Tajsim/penjasmanian &Tasybih/penyerupaan Allah swt. kepada makhluk-Nya, Sebagaimana
yang telah dikemukakan bahwa golongan Wahabi/Salafi melarang orang
mentakwil ayat-ayat Ilahi atau hadits-hadits Rasulallah saw yang
berkaitan dengan shifat. Jadi bila ada
kata-kata di alqur’an dan hadits wajah Allah, tangan Allah dan seterusnya harus diartikan juga sebagai wajah dan tangan Allah secara sesungguhnya, tetapi kita tidak boleh membayangkan-Nya atau bertanya tentangnya. Sebagaimana yang telah kami kemukakan yaitu pengalaman seorang pelajar dikota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra –yang suka menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengannya– mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/bolehnya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/samar.
Ulama tunanetra yang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat, langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu –setelah didamprat habis-habisan– dengan tenang memberi komentar: ‘Kalau saya tidak boleh takwil, maka andaakan buta di akhirat’. Ulama tunanetra itu bertanya: ‘Mengapa anda mengatakan demikian?’. Dijawab: Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt. berfirman: ’Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar’. Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra). Karenanya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas –menurut mereka– diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa!
Kami mengutip berikut ini beberapa ayat Ilahi yang mutasyabihat (kalimat perumpamaan atau kalimat samar) dalam menerangkan keadaan diri-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya:
Dalam surat all-Araf 54: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber semayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang meng- ikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.
Dalam surat An-Nur: 35 : “ … Allah adalah cahaya langit dan bumi”.
Dalam surat As-Shaad 75 : “ ...hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku “.
Dalam surat Al-Fushilat 12 : ”maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari…”.
Dalam surat Al-Baqarah 186 : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat …”.
Dalam surat Qaaf 16 : “..dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” .
Dalam surat Al-Fushilat 5 : “ .. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha meliputi segala sesuatu “.
Dalam surat Al-Baqarah 115 : “.. kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah ..“ dan juga masih ada firman-friman Allah lainnya yang mutasyabihaat.
Dalam surat At-Taubah:67: “…Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka”
Dalam surat As-Sajdah : 14:.” …sungguh kami telah lupa pada kalian..”.
Imam al Baihaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah saw yang artinya:“Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.
Juga telah diketahui setiap muslim bahwa Allah swt sudah qidam/berada sebelum Dia menciptakan semua makhluk-Nya. Kalau ada golongan yang mengatakan bahwa Allah swt bersemayam di Arsy dalam arti sesungguhnya, maka kita bakal bertanya, dimanakah Allah swt. bersemayam sebelum arsy, langit, tempat, ruang, arah, atas, bawah dan sebagainya, diciptakan? Begitu juga kita akan bertanya dimanakah Allah sesudah diciptakannya semua makhluk?
Golongan mujassimah/penjasmanian juga mengatakan, bahwa pada sepertiga malam Allah berada dilangit pertama bukan diatas arsy. Padahal orang semua tahu bahwa waktu itu bergilir setiap saat. Jika di Indonesia tengah malam maka di Amerika adalah siang hari. Kita akan bertanya apakah Allah swt berada dilangit pertama setiap saat?
Telah diketahui bahwa sifat Allah tetap tidak berubah. Sifat Allah tidak sama dengan makhluk. Maka orang yang mengatakan Tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah.
Sifat Salbiyah : Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah, itu ada lima yaitu :
Wahdaniyah/Esa (Allah tidak banyak atau tidak terpecah-pecah yakni ada tuhan yang dilangit, ada tuhan yang di arsy, ada tuhan yang di sorga, ada tuhan yang di baitullah dsb.nya.)
Qidam/Ada sebelum semua makhluq ada (Allah Ada sebelum tempat dan arah ada)
Baqo/Kekal (Allah kekal sedangkan langit akan di gulung/hancurkan)
Mukhalafatu lil hawadtsi/berbeda dgn makhluk (Allah beda makhluk, sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/makhluk)
Qiyamuhu binafsihi /tidak memerlukan apapun ( Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb)
Golongan mujassimah mengatakan “Allah punya tangan tetapi beda dengan tangan Makhluk”. Mereka ini mengatakan akan menerima secara dzahir dan yang dzahir itu berbeda dengan dzahirnya makhluk. Kita ingin bertanya, makna dzahir mana yang mereka katakan “menerima secara dzahir”? Karena kalau kita baca firman Allah swt dan sunnah Rasulallah saw berikut ini:
Allah swt di langit (surat al-mulk), Allah swt diatas arsy (lihat surat ar-Ra’ad), Allah swt menempel/menyatu dengan orang beriman (lihat surat al-baqarah), Allah swt berada di langit pertama (lihat hadits nuzul), Allah swt berada dimana-mana/disemua arah, tanpa tempat (hadits zaman azali) dan masih ada lagi riwayat lainnya. Dengan adanya ayat dan hadits itu, kita tidak bisa menggunakan makna dzahir ayat dan hadits tersebut atau tidak akan bisa menjawabnya dan mudah terjerumus dalam tajsim dan tasybih (penjasmanian dan penyerupaan Allah swt. kepada makhluk, na’udzubillah).
Alqur’an didalam mengungkapkan suatu masalah ada yang konkrit, misalnya hukum waris, hukum syariat mu’amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan kiasan, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat dan sebagainya. Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akhirat, surga, neraka dan lain-lain maka Alqur’an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat. Kurang tepat juga bila dikatakan kalau Allah berada di mana-mana, walau pun difirmankan “….kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita harus menunjuk kearah atas atau ketika kita berdo’a kita menengadahkan tangan keatas sambil dibenak/dipikiran kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada dilangit diatas nun jauh disana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah dilangit atas sana berarti Allah bertempat tinggal di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain dilangit apakah tidak ada Allah –na’udzubillah–.
Hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Allah swt Maha meliputi segala sesuatu. Begitu juga bila Allah swt memerlukan singgasana (’Arsy), seakan-akan Allah setelah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya? Kalau Allah memerlukan singgasana (’Arsy) berarti Allah memerlukan ruangan untuk bertempat tinggal?, na’udzubillah. Alangkah kelirunya bila orang mengartikan/menafsirkan ayat-ayat ilahi yang mutasyabihaat (samar) ini secara hakiki/arti sebenarnya. Mereka mengatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya secara hakiki, dan dikatakan Allah mempunyai wajah –na’udzu billah– dan lain sebagainya.
Dengan adanya riwayat-riwayat demikian, Allah swt. menjadi seorang makhluk– Na’udzubillah– yang mempunyai sifat-sifat hakiki yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Bahwa istilah ‘langit’ bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruhannya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah ‘langit’ digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik.
Sangat jelas bagi kita, bahwa ungkapan-ungkapan mutasyabihat ayat-ayat diatas ini, dimengerti bukan untuk ditafsirkan secara hakiki/arti sebenarnya, tetapi boleh di tafsirkan secara majazi/kiasan atau ditakwil sesuai dengan ke Maha Suci dan ke Maha Agungan-Nya. Bila ayat-ayat diatas ini mempunyai arti yang sebenarnya, maka jelaslah bahwa Allah swt. –na’udzubillah– seperti makhluk-Nya. Yang mana hal ini telah dibantah sendiri oleh Allah swt. dalam firman-firman-Nya:‘ Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syuura [42]:11) ; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam [6] : 103) ; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’. ( QS Ash-Shaffaat : 159) dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.
Banyak para ahli tafsir yang mengartikan makna ayat Allah swt., umpamanya: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi. “, kata Kursi dalam ayat ini berarti Ilmu, jadi ayat ini diartikan sebagai berikut: “Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”. Begitu juga firman-firman Allah swt., seperti: Wajah Allah berarti Dia Allah, Tangan Allah berarti Kekuasaan Allah, Mata Allah berarti Pengawasan Allah dan lain sebagainya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi/kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya, untuk menjauhkan makna dari segi dzahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah. Ini karena dzahir makna nash al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an.
Para sahabat dan ulama ada yang mentafwidh ayat-ayat mutasyabihat, artinya tidak berkomentar apapun, tidak memberikan arti apapun tentangnya. Mereka menyerahkan pe-makna-annya kepada Allah swt.. Artinya para ulama golongan ini tidak mau melibatkan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya itu! Jadi gologan ulama ini tidak memiliki aliran tapi mereka ini tidak berarti menjadi menta’thil (menafikan) dari pensifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabbihah belaka! (baca uraian selanjutnya mengenai nash yang ditakwil).
Marilah kita teliti lagi, berikut ini, beberapa contoh saja dari ayat Al-Qur’an dan hadits yang ditakwil (digeser) dari makna aslinya/dhahirnya tekst dan firman-firman Allah swt. yang mutasyabihat boleh diartikan sesuai dengannya, dengan demikian tidak akan berbenturan dengan firman-firman Allah swt. yang lain. Diantara sahabat besar yang berjalan diatas kaidah takwil adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulallah saw. dan murid utama Imam Ali -karramallahu wajhahu-, yang pernah mendapat do’a Nabi saw. , “Ya Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari).
Telah banyak riwayat yang menukil takwil beliau tentang ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat: يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ
“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.68 [al Qalam]:42)
Ibnu Abbas ra. berkata (ayat itu berarti): “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).” Disini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّةٌ kegentingan
Ta’wil ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”
Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode dan diamalkan para sahabat dan tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini. Ta’wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dan lain-lain.
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat: وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَّ إِنَّا لَمُوْسٍعُوْنَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS.51 [adz Dzâriyât] : 47)
Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamûs al Muhîth dan Tâj al ‘Ârûs,10/417.)
Akan tetapi Ibnu Abbas ra’ mena’wîl arti kata tangan dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ artinya kekuatan. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27.
Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3). Allah swt. berfirman فَاليَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوْا لِقَاءَ يَوْمِهِم هَذَا “Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS.7 [al A’râf];51)
Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat ini yang menyebut (Allah) melupakan kaum kafir dengan ta’wîl ‘menelantarkan/membiarkan’.
Ibnu Jarir berkata: ‘Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, Kami melupakan mereka, Dia berfirman, Kami membiarkan mereka dalam siksa..’ (Tafsir Ibnu Jarir, 8/201). Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang dhahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dan lain-lain.
Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al Qur’an….Mujahid adalah seorang tabi’în agung…Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…
Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat Hadits qudsi: -
“Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] berkata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul ‘Âlamîin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR. Muslim,4/1990, Hadits no.2569)
Apakah boleh kita mengatakan; Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita ( makhluk-Nya)? Bolehkah kita meyakini menurut dhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? Pasti tidak boleh !!
Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan Sakit atau Dia sedang Sakit dia benar-benar telah kafir! Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarkan dhahir tekts dalam hadits itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dhahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus dita’wîl. Demikian pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan ta’wîl kepada kita.
Jadi makna hadits di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut; “Para ulama berkata, ‘disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama berkata tentang maksud engkau akan dapati Aku di sisinya (ialah) engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih Muslim,16/126)
Begitu juga dalam pembuktian bahwa Allah swt. berada/bersemayam di atas langit, kaum Mujassimah antara lain ulama kelompok Wahabi ,Nâshiruddîn al Albani, dalam Mukhtashar al Uluw dan Syeikh as Sabt dalam kitab Ar Rahmân ’Alâ al Asryi Istawâ membawakan beberapa hadits, sebagiannya shahih sanadnya, sementara sebagian lainnya cacat secara kualitas sanadnya (walaupun oleh sebagian ulama madzhab ini dianggap sebagai hadits shahih). Adapun hadits-hadits yang shahih sanadnya tidak jarang mereka salah dalam memaknainya, akibatnya mereka mempercayai kepada syubhat konsep Tajsîm dan Tasybîh. Untuk lebih jelasnya mari kita ikuti istidlâlh/ upaya pengajuan dalil oleh mereka. Sebuah hadits:َ
أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
Artinya: “Tidaklah kalian percaya padaku, padahal aku ini kepercayaan yang dilangit, dimana khabar datang kepadaku pada pagi dan sore hari” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap ayat/hadits yang menyebut kata: مَنْ فِى السَّمَاءuntuk Allah swt. maka yang dimaksud dalam bahasa orang-orang Arab (yang Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka) adalah makna majâzi/kiasan, yaitu berarti keagung an, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material). Seorang pujangga Arab klasik bersyair:
علونا السماءَ مَجْد ُنا وجدودُنا*** و إِنَّا لنبغِي فوق ذلك مظهرا
Artinya: Kami menaiki langit, kejayaan dan moyang kami*** dan kami menginginkan kemenangan di atas itu.
Jelas sekali bahwa yang dimaksud menaiki/meninggi-i langit bukan langit fisik di atas kita itu, akan tetapi langit kemuliaan dan keagungan. Demikianlah yang dimaksud dalam setiap nash yang datang dengan redaksi: مَنْ فِى السَّمَاء (andai ia shahih tentunya). Hal demikian dikarenakan dasar-dasar yang pasti dalam al-Qur’an dan as-Sunnah shahihah yang mengharuskan kita mensucikan Allah swt. dari sifat-sifat hakiki pada makhluk-Nya umpama; bersemayam, bersentuhan dan bertempat di atas langit atau di atas bumi /bertempat pada makhluk-Nya.
Hadits diatas dalam riwayat Bukhari dan Muslim, telah mengalami “olah kata” oleh perawi. Artinya si perawi meriwayatkannya dengan makna saja, ia tidak menghadirkan redaksi sebenarnya. Akan tetapi seperti telah kami singgung, kaum Mujassimah (golongan yang menjasmanikan Allah) lebih cenderung membuka mata mereka kearah hadits di atas ketimbang membuka mata mereka terhadap riwayat lain dari hadits yang juga diriwayatkan Imam Bukhari. Coba perhatikan, dalam Shahih
Bukhari dan Muslim terdapat banyak redaksi periwayatan hadits di atas yang tersebar di beberapa tempat, akan tetapi tidak memuat kata: مَنْ فِى السَّمَاء yang tentunya tidak akan membantu kaum Mujassimah, karenanya hadits itu selalu dikesampingkan (tidak pernah mereka gubris). Perhatikan hadits di bawah ini:
فَمن يُطيعُ اللهَ إذا عصيْتُهُ، فَيَأْمَنُنِي على أهلِ الأرضِ ولا تَأْمَنُونِى؟!
Artinya: “Siapakah yang mena’ati Allah jika aku (Nabi saw.) menentangnya?! Dia (Allah) mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi sedangkan kalian tidak
mempercayaiku?!”
Coba perhatikan redaksi hadits di atas, kemudian bandingkan dengan redaksi hadits sebelumnya yang juga diriwayatkan Bukhari!
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqallani mengomentari hadits tersebut dengan kata-katanya, “Nanti akan dibicarakan makna sabda (kata-kata): مَنْ فِى السَّمَاء pada Kitab at-Tauhid.
Kemudian seperti beliau janjikan, beliau menguraikan makna kata tersebut:
“Al-Kirmani berkata, ‘Sabda: مَنْ فِى السَّمَاءmakna dzahir-nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian Dzat dan sifat-Nya.’ Dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab/ menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.” (Fathu al Bâri,28/193)
Andai seorang mau merenungkan dan meresapi keterangan di atas pasti ia akan selamat dari syubhat kaum Mujassimah dan pemuja riwayat yang mutasyabihat yakni golongan al-hasyawiyah. Jadi para ulama telah mengartikan/memaknai hadits-hadits yang memuat redaksi, yang mengesankan keberadaan Allah swt. disebuah tempat dengan pemaknaan yang sesuai dengan Kemaha Sucian dan Kemaha Agungan Allah swt.. Akan tetapi golongan Mujassimah dan mereka yang tertipu oleh syubhat kaum Mujasimah ini lebih tertarik mengemukakan hadits-hadits dengan redaksi yang mendukung konsep dan pandangan Tajsîm yang mereka yakini, walaupun mereka enggan disebut sebagai Pewaris Madzhab Mujassimah.
Disamping yang telah dikemukakan tadi, masih banyak lagi hadits Shifat yang tidak tercantum disini, yang ditakwil maknanya oleh para pakar hadits (antara lain Imam Bukhori, Muslim dan lainnya) sesuai dengan sifat Kemaha-Sucian dan Kemaha-Agungan Allah swt. Umpama lagi kata, و جاء رَبُّكَ arti secara bahasa; ‘Dan datanglah Tuhamu’ ,tapi ditakwil oleh para pakar hadits ialah: جاء ثوابُهُ artinya: ‘Datang pahala-Nya’. Dan kata الضحك atau يَضْحَكُ artinya secara bahasa tertawa tapi ditakwil oleh para pakar berarti Rahmat dan ada lagi yang mengartikan kerelaan dan kebaikan balasan. Tertawa yang dialami manusia misalnya adalah dengan membuka mulut, dan tentu nya makna ini mustahil disamakan maknanya atas Allah swt..
Seorang ulama dari kelompok wahabi ,Syeik Al-Albani, mengeritik keras sampai berani mengeluarkan Imam Bukhori dari seorang muslim yang beriman, karena Imam Bukhori ra. telah menafsirkan ayat Ilahi (al-Qashash: 88) yang artinya; ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya’ dengan 'Segala sesuatu akan binasa kecuali Kekuasaa-Nya’. Kata Wajah-Nya pada ayat itu ditakwil oleh imam Bukhori dengan makna Kekuasaan-Nya. Al-Albani berkata: “Ini (takwilan Imam bukhori diatas itu) sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman”.(Fatawa Al-Albani hal.523).
Nah kalau kita baca, bukankah banyak para pakar Islam memalingkan kata-kata yang dzahirnya menunjukkan tajsim dengan memaknai yang sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt.? Dengan menafsirkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt, maka tidak akan berlawanan dengan firman-firman Ilahi yang telah dikemukakan, (QS. Asy-Syuura [42]:11; QS Al-An’aam [6] : 103; QS Ash-Shaffaat [37] : 159) atau ayat-ayat lainnya yang serupa. Untuk lebih lengkapnya bacalah kitab Daf’u Syubahi At Tasybih bi Akuffi At-Tanzih karya Ibnu al-Jauzi, seorang ulama bermadzhab Imam Ahmad bin Hanbal, disana semua syubhat yang selama ini menghinggap dalam pikiran sebagian golongan muslimin, insya Allah tersingkap…. atau paling tidak mereka mengetahui dalil-dalil para ulama yang menentang aliran Mujassimah.
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat”, beliau juga mengatakan, “Saya tidak menemukan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat”, disertai dengan pengakuannya bahwa beliau telah merujuk seratus kitab tafsir. Tetapi nyatanya ada kalangan salaf yang berbeda pendapat! Disamping contoh yang telah dikemukakan diatas, kita ambil contoh riwayat Ath-Thabari berikut ini, yang mana Ibnu Taimiyyah mengenai kitab tafsir Ath-Thabari mengatakan sebagai berikut, “Didalamnya tidak terdapat bid’ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi tertuduh.” (Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51).
Ketika kita merujuk kepada ayat kursi –yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana yang beliau katakan didalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal 322–, Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi”. Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.’ Adapun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya’ Bukankah kita melihat didalam firman-Nya, ‘Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya’”(Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7).
Berikut ini contoh yang kedua –yang masih berasal dari kitab tafsir Ath-Thabari– yaitu pada saat menafsirkan firman Allah swt. yang berbunyi, “Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar”, Ath-Thabari berkata, “ Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.’ Sebagian mereka berpendapat, ‘Artinya ialah, ‘Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.’ Mereka menolak makna ‘Dia Mahatinggi dari segi tempat.’ Mereka mengatakan, ‘Dia tidak ada di suatu tempat’. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah swt. ada disebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain’”. (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9).
Demikianlah pendapat kalangan salaf, yang tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah swt., sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah swt., didalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala beliau sampai kepada firman Allah swt. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah swt. bersemayam di atas ‘Arsy’ “, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Dia berada diatas langit”(Yang beliau maksud adalah ‘Tempat’. red.) . (Al-’Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang merupakan kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 - 332).
Adapun didalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah –yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap juga sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya– disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Ath-Thabari didalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu ‘Athiyyah memberikan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Ath-Thabari, yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, “Ini adalah perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim, wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya.” (Faidh al-Qadir, asy-Syaukani.) Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya’ (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. ar-Rahman: 27), dimana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah swt. dalam arti yang sesungguhnya.
Ath-Thabari berkata, “Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, ‘kecuali wajah-Nya’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka; ‘Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.’” (Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal. 82). Al-Baghawai berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ ialah ‘kecuali Dia’.
Ada juga yang mengatakan, ‘kecuali kekuasaan-Nya’”. Abul ‘lyalah berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” (Tafsir al-Baghawi).
Didalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, “Artinya ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’ “. Dari Mujahid yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya.’”
Dari Sufyan yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh’ “.
Catatan: Para tokoh ulama Wahabiyah –seperti Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu– tidak meragukan sedikitpun keagungan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh ahli tafsir generasi tabi’în (Fathu al Majîd Syarah KItab at Tauhîd:405).. Ketika menyebut Mujahid misalnya, Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh berkata: Mujahid adalah Syeikh, tokoh ahli tafsir, seorang Imam Rabbani, nama lengkapnya Mujahid ibn Jabr al Makki maula Bani Makhzûm. Fadhl ibn Maimûn berkata, ‘Aku mendengar Mujahid berkata, ‘Aku sodorkan mush-haf kepada Ibnu Abbas beberapa kali, aku berhenti pada setiap ayat, aku tanyakan kepadanya; tentang apa Dia (Allah) turun? Bagaimana Dia turun? Apa maknanya?. Ia (Mujahid) wafat tahun 102H pada usia 83 tahun, semoga Allah merahmatinya. Ibnu Abdil Wahhab sendiri telah berhujjah dan mengandalkannya dalam banyak masalah dalam kitab at-Tauhid-nya.
Dengan demikian ke-salaf-an mereka tidak diragukan bahkan diakui oleh golongan Wahabiyah sendiri! Jadi sekali lagi jelaslah bahwa metode takwîl telah dilakukan oleh para salaf. Dan diatas methode inilah para ulama, seperti Imam al-Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jadi jika ada yang menuduh sikap mentakwil adalah sikap menyimpang dan berjalan diatas kesesatan faham Jahmiyah, dan ber-ilhad (secara bahasa berarti membelokkan/memiringkan) dalam ayat-ayat dan asmâ Allah sebagaimana yang dituduhkan kaum Wahabi –seperti Ibnu Utsaimin (Syarah Aqidah al Washithiyah: 58-63) dan kawan-kawannya– maka ia benar-benar dalam kekeliru- an yang nyata!
Berdasarkan kaidah yang ditegakkan diatas pondasi Al Qur’an dan Sunnah yang telah dikemukakan, para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahidin diatas methode inilah mereka berjalan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan Shifat. Masih banyak lagi pendapat para ulama baik yang mentakwil maupun yang tidak mentakwil ayat-ayat atau hadits-hadits shifat itu yang tidak tercantum disini. Ulama yang tidak mentakwil hanya menyebutkan apa adanya tekts saja –yaitu menurut bacaannya saja– mereka menyerahkan kepada Allah swt. pe-makna-annya.
Oleh karena itu –para ulama sezaman dengan Ibnu Taimiyyah– tidak tinggal diam atas perkataan-perkataan IbnuTaimiyah (yang menyifati Allah swt secara hakiki). Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk menjauhinya. Dikarenakan keyakinan-keyakinan tajsim dan tasybih itu, akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis didalam penjara, dan kemudian beliau meninggal dunia didalam penjara dikota Damaskus.
Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinan beliau ini. Umpamanya, Adz-Dzahabi ,seorang ulama abad ke-8H/14M dan sezaman dengan Ibnu Taimiyah, telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman dan nasehat terhadapnya atas keyakinan-keyakinan yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi tersebut cukup panjang, yang mana ‘Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari, hal.190.
Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak masalah adz-Dzahabi mengikuti paham ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun beliau sadar bahwa ia sendiri dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan paham-paham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Imam adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kekeliruan gurunya sendiri. Kami menukil ,berikut ini, sebagian surat adz-Dzahabi untuk Ibn Taimiyah dalam Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab dan an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah :
Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah. Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm (risalah pertama), adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang ditujukan kepada ibn Taimiyah yang artinya sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab jilid. 2, halaman. 9, pent..]:
kata-kata di alqur’an dan hadits wajah Allah, tangan Allah dan seterusnya harus diartikan juga sebagai wajah dan tangan Allah secara sesungguhnya, tetapi kita tidak boleh membayangkan-Nya atau bertanya tentangnya. Sebagaimana yang telah kami kemukakan yaitu pengalaman seorang pelajar dikota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra –yang suka menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengannya– mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/bolehnya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/samar.
Ulama tunanetra yang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat, langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu –setelah didamprat habis-habisan– dengan tenang memberi komentar: ‘Kalau saya tidak boleh takwil, maka andaakan buta di akhirat’. Ulama tunanetra itu bertanya: ‘Mengapa anda mengatakan demikian?’. Dijawab: Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt. berfirman: ’Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar’. Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra). Karenanya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas –menurut mereka– diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa!
Kami mengutip berikut ini beberapa ayat Ilahi yang mutasyabihat (kalimat perumpamaan atau kalimat samar) dalam menerangkan keadaan diri-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya:
Dalam surat all-Araf 54: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber semayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang meng- ikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.
Dalam surat An-Nur: 35 : “ … Allah adalah cahaya langit dan bumi”.
Dalam surat As-Shaad 75 : “ ...hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku “.
Dalam surat Al-Fushilat 12 : ”maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari…”.
Dalam surat Al-Baqarah 186 : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat …”.
Dalam surat Qaaf 16 : “..dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” .
Dalam surat Al-Fushilat 5 : “ .. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha meliputi segala sesuatu “.
Dalam surat Al-Baqarah 115 : “.. kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah ..“ dan juga masih ada firman-friman Allah lainnya yang mutasyabihaat.
Dalam surat At-Taubah:67: “…Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka”
Dalam surat As-Sajdah : 14:.” …sungguh kami telah lupa pada kalian..”.
Imam al Baihaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah saw yang artinya:“Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.
Juga telah diketahui setiap muslim bahwa Allah swt sudah qidam/berada sebelum Dia menciptakan semua makhluk-Nya. Kalau ada golongan yang mengatakan bahwa Allah swt bersemayam di Arsy dalam arti sesungguhnya, maka kita bakal bertanya, dimanakah Allah swt. bersemayam sebelum arsy, langit, tempat, ruang, arah, atas, bawah dan sebagainya, diciptakan? Begitu juga kita akan bertanya dimanakah Allah sesudah diciptakannya semua makhluk?
Golongan mujassimah/penjasmanian juga mengatakan, bahwa pada sepertiga malam Allah berada dilangit pertama bukan diatas arsy. Padahal orang semua tahu bahwa waktu itu bergilir setiap saat. Jika di Indonesia tengah malam maka di Amerika adalah siang hari. Kita akan bertanya apakah Allah swt berada dilangit pertama setiap saat?
Telah diketahui bahwa sifat Allah tetap tidak berubah. Sifat Allah tidak sama dengan makhluk. Maka orang yang mengatakan Tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah.
Sifat Salbiyah : Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah, itu ada lima yaitu :
Wahdaniyah/Esa (Allah tidak banyak atau tidak terpecah-pecah yakni ada tuhan yang dilangit, ada tuhan yang di arsy, ada tuhan yang di sorga, ada tuhan yang di baitullah dsb.nya.)
Qidam/Ada sebelum semua makhluq ada (Allah Ada sebelum tempat dan arah ada)
Baqo/Kekal (Allah kekal sedangkan langit akan di gulung/hancurkan)
Mukhalafatu lil hawadtsi/berbeda dgn makhluk (Allah beda makhluk, sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/makhluk)
Qiyamuhu binafsihi /tidak memerlukan apapun ( Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb)
Golongan mujassimah mengatakan “Allah punya tangan tetapi beda dengan tangan Makhluk”. Mereka ini mengatakan akan menerima secara dzahir dan yang dzahir itu berbeda dengan dzahirnya makhluk. Kita ingin bertanya, makna dzahir mana yang mereka katakan “menerima secara dzahir”? Karena kalau kita baca firman Allah swt dan sunnah Rasulallah saw berikut ini:
Allah swt di langit (surat al-mulk), Allah swt diatas arsy (lihat surat ar-Ra’ad), Allah swt menempel/menyatu dengan orang beriman (lihat surat al-baqarah), Allah swt berada di langit pertama (lihat hadits nuzul), Allah swt berada dimana-mana/disemua arah, tanpa tempat (hadits zaman azali) dan masih ada lagi riwayat lainnya. Dengan adanya ayat dan hadits itu, kita tidak bisa menggunakan makna dzahir ayat dan hadits tersebut atau tidak akan bisa menjawabnya dan mudah terjerumus dalam tajsim dan tasybih (penjasmanian dan penyerupaan Allah swt. kepada makhluk, na’udzubillah).
Alqur’an didalam mengungkapkan suatu masalah ada yang konkrit, misalnya hukum waris, hukum