tersebut?
Bersediakah Anda, wahai pembaca budiman, untuk bersama-sama saya
berpikir sejenak mengungkap rahasia sifat mulia ini? Anda akan mendapati
banyak sebab yang mendorong kita berpikir tentang hal ini. Tetapi di sini kami
hanya akan menyebutkan beberapa sebab secara ringkas di dalam risalah ini:
Penyebab Pertama:
Penyebab pertama berkaitan dengan sifat "Penyayang" itu sendiri dengan
segala kandungan maknanya. Juga karena terdapat banyak ayat Al Quran dan
hadits-hadits dari Nabi yang membahas tentang hal ini.
Allah SWT adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah Ta'ala
berfirman melukiskan sifat Rasulullah SAW: "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS: At- Taubah 128).
Rasulullah SAW menjelaskan: "Barangsiapa yang tidak mengasihi tidak akan
dikasihi." (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahasan mengenai dengan sifat kasih sayang sangat panjang lebar. Ayat dan
hadits yang menerangkannya pun banyak sekali. Anda pasti telah
mengetahuinya.
Penyebab Kedua:
Allah SWT telah memuji sahabat-sahabat Rasulullah SAW dengan
menyebutkan bahwa mereka memiliki sifat kasih sayang, bukan dengan sifatsifat
lain. Hal ini mengandung hikmah dan manfaat yang penting dan
mendasar. Hal ini juga termasuk mukjizat ilmiah karena Allah menyebutkan
bahwa mereka memiliki sifat tersebut. Orang yang merenungkannya niscaya
akan dapat melihat mukjizat dan hikmahnya. Nash tersebut mengistimewakan
para sahabat dengan menyebut sifat "kasih sayang" yang terjalin sesama
mereka. Mengapa Allah memuji dan menegaskan bahwa mereka memiliki sifat
kasih sayang? Bukannya memuji mereka dengan sifat-sifat lain? Sebab, hal itu
mengandung bantahan atas tuduhan-tuduhan yang pada masa itu belum
muncul dan belum tertulis. Kemudian tuduhan-tuduhan itu muncul pada
masa berikutnya dan menjadi konsumsi tukang dongeng dan generasi sesudah
mereka. Allah-lah yang lebih mengetahuinya.
Allah Ta'ala berfirman:
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu
lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud."
(QS: Al Fath 29).
Penyebab Ketiga:
Penegasan bahwa para sahabat saling berkasih sayang di antara sesama
mereka. Sifat kasih sayang itu sudah mengalir di sekujur hati mereka. Maka hal
ini akan membantah riwayat-riwayat dan anggapan-anggapan yang
menggambarkan bahwa para sahabat Rasulullah SAW adalah makhluk liar
dan buas yang saling mendengki di antara sesama mereka. Hal ini juga
membantah bahwa kehidupan mereka penuh dengan intrik dan permusuhan!
Apabila dalam diri Anda sudah meresap sebuah keyakinan bahwa para
sahabat itu saling berkasih sayang, maka berarti prinsip tersebut sudah
bersemayam di lubuk hati Anda. Sehingga akhirnya hati Anda menjadi
tenteram dan sirna pula rasa "dengki dan benci" yang ada terhadap para
sahabat nabi, yang Allah memerintahkan kita untuk mendoakan mereka. Allah
Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang"."(QS: Al Hasyr 10).
Dasar Keempat:
Salah satu metode ilmiah yang digunakan para ilmuwan dan peneliti yaitu
memperhatikan matan dan sanad setiap riwayat yang ada. Menelaah matanmatan
riwayat itu setelah terbukti bahwa sanad-nya kuat, kemudian
membandingkan riwayat-riwayat tersebut dengan nash-nash Al Quran dan
kaidah pokok agama Islam. Seorang peneliti harus memadukan seluruh
riwayat yang ada dalam sebuah pokok bahasan. Inilah metode para ilmuwan
sejati yang harus digunakan dalam meneliti riwayat-riwayat sejarah.
Tetapi, yang perlu disesalkan, terdapat banyak penelaah yang mengabaikan
penelitian sanad-sanad tersebut. Mereka merasa cukup dengan keberadaan
riwayat-riwayat itu dalam kitab sejarah atau kitab sastra! Mereka yang
menaruh perhatian pada kaidah sanad terkadang lupa meneliti matan (text) dan
membandingkannya dengan Al Quran.
Pembaca budiman, sebelum Anda menilai dan menuduh membabi buta.
Sebelum Anda menghukumi berlandaskan sejarah yang Anda ketahui,
berdasar kebiasaan dan keyakinan keluarga dan perasaan, renungkanlah ayatayat
yang telah kami sebutkan di atas. Anehnya, dalil-dalil tadi jarang kita
dengar, padahal sangat dekat dengan kita3. Ayat-ayat tersebut memiliki makna
yang sangat kuat dan jelas, misalnya ayat terakhir surat Al Fath:
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; Tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar."(QS: Al Fath 29).
Juga Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang"." (QS: Al Hasyr 10).

BAB I
MAKNA NAMA
Nama seseorang selalu mencerminkan dirinya. Nama merupakan pembeda,
yang membedakan seseorang dengan orang lain. Hal ini berlaku bagi seluruh
manusia. Orang yang berakal tidak pernah ragu akan pentingnya nama. Sebab,
melalui nama orang akan dikenal dan dibedakan dari saudara-saudaranya
sendiri maupun orang lain. Nama itu akan menjadi tanda bagi diri yang
bersangkutan dan juga bagi putra-putrinya kelak. Seseorang pasti akan mati,
sedang namanya tetap hidup sepeninggalnya.
Kata "Al Ismu" berasal dari kata "As Sumuw" yang bermakna mulia dan tinggi.
Atau berasal dari kata: "Al Wasmu" yang berarti tanda. Kedua makna di atas
menegaskan akan pentingnya nama bagi seseorang.
Nama seseorang melambangkan agama dan juga tingkatan akalnya. Pernahkah
Anda mendengar ada seorang Nashrani atau Yahudi yang memberi nama
putra-putri mereka dengan nama "Muhammad" (SAW)?
Ataukah ada di kalangan muslimin yang memberi nama anaknya dengan
nama Lata dan Uzza, selain orang yang kurang akalnya?
Seorang anak terikat dengan ayahnya melalui nama. Seseorang dipanggil
dengan nama pilihan Ayah dan keluarganya. Jadi, umat manusia selalu
menggunakan nama. Kata orang: "Melalui nama Anda, saya dapat mengerti
bapak Anda."4.
Pentingnya Nama dalam Islam
Dalam rangka agar mengerti pentingnya nama dalam Islam, Anda hanya
cukup menyimak kisah nabi SAW yang telah mengubah nama-nama beberapa
sahabatnya. Bahkan Rasulullah SAW juga mengganti nama kota beliau yang
dulunya bernama "Yatsrib" menjadi "Madinah". Beliau melarang umatnya memberi nama seseorang dengan nama “Malikul Amlak” yang berarti "Raja
Diraja", dan nama lain yang serupa. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya
nama orang yang paling hina di sisi Allah adalah orang yang diberi nama raja
diraja."
Rasululullah SAW menganjurkan pada kita agar memberi nama anak kita
dengan Abdullah (hamba Allah), Abdurrahman (hamba Allah Yang Maha
Pemurah), dan nama-nama sejenis. Di dalam nama-nama tersebut terkandung
makna ibadah, pengabdian dan ketundukan kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Rasulullah SAW bersabda: "Nama yang paling disukai Allah, adalah Abdullah
dan Abdurrahman."
Rasulullah SAW sangat suka kepada nama yang baik. Beliau berharap dengan
nama baik itu akan membawa kebaikan pula. Hal itu sudah dikenal sebagai
suatu ajaran dari beliau. Ulama ushul fiqh dan pakar bahasa telah sepakat
bahwa nama mengandung makna tertentu. Masalah ini dan segala bahasan
yang bercabang dari hal ini telah dibahas panjang lebar dalam kitab-kitab
bahasa arab dan ushul fiqh.
APAKAH MASUK AKAL?
Pembaca budiman...
Hendakanya Anda tidak terburu-buru, dan jangan heran terlebih dahulu. Mari
kita lanjutkan bersama saya dan jawablah pertanyaan berikut:
Dengan nama apa Anda memberi nama putra Anda?
Apakah Anda memilih nama yang Anda sukai dan disukai ibunya, dan keluarganya?
Apakah Anda memberi nama putra Anda dengan nama musuh Anda?
Subhanallah!
Sudah pasti kita memilih nama bagi diri kita sendiri dengan nama-nama yang
mengarah pada sesuatu yang bermakna bagi kita. Namun kenapa kita tidak
dapat menerima hal ini (memberi nama yang bermakna) bagi manusiamanusia
terbaik? Lalu kita katakan: "Tidak! Mereka memilih nama putra-putri
mereka karena masalah politik dan sosial, tidak sebagaimana layaknya
manusia biasa!” Apakah mereka tidak mengenal makna nama? Apakah nama
tidak bermakna bagi mereka?
Orang-orang yang berakal sehat—para imam dan orang-orang terhormat—
mereka dilarang menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka dilarang
memberi nama anak mereka dengan nama-nama orang yang mereka cintai.
Mereka juga dilarang memberi nama dengan nama saudara-saudara mereka
seagama sebagai wujud kecintaan dan penghargaan. Malah mereka dianggap
memberi nama putra-putri mereka dengan nama-nama musuh mereka sendiri!
Dapatkah Anda mempercayai hal itu?
Agar Anda ketahui, hal ini bukan satu kebetulan yang hanya terjadi pada
seorang anak, namun mereka memberi nama banyak anak mereka dengan
nama-nama itu. Hal ini juga bukan saat di mana permusuhan telah terlupa.
Bahkan pemberian nama itu dilakukan pada masa-masa puncak permusuhan
(demikian menurut anggapan mereka).
Tapi menurut pendapat kami: "Pemberian nama-nama tersebut justru pada
saat puncak rasa kasih sayang di antara mereka…"
Hal ini merupakan persoalan penting yang harus ditelaah dan diperhatikan.
Sebab di dalamnya terkandung banyak fakta, makna, dan merupakan
sanggahan terhadap dongeng-dongeng dan kisah-kisah khayalan. Di dalamnya
juga terkandung seruan bagi jiwa dan perasaan. Di dalamnya terkandung
penjelasan yang memuaskan bagi orang-orang yang berakal sehat… Sehingga
tidak mungkin dapat disanggah ataupun diselewengkan maknanya.
Kesimpulan dari Pembahasan tersebut:
Penjelasan 1 s/d 3: Karena sangat cinta kepada tiga khalifah, maka Sayyidina
Ali a.s. memberi nama putra-putra beliau dengan nama-nama mereka. Yaitu:
Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib. Beliau mati syahid di Karbala' bersama
saudaranya, yaitu Husein a.s.
Umar bin Ali bin Abi Thalib. Beliau ini mati syahid di Karbala' bersama
saudara beliau Husein a.s.
Utsman bin Ali bin Abi Thalib. Beliau ini juga mati syahid di Karbala' bersama
saudara beliau Husein a.s.
Penjelasan 4 s/d 6: Hasan a.s. memberi nama putra-putra beliau dengan nama:
Abu Bakar; Umar; dan Thalhah bin Hasan. Ketiga-tiganya mati syahid di
Karbala' bersama paman mereka Husein a.s.
Penjelasan 7: Husein a.s. memberi nama putra beliau dengan nama Umar bin
Husein.
Penjelasan 8 – 9: Sang pemimpin ulama tabi'in Ali bin Husein Zainal Abidin,
yaitu imam keempat (a.s.) juga memberi nama putri beliau dengan nama
Aisyah. Juga memberi nama Umar, dan menurunkan keturunan bagi beliau
sesudah beliau wafat.
Demikian juga dengan para Ahlul Bait lainnya dari keturunan Abbas bin
Abdul Muthalib, keturunan Ja'far bin Abi Thalib, Muslim bin Aqil, dan selain
mereka. Tetapi di sini kita tidak akan menyebutkan seluruh nama-nama
tersebut panjang lebar. Yang menjadi tujuan kita hanyalah untuk menjelaskan
maksud, yaitu penjelasan tentang nama putra-putra Ali, Hasan, dan Husein
(alahimussalam).
PERTENTANGAN
Di kalangan Syi'ah ada orang-orang yang tidak percaya bahwa Ali dan putraputri
beliau (alaihimussalam) telah memberi nama putra-putri mereka dengan
nama-nama tersebut. Tetapi hal ini hanya bualan orang-orang yang tidak
berwawasan tentang nasab keturunan dan nama-nama. Bahkan mereka adalah
termasuk orang yang bacaannya terbatas. Di samping itu alhamdulillah, jumlah
mereka hanya sedikit.
Bahkan kelompok ini telah disanggah imam-imam besar serta ulama Syi'ah
sendiri. Sebab bukti-bukti keberadaan nama-nama tersebut sangat jelas dari
fakta yang terjadi dan keberadaan keturunan mereka. Begitu juga tercantum di
dalam kitab-kitab Syi'ah yang mu'tamad (dijadikan rujukan). Bahkan di dalam
riwayat-riwayat yang mengisahkan tragedi Karbala', yang mana telah gugur
Abu Bakar bin Ali bin Abu Thalib bersama Imam Husien. Demikian pula Abu
Bakar bin al-Hasan bin Ali (alaihimussalam), yang telah kami jelaskan di atas.
Mereka telah gugur sebagai syahid bersama Husein. Bahkan hal itu dijelaskan
oleh Syi'ah di dalam kitab-kitab mereka sendiri. Tetapi Anda jangan terkejut
manakala Anda tidak mendengar nama-nama ini di Huseiniyyat dan perayaanperayaan
hari Asyura'. Sebab, tidak disebutnya mereka itu bukan berarti
mereka tidak pernah ada.
Ketika itu Umar bin Ali bin Abi Thalib dan Umar bin al-Hasan, termasuk
penunggang kuda yang diakui oleh mereka sebagai orang-orang yang
bertempur sekuat tenaga pada peristiwa itu.
Masalah pemberian nama oleh imam-imam alaihimussalam kepada putra-putra
mereka dengan nama Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, dan nama-nama para
sahabat besar lainnya merupakan masalah yang tidak pernah terjawab dengan
jawaban yang jelas dan memuaskan oleh Syi'ah. Sebab, tidak mungkin kita
memberi nama tanpa dasar dan tanpa makna. Kita juga tidak mungkin
mengangggap itu sebuah rekayasa yang sengaja dibuat oleh Ahlu Sunah dan
dimasukkan ke dalam kitab-kitab Syi'ah! Sebab hal ini berarti tuduhan terhadap seluruh riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab Syi’ah. Sehingga
setiap riwayat yang tidak mengenakkan bagi Syi'ah, kemudian mungkin saja
mereka mengatakan: "Itu adalah rekayasa, dan dusta."
Bahkan bisa saja setiap riwayat yang tidak sesuai dengan hawa nafsu seorang
ulama, lalu dengan mudah ia menolaknya seraya mengatakan: "Itu rekayasa."!
Apalagi dalam mazhab Syi’ah setiap ulama berhak menerima dan menolak
riwayat tanpa ada kaidah dan patokan yang jelas.
***
Ada sebuah lelucon yang lucu sekaligus menyedihkan. Ada (dari kalangan
mereka -pen) yang mengatakan, bahwa pemberian nama-nama dengan nama
para sahabat besar tersebut, adalah untuk mencela dan mencaci maki mereka!
Ada juga yang mengatakan, bahwa pemberian nama tersebut atas dasar agar
dapat merebut hati masyarakat. Sehingga imam memberi nama putra-putra
mereka agar masyarakat merasa, mereka mencintai para khalifah tersebut dan
ridha terhadap mereka! (--dengan kata lain mereka melakukan taqiyah)
Subhanallah !!
Layakkah kita mengatakan bahwa Imam melakukan perbuatan untuk menipu
pengikut mereka sendiri dan masyarakat umum? Mungkinkah sang Imam
mengorbankan keturunannya sendiri demi tujuan seperti itu?
Siapakah orang yang ditakuti Imam sehingga beliau memberi nama anaknya
dengan nama-nama di atas?
Keberanian dan harga diri Imam akan mencegah beliau untuk menghinakan
dirinya sendiri dan anak-anaknya demi menjaga perasaan Bani Taym, atau
Bani 'Ady, atau Bani Umayyah. Orang yang mempelajari sejarah para imam,
niscaya ia akan mendapati kepastian bahwa para imam adalah salah satu
manusia yang paling pemberani. Tidak seperti yang kita dapati dalam banyak
riwayat dusta, yang menganggap beliau pengecut, tidak memberontak demi
agama, harga diri dan kehormatannya. Sayangnya, riwayat seperti ini
sangatlah banyak.
 KESIMPULAN
Sebenarnya, apa yang telah dilakukan oleh para imam: yaitu Ali dan putraputra
beliau (alaihimussalam), adalah bukti terkuat, baik secara logika,
psikologis, maupun realita yang terjadi. Apa yang mereka lakukan
membuktikan besarnya rasa cinta Ahlul Bait kepada Khulafa' ar-Rasyidiin,
juga kepada segenap sahabat Nabi SAW lainnya. Anda sendiri juga mengalami
hal ini. Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya. Hal ini juga merupakan bukti
kebenaran firman Allah Ta'ala:
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu
lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud." (QS: Al-Fath 29).
Wahai pembaca budiman, cobalah mengulang-ulang bacaan ayat ini,
renungkan maknanya, dan jangan ketinggalan renungkan juga sifat rahmat
dan kasih sayang.
PEMBAHASAN DUA
HUBUNGAN PERNIKAHAN
Pembaca budiman, belahan hati Anda, putri Anda, akan Anda serahkan
kepada siapa? Relakah Anda jika putri Anda menikah dengan seorang
penjahat? Atau menikah dengan seorang penjahat yang membunuh ibu dan
saudaranya sendiri? Apa makna kata ipar dan keluarga bagi Anda?
Istilah "al-Mushaharah" menurut tata bahasa Arab; berasal dari kata "Shaahara".
Dikatakan "Shaahartu al Qoum" (saya menjadikan mereka ipar), manakala saya
menikahi seseorang dari mereka. Al-Azhari menjelaskan: Kata "ashshihru"
mengandung makna kerabat dekat wanita yang berstatus muhrim, dan juga
para wanita yang masih berstatus muhrim. Seperti kedua orang tua dan
saudara-saudara perempuan…dst. Sebaliknya, kerabat dekat yang menjadi
muhrim bagi suami adalah ipar (ashshihru) wanita tersebut."
Dengan begitu, ipar seorang lelaki, adalah kerabat istrinya, dan ipar seorang
wanita adalah kerabat suaminya.
Kesimpulannya "periparan" atau masalah hubungan ipar menurut bahasa
adalah kerabat dari pihak wanita. Meskipun kadang diterapkan juga pada
pihak kerabat pihak lelaki. Allah SWT telah menjadikan hal itu sebagai bagian
tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah (hubungan ipar) dan Tuhanmu adalah Maha
Kuasa." (QS: Al-Furqaan 54).
Renungkanlah kandungan ayat tersebut. Manusia yang berstatus sebagai
"seseorang" dijadikan Allah bertalian dengan orang lain melalui keturunan dan
periparan (mushaharah). Jadi mushaharah merupakan pertalian syar'i yang
telah dijadikan Allah sebagai pendamping kata "keturunan". Sedang keturunan
"nasab", artinya kerabat pihak ayah. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa
"nasab", dimaksudkan kerabat. Sebagaimana sudah dijelaskan, bahwa Allah
mendampingkan antara kata "nasab" dan "mushaharah". Hal ini mengandung
beberapa perkara yang sangat penting. Sehingga kita tidak boleh
melupakannya.
PERIPARAN DAN SEJARAHNYA
Di kalangan masyarakat Arab, periparan mempunyai posisi istimewa. Mereka
sangat berbangga dengan bapak-bapak dan keturunan. Dari situ mereka pun
merasa bangga atas suami putri-putri mereka dan kedudukan mereka. Orang
Arab tidak akan menikahkan putrid mereka dengan orang-orang yang mereka
pandang berderajat rendah. Hal ini lazim di kalangan mereka. Bahkan
pandangan seperti itu juga terdapat pada bangsa-bangsa lain. Perbedaan etnis
sampai masa sekarang pun masih merupakan kendala sosial di Barat.
Orang-orang Arab sedemikian cemburu terhadap para wanita mereka.
Sehingga mendorong sebagian dari mereka memingit (menjaga atau disimpan)
gadis-gadis mereka yang masih kecil, lantaran takut terkena malu. Bahkan
seringkali terjadi pertumpahan darah dan timbul berbagai peperangan sebagai
dampak dari hal-hal seperti itu. Ini merupakan suatu sinyal yang tidak
membutuhkan penjelasan panjang lebar. Kesan seperti itu masih tetap berlaku
sampai sekarang, sebagaimana Anda maklum.
HUBUNGAN PERNIKAHAN DI DALAM ISLAM
Islam datang dan menerapkan nilai-nilai budi luhur serta sifat-sifat terpuji.
Islam melarang sikap-sikap buruk. Allah SWT menjelaskan, bahwa standar
ukuran kemuliaan adalah "takwa". Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu."(QS: Al-Hujurat 13).
Ini menurut neraca syariat !!
Anda pun bisa mendapati para ahli fikih rahimahumullah membahas persoalan
"al-Kafaa’ah" (kesepadanan)—berkaitan dengan agama, keturunan, bakat
kemampuan, dan hal-hal terkait melalui pembahasan panjang. Mereka
membahas tentang apakah kesepadanan itu merupakan syarat bagi sahnya
suatu akad nikah atau keharusan? Apakah itu merupakan hak bagi pihak istri
ataukah melibatkan para wali? Dan sebagainya dalam pembahasan mereka
seputar masalah pernikahan.
Mengenai menjaga kehormatan wanita, maka sebenarnya Nabi SAW
menetapkan status syahid bagi orang yang berjuang mempertahankan
kehormatannya. Beliau sendiri pernah menyiapkan peperangan demi seorang
wanita yang dipermainkan penutup auratnya oleh seorang Yahudi. Kisah itu
sudah populer berkaitan pelanggaran yang dilakukan bani Qainuqa' atas janji
antara mereka dengan Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Dikisahkan, seorang Yahudi meminta kepada seorang muslimah yang hendak
membeli emas kepadanya agar ia bersedia membuka cadarnya. Tetapi muslimah itu menolak. Lalu Yahudi itu mengikat tepi baju gadis itu ketika ia
sedang duduk tanpa sepengetahuannya. Tatkala muslimah itu berdiri,
terbukalah pakaiannya. Lalu muslimah itu berteriak-teriak meminta tolong.
Ketika itu di dekatnya ada seorang pemuda muslim. Ia pun segera menyerang
Yahudi itu dan membunuhnya. Kemudian orang-orang Yahudi bersatu padu
menyerangnya dan membunuh pemuda itu. Peristiwa ini hanya sebuah bukti
yang menunjukkan mereka telah melanggar perjanjian mereka dengan Nabi,
juga ada peristiwa lain yang menunjukkan pelanggaran atas janji mereka.
Pembaca budiman... perhatikanlah beberapa hukum syariat seperti
dipersyaratkannya wali di dalam suatu akad nikah dan adanya saksi.
Perhatikan pula hukuman bagi orang yang menuduh orang berzina, hukuman
kepada orang yang berzina, dan hukum-hukum lain sejenis yang semuanya
bertujuan menjaga kehormatan. Dengan mencermati adanya hukum-hukum
tersebut beserta segala yang terkait, baik berupa hukum, atsar, dan hal-hal
yang bersifat syar'i, niscaya akan jelas bagi Anda betapa penting persoalan ini.
Persoalan pernikahan berkaitan dengan banyak hukum. Pikirkanlah ketetapan
"nash" tentang akad nikah (al-miitsaaq al-ghaliidh: janji nan teguh) yang
dinyatakan oleh seorang lelaki di dalam meminang. Ini pun mengandung
banyak hukum-hukum. Bahkan adakalanya suatu pinangan bisa diterima juga
bisa ditolak. Sehingga adakalanya orang yang hendak melamar meminta
bantuan kepada keluarga atau sahabat-sahabatnya agar bisa memperoleh
persetujuan. Lalu ia pun meminta kepada keluarga pihak perempuan untuk
meminang si perempuan. Pihak perempuan memiliki hak untuk menerima
atau menolaknya. Bahkan sekali pun ia sudah memberi hadiah-hadiah atau
menyegerakan maskawin dan sebagainya, mereka masih berhak untuk
menolak lamaran tersebut selama akad nikah belum terjalin.
Akad nikah harus melibatkan para saksi. Menyebarluaskan rencana
pernikahan juga merupakan tuntutan syariat. Untuk apa? Sebab, melalui suatu
pernikahan akan muncul hukum-hukum baru. Yaitu mendekatkan hubungan yang jauh lalu menjadikan masing-masing "periparan" (hubungan ipar).
Pernikahan ini mengakibatkan suami haram menikahi beberapa wanita
selamanya seperti ibu sang istri, atau selama dia menjadi suami sang istri
seperti adik perempuan sang istri. Tetapi tujuan risalah ini bukan membahas
panjang lebar soal ini, semata-mata tujuannya untuk menekankan keseriusan
persoalannya untuk penjelaskan selanjutnya. Sekarang renungkanlah
penjelasan berikut:
Contoh pertama:
Saudara perempuan Hasan dan Husein dinikahkan oleh bapaknya
(alaihimussalam ajma'in) kepada Umar bin Khathab r.a.
Dapatkah kita katakan, bahwa Ali a.s. menikahkan putrinya atas dasar takut
kepada Umar? Manakah keberanian Ali ? Mana pulakah rasa sayang beliau
kepada putrinya? Mungkinkah beliau akan menyerahkan putri beliau kepada
orang zhalim? Manakah sikap kecemburuan beliau kepada agama Allah? Dan
masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang tiada pernah berakhir.
Atau Anda katakan, bahwa Ali a.s. menikahkan putri beliau (Ummu Kultsum)
kepada Umar atas dasar cinta kepada Umar dan senang kepada beliau.
Memang Umar telah menikah dengan putri (cucu) Rasulullah SAW dengan
pernikahan yang sah6. Pernikahan ini membuktikan adanya jalinan kasih
sayang antara dua keluarga ini. Betapa tidak, bahkan Rasulullah SAW sendiri
menikah dengan putri Umar. Dengan begitu hubungan ini telah terjalin erat di
antara dua keluarga sebelum pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum (binti
Ali alaihimussalam -pent).
Contoh kedua:
Cukuplah kiranya pernyataan Imam Ja'far ash Shadiq a.s. yang menyatakan:
"Saya dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali!" Tahukah Anda siapakah ibu Ja'far?
Beliau bernama Ummu Farwah binti Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar7.(5).
Wahai para cerdik pandai: Mengapa Ja'far a.s. menyebut nama Abu Bakar, dan
tidak menyebut Muhammad bin Abu Bakar? Memang, beliau terang-terangan
menyebut nama Abu Bakar karena sebagian orang Syi'ah mengingkari
keutamaan beliau. Sedang putra beliau Muhammad, Syi'ah sepakat atas
keutamaannya. Sekarang bagaimana menurut Anda, dengan siapa seseorang
berbangga?
Pembaca budiman... Hubungan pernikahan antara para sahabat Muhajirin dan
Anshar sudah jelas terjadi dan diketahui oleh para penelaah nasab. Bahkan
dari kalangan mereka yang budak. Benar! Bahkan budak-budak itu menikah
dengan para bangsawan (Sayyid) Quraisy. Contohnya; Zaid bin Haritsah r.a.
Beliau adalah satu-satunya sahabat yang disebut namanya di dalam al Quran,
yaitu di dalam Surat al Ahzab. Siapakah kiranya istri beliau? Istri beliau adalah
Ummul Mukminin Zainab binti Jahasy (jelasnya; sebelum menjadi Ummul
Mukminin -pent)
Dan ini, Usamah bin Zaid, beliau dinikahkan oleh Rasulullah shalallaahu'alaihi
wa aalihi wa sallam dengan Fathimah binti Qais. Sedang Fathimah adalah wanita
Quraisy8
Salim, seorang budak, dinikahkan oleh Hudzaifah radhiyallahu'anhum dengan
putri saudaranya. Wanita yang bernama Hindun binti Walid bin Utbah bin
Rabi'ah. Sedang ayah Hindun adalah salah seorang pemuka Quraisy9.(7).
7. Sedang ibunya bernama Asma' binti Abdur Rahman bin Abu Bakar. Silahkan baca "'Umdatu ath-Thaalibiin"; hal.
195; edisi Dahran. Juga "Al Kaafi"; juz 1; hal. 472.
8. Riwayat Muslim; bab tentang Fathimah binti Qais radhliyallahu 'anha.
Pembahasan tentang periparan antara sahabat akan sangat panjang. Kita
cukupkan dengan beberapa contoh saja yang mengisahkan pernikahan antara
Ahlul Bait dengan Khulafa' ar-Rasyidiin.
Tahukah Anda, bahwa Umar r.a. menikah dengan putri Fathimah putri
Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Begitu pula Ja'far ash-Shadiq a.s. sebagaimana telah dijelaskan, siapakah nenek
beliau? Keduanya adalah cucu Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
Pembaca budiman... Buanglah bisikan setan dari diri Anda. Hendaklah Anda
memikirkannya sungguh-sungguh dan mendalam, sebab Anda adalah seorang
muslim. Anda pasti memahami kedudukan akal. Sedang ayat-ayat al Quran
yang menganjurkan agar Anda menelaah dan berpikir sangat banyak.
Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk memikirkannya dengan akal pikiran
kita. Hendaklah kita tinggalkan sikap ikut-ikutan dan taklid buta. Waspadalah
agar orang-orang iseng tidak mempermainkan akal pikiran kita. Kami
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari
godaan setan, baik dari kalangan manusia maupun dari jin.
Pembaca tercinta... Relakah Anda jika kakek-kakek Anda dimaki-maki.
Relakah Anda jika dikatakan, bahwa wanita kaum anda yang paling terhormat
telah menikah di bawah tekanan. Sedangkan itu terjadi di hadapan keluarga
Anda seluruhnya sedang mereka diam?
Relakah Anda manakala dikatakan bahwa hal itu sebagai perempuan kami
yang dirampas? Sungguh masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiada
berakhir.
Akal siapakah yang akan rela dengan ucapan keji seperti itu? Hati siapakah
yang dapat menerima riwayat seperti itu?
Kami mohon kepada Allah, semoga tidak menjadikan ke dalam hati kami
kedengkian terhadap orang-orang beriman. Wahai Allah, karuniai kami rasa sayang kepada orang-orang shalih dari kalangan hamba-hamba-Mu
seluruhnya. Wahai Allah kabulkanlah kiranya, wahai Penguasa semesta alam.
Sebelum kita melanjutkan pembahasan ketiga, akan kami sajikan riwayat dari
kitab-kitab Syi'ah yang dijadikan sandaran (mu'tamad) di kalangan orang-orang
Syiah dan kalangan ulama mereka sendiri. Ulama Syiah menetapkan
kebenaran riwayat pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum binti Ali
(semoga Allah meridhai keduanya).
Imam Shafiyuddin Muhammad bin Tajuddin (yang dikenal dengan Ibnu ath-
Thaqthaqi Al Hasani; wafat 709 H) bergelar pakar sejarah dan imam. Di dalam
kitabnya yang dihadiahkan kepada Ashiluddin Hasan bin Nashiruddin ath-
Thusi, teman dekat si "Hulagu", Ia memberi nama kitab tersebut dengan
namanya. Di dalamnya menjelaskan putri-putri Amirul Mukminin Ali a.s.
Dalam penjelasannya, ia menyebutkan: "Dan Ummu Kultsum, ibunya adalah
Fathimah binti Rasulullah. Ia dinikahi Umar bin Khathab dan melahirkan putra
bernama Zaid. Sepeninggal Umar Ummu Kultsum menikah dengan Abdullah
bin Ja'far (pada halaman 58).”
Perhatikan juga pernyataan Muhaqqiq a.s Sayyid Mahdi ar Raja'i. Di situ ia
mengutip berbagai pernyataan. Juga terdapat penegasan (tahqiiq) dari Alamah
Abul Hasan Al 'Umari yang berasal dari Umar bin Ali bin Husein di dalam
kitabnya berjudul "Al Majdi". Ia menjelaskan: "Kesimpulan yang dapat diambil
dari riwayat-riwayat yang kami telaah tadi ialah Abbas bin Abdul Muthalib
telah menikahkannya dengan Umar melalui kerelaan ayahnya a.s. dan atas
seizinnya. Umar dan Fatimah memiliki seorang putra yang diberi nama Zaid."
Muhaqqiq tersebut juga menjelaskan berbagai pendapat, di antaranya riwayatriwayat
yang menyatakan: “Bahwa sebenarnya yang dinikahi Umar adalah
setan yang berubah bentuk menjadi seorang wanita”. Atau menyatakan
“bahwa beliau belum menggaulinya." Atau menyatakan “bahwa dia
menikahinya dengan memaksa dan merampas” dan seterusnya.
Alamah Majlisi mengatakan: "... seperti itulah, Al Mufid mengingkari bahwa
hal ini terjadi.” Maksudnya adalah menjelaskan bahwa riwayat itu tidak kuat
dari jalur mereka. Jika tidak demikian, maka sesudah terdapat riwayat-riwayat
seperti itu dan riwayat-riwayat --yang akan kami sebutkan-- dengan sanadsanadnya
yang menyatakan; “bahwa Ali a.s., tatkala Umar wafat, beliau pergi
menuju rumah Ummu Kultsum, lalu membawanya pulang.” Dan riwayatriwayat
yang serupa, sebagaimana dinyatakan di dalam kitab "Bihaarul
Anwaar.". Suatu penolakan yang ganjil. Maka paling tepai kita katakana bahwa
peristiwa itu terjadi karena taqiyah dan terpaksa …, dst." (Juz 2; hal. 45; dari
kitab "Mir’atul 'Uquul").
Menurut pendapat kami: “Bahkan dijelaskan oleh pengarang kitab Al Kaafi,
dan di berbagai hadits-hadits dalam kitabnya, di antaranya; bab Al Mutawaffa
'anha zaujuhaa alMadkhuul bihaa aina ta'taddu wa maa yajib 'alaihaa, dinyatakan;
“bahwa Humaid bin Ziyad dari Ibnu Sama'ah, dari Muhammad bin Ziyad, dari
Abdullah bin Sinan dan Mu'awiyah bin 'Ammar, dari Abi Abdillah a.s., ia
berkata: "Saya bertanya tentang wanita yang ditinggal mati suaminya, adakah
ia melaksanakan iddah di rumah sendiri atau sekehendak hatinya?" Beliau
menjawab: "Sekehendak hatinya”. Sebab, Ali a.s. ketika Umar wafat, beliau
datang kepada Ummu Kultsum dan membawanya pulang ke rumahnya."
(Bacalah: Furuu'; dari kitab "Al Kaafi"; juz 6; hal. 115).
Pembaca budiman...
Saya pernah membincangkan masalah ini dengan ulama Syi'ah yang hidup
saat ini. Di antara jawaban yang paling bagus adalah apa yang dituliskan oleh
Hakim Mahkamah Wakaf dan Waris, yaitu Syeikh Abdul Hamid Al Khathi.
Beliau mengatakan sebagai berikut: "Adapun Ali a.s. yang menikahkan salah
seorang pahlawan Islam dengan putri beliau Ummu Kultsum, maka itu bukan
hal yang tercela. Beliau meneladani teladan baik Rasulullah shalallaahu 'alaihi
wa aalihi wa sallam yang menjadi contoh bagi setiap muslim. Bahkan Rasulullah
shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallama telah menikah dengan Ummu Habibah
radhliyallahu 'anha binti Abu Sufyan. Sedang Abu Sufyan tidaklah seperti Umar
bin Khathab r.a. Seluruh keraguan atas peristiwa ini tidak dapat diterima”.
Adapun pendapat kalian... “bahwa setan telah menjelma kepada Khalifah
Umar bin Khathab r.a., menjadi seperti Ummu Kultsum”, maka pendapat ini
adalah pendapat yang menggelikan sekaligus menyedihkan. Tidak layak
untuk diutarakan dan tidak ada dasarnya.
Sekiranya kita meneliti riwayat-riwayat dusta seperti ini, niscaya kita akan
mendapati hal-hal yang menggelikan sekaligus membuat kita menangis.
Tapi Syeikh tersebut tidak menyinggung masalah yang sedang kita bahas kali
ini. Artinya bahwa periparan merupakan bukti ikatan kekeluargaan. Sehingga
hal itu tidak mungkin dapat terwujud, kecuali atas dasar rasa suka. Dan juga
merupakan bukti rasa cinta, persaudaraan, serta ikatan di antara mereka.
Anda pun tentu memaklumi wahai pembaca budiman, bahwa pernikahan
seorang muslim (laki-laki) dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan. Sedang
pernikahan seorang lelaki Ahli Kitab dengan seorang wanita muslimah
dilarang.
Renungkanlah hal itu!
KESIMPULAN
Hubungan Pernikahan di antara sahabat-sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi
wa aalihi wa sallam sangatlah jelas keberadaannya. Terlebih-lebih antara anak
cucu Imam Ali a.s. dengan keturunan Khulafa' ar-Rasyidin radhiyallahu 'anhum.
Demikian pula hubungan pernikahan antara Bani Umayah dengan Bani
Hasyim sejak sebelum munculnya Islam. Yang paling terkenal adalah
pernikahan antara Rasulullah SAW dengan putri Abu Sufyan radhliyallahu
ajma'in. (Silahkan Anda perhatikan tabel pada akhir risalah ini).
Yang menjadi tujuan penjelasan kami di sini, ialah sebagai isyarat tentang
kesan kejiwaan dan kesan sosial yang mendalam dari hubungan perkawinan
tersebut., yaitu terjalinnya rasa kasih sayang di antara kedua belah pihak.
Lebih dari itu, kesannya masih banyak lagi. Semoga dengan keterangan di atas
sudah cukup.
PEMBAHASAN TIGA
BUKTI DARI PUJIAN-PUJIAN
Pembaca budiman ...
Pernahkah Anda tinggal jauh dari tanah air bersama rekan-rekan sekampung
Anda, keluarga, atau sanak kerabat Anda?
Bagaimana rasanya hidup lama jauh dari tanah air?
Pernahkah Anda hidup di kamp-kamp militer bersama mereka atau bersama
orang-orang yang Anda sayangi?
Pembaca budiman ...
Pernahkah Anda hidup di dalam kefakiran dan tertekan bersama sahabatsahabat
Anda; Anda hidup bersama mereka dalam ikatan akidah, pemikiran
dan kasih sayang? Bagaimana pendapat Anda terhadap orang-orang yang
hidup dalam situasi seperti itu? Mereka adalah sahabat dalam suasana suka
dan duka. Apalagi di antara mereka terdapat manusia terbaik, Muhammad
shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallama, sahabat-sahabat Nabi SAW? Terlebihlebih
mereka yang masuk Islam di awal tahun kenabian, mereka hidup dalam
situasi seperti itu. Kehidupan mereka berbeda, yang hanya bisa dimengerti
oleh orang-orang yang mempelajari sejarah kenabian, atau orang yang
menaruh perhatian kepada kehidupan Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa
sallam.
Pembaca budiman...
Seraya Anda membaca tulisan-tulisan ini, marilah bersama saya sejenak
mengunjungi sejarah Nabi SAW saat masih di Mekah. Ketika di rumah Arqam,
dan berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian ketika Islam muncul
dari tempat itu. Kemudian ketika sahabat-sahabat mulia beliau berhijrah menuju Habasyah. Sebuah negeri asing yang sangat jauh, kemudian pergi ke
Madinah. Meninggalkan keluarga, harta benda, dan negeri tumpah darah.
Renungkanlah kondisi ketika berada dalam perjalanan jauh yang sangat
meletihkan. Sedang mereka berada di atas onta dan terkadang berjalan kaki.
Mereka pernah hidup dalam ketakutan dan terkepung di Madinah ketika
terjadi perang Khandak. Menembus gurun pasir pada waktu perang Tabuk.
Mereka pernah mengalami kemenangan pada perang Badar, Khandak,
Khaibar, Hunain, sebelum di Mekkah dan di daerah-daerah lain.
Renungkanlah kesan-kesannya terhadap jiwa kita. Memang, betapa kokoh
jalinan kasih sayang dan persahabatan di antara sesama mereka. Dan jangan
sampai lupa, Rasulullah SAW hadir bersama mereka. Beliau berperan selaku
pemimpin, pendidik, dan pengajar bagi mereka. Hendaknya Anda juga ingat,
bahwa Al Quran saat itu turun dari Rabb Penguasa semesta langit dan bumi
kepada pimpinan kelompok ini, kepada Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi
wa sallam.
Renungkanlah keadaan mereka itu. Hati mereka bersatu mencintai Rasulullah
shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Renungkanlah dampak dari bersatunya
hati mereka kepada Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Dan
Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam sendiri bangkit membina
mereka, hidup bersama mereka, bersamaan dengan turunnya al Quran kepada
mereka. Marilah bersama-sama kita merenungkan kondisi dan situasi pada
masa-masa itu.
Hal ini telah kami jelaskan pada buku sebelumnya tentang sahabat Rasulullah
shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Tidak diragukan, kesepakatan, seia-sekata, dan cinta telah mempersatukan hati
mereka. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan,
lalu Allah mempersatukan hatimu, maka menjadilah kamu karena nikmat Allah orangorang yang bersaudara." (QS: Ali Imran 103)
Sekiranya Anda sudi merenungkan makna-maknanya. Sebagaimana
pernyataan dari Allah SWT kepada para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi
wa aalihi wa sallam, bahwa Dia telah berkenan "mempersatukan hati mereka".
Inilah karunia Allah Ta'ala kepada para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa
aalihi wa sallam. Dan tidak ada yang dapat menolak karunia Allah SWT.
Memang, ketika itu pernah ada permusuhan yang berkobar antara kabilah Aus
dengan Khazraj. Namun kemudian Allah Ta'ala menyirnakan permusuhan ini,
dan menjadikan gantinya dengan rasa cinta dan persatuan.
Pembaca budiman ...
Apa kiranya yang menghalangi Anda untuk mengimani pernyataan ini dan
berbaik sangka kepada para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa
sallam?. Sedang Rabb mereka Allah SWT telah memberi kesaksian dan
menjelaskan kepada mereka adanya karunia-Nya kepada mereka. Mereka pun
telah menjadi bersaudara, hati mereka menjadi jernih, tertanam di dalamnya
rasa cinta, dan persatuan.
Yang kita perhatikan adalah keumuman lafal nash, bukan pada sebab
turunnya nash itu. dan yang membuktikan segi umumnya adalah ayat al
Quran sebagai berikut;
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah
(menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan
dengan para mukmin dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang
beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi,
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(QS: Al Anfaal 62-63).
Pembaca budiman ...
Renungkanlah ayat-ayat tersebut, dan bacalah berulang-ulang. Sebab di
dalamnya terkandung karunia Allah SWT kepada Rasulullah shalallaahu 'alaihi
wa aalihi wa sallam dalam bentuk pertolongan dan juga kepada orang-orang
beriman. Yang penting untuk kita tekankan adalah sekiranya Nabi shalallaahu
'alaihi wa aalihi wa sallam membelanjakan harta benda di bumi seluruhnya,
niscaya beliau tidak dapat memperoleh yang seperti itu. Tetapi Allah SWT lah
Sang Pemilik karunia.
Namun masih saja ada orang yang mengingkari setelah membaca kenyataan di
atas. Orang yang mengingkarinya tidak bersedia menerima, bahkan
menentang nash-nash. Ia beranggapan, sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa
aalihi wa sallam selalu saling bermusuhan di antara mereka.
Allah 'Azza wa Jalla telah menjelaskan kepada kita, bahwa Dia telah
menyatukan hati mereka, mempersatukan mereka, dan menjadikan mereka
saling bersaudara. Menjadikan mereka saling berkasih sayang. Tapi masih saja
terdapat tulisan-tulisan dan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa para
sahabat selalu saling bermusuhan antar mereka!
Telah banyak ayat-ayat dan sebagian sudah kami jelaskan. Yang memuji para
sahabat radhiyallahu 'anhum. Juga terdapat ayat-ayat yang menjelaskan sifatsifat
mereka dan tindakan-tindakan mereka. Di antaranya; sifat lebih mengutamakan orang lain yang merupakan hasil dari perasaan cinta dalam
hati.
Allah Ta'ala berfirman:
"(Juga) bagi para orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman
dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Allah
Ta'ala) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang
benar. Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman(Anshar)
sebelum(kedatangan) mereka(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka(orang Muhajirin); dan mereka
mengutamakan(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS: Al Hasyr 8-9).
Pada penjelasan sebelumnya, telah dipaparkan isyarat tentang berbagai
penjelasan dari al Qur'an. Penjelasan tersebut berjumlah banyak, namun
sengaja kami membatasinya dan sekedar menunjukkan tentang hubungan
kasih sayang. Hal itu kami lakukan untuk menekankan bahwa perasaan
tersebut mengakar dalam diri para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa
aalihi wa sallam. Sebagaimana Anda ketahui, bahwa sikap mengutamakan
orang lain atas diri sendiri, persaudaraan, saling melindungi, dan saling berpadu hati, telah disebutkan dalam ayat-ayat al Qur'an yang menekankan
keberadaan sifat kasih sayang antara mereka (cinta). Bahkan hal ini tidak
hanya disebutkan dalam satu ayat. Renungkanlah ayat di atas. Di dalamnya
menegaskan soal kasih sayang orang-orang Anshar terhadap orang-orang
Muhajirin. Dan renungkan pula akhir ayat dari Surat al Fath.
Lebih lanjut, berikut kami sajikan kisah yang diriwayatkan Ali al Arbali di
dalam kitabnya berjudul “Kasyful Ghummah” (jilid 2 hal 78; cetakan Teheran):
Dari Imam Ali bin Husein 'alaihimassalam, beliau berkata: "Datang menghadap
Imam beberapa orang dari Irak, mereka mencaci maki Abu Bakar, Umar, dan
Utsman (radhliyallahu 'anhum). Ketika mereka sudah selesai berbicara, Imam
berkata kepada mereka: "Apakah kalian mau menjawab pertanyaanku?
Apakah kalian adalah kaum Muhajirin? (sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Orang-orang yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah
dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar." ? (QS: Al Hasyr 8)).
Mereka menjawab: "Bukan."
Beliau kembali bertanya: "Apakah kalian termasuk orang-orang yang
dinyatakan dalam firman Allah Ta'ala: ‘Orang-orang yang telah menempati Kota
Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan Muhajirin, mereka mencintai orang
yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin; dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka sendiri membutuhkan (apa-apa yang mereka berikan itu)."? (QS: Al Hasyr 9).
Mereka menjawab: "Bukan."
Beliau berkata lagi: "Kalian telah mengakui, bahwa kalian bukan termasuk
salah satu dari dua golongan tersebut. Maka saya bersaksi, bahwa kalian juga
bukan dari golongan orang-orang sebagaimana difirmankan Allah:
"Mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman." (QS: Al Hasyr 10).
Menyingkirlah kalian dariku, semoga Allah menghukum kalian!"
Demikianlah pemahaman Zainal Abidin Ali bin Husein (Alaihimassalam).
Beliau adalah termasuk kalangan tabi'in. Bahkan telah banyak pujian sebagian
mereka terhadap sebagian yang lain dalam kitab-kitab, baik di dalam kitabkitab
Ahlussunnah maupun di dalam kitab-kitab Syi'ah.
Orang yang meneliti kitab "Nahjul Balaghah", niscaya akan mendapati banyak
khutbah dan isyarat-isyarat yang jelas. Isyarat-isyarat tersebut keseluruhannya
memuji para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Kami
pilihkan salah satu di antaranya, karena di dalamnya terdapat kutipan dari
ayat al Quranul Karim.
Imam Ali a.s. berkata: "Sungguh saya sudah menyaksikan sahabat-sahabat
Muhammad shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam, namun saya tidak melihat
satu orang pun yang menyerupai kalian. Siang hari mereka lusuh berdebu,
namun melalui malam hari dengan sholat. Berdiri laksana berada di atas bara
karena karena ingat akhirat. Di antara dua mata mereka terdapat tanda karena
banyak bersujud. Manakala teringat Allah, mengucurlah air mata mereka,
sampai membasahi baju mereka. Meliuk laksana pohon kokoh yang ditiup
angin badai, takut akan azab dan berharap pahala."
Ucapan beliau a.s. di dalam memuji para sahabat sangat panjang. Sementara
cucu beliau Imam Zainal Abidin juga mempunyai buku yang mengandung doa
bagi para sahabat Rasulullah SAW dan juga puji-pujian terhadap mereka. Bisa
Anda dapati, masing-masing Imam-imam (alaihimussalam) banyak
mengutarakan pernyataan-pernyataan memuji para sahabat (radhiyallahu
'anhum). Ada banyak riwayat yang menjelaskan pujian-pujian terhadap
Khulafa' ar-Rasyidin (Khalifah Empat yang lurus) dan Ummahaat Mukminiin (Ibu-ibu bagi orang beriman) dan sahabat lainnya. Sekiranya dihimpun, tentu
akan menjadi kitab yang berjilid-jilid.
Pembaca budiman...
Kiranya saya sudah terlalu banyak berbicara kepada Anda, meskipun saya
telah berupaya untuk meringkaskannya. Maka saya mohon agar dimaklumi,
dan mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah, kiranya semua itu akan
mendatangkan manfaat bagi diri saya sendiri dan juga bagi Anda. Namun kita
harus menjelaskan hakikat kebenaran secara lengkap. Saya berharap kiranya
Anda dapat bersabar bersama saya untuk sesaat lagi. Sebab risalah ini sudah
hampir selesai, hanya tinggal sebuah penjelasan singkat tentang kedudukan
Ahlul Bait dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah. Agar dengan begitu
Anda memahami (semoga Anda dibimbing Allah), bahwa Ahlussunnah
sangat bersungguh-sungguh berpegang teguh pada al Quranul Karim. Mereka
pun berpegang teguh kepada keluarga Ahlul Bait Rasulullah shalallaahu 'alaihi
wa aalihi wa sallam (Al Itrah). Hal ini memerlukan pembahasan tersendiri. Yang
mana sebelumya sudah dijelaskan tentang kasih sayang yang ada di antara
sesama sahabat Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam seluruhnya.
Termasuk di dalamnya para kerabat beliau SAW dan orang-orang istimewa
yang dimasukkan bersama beliau di dalam kerudung (kisa’). Maka pada
penjelasan berikut akan kami jelaskan beberapa hak Ahlul Bait sebagaimana
diterangkan ulama Ahlussunnah rahimahumullahu Ta'ala.

No comments:

Post a Comment

Tentang Saya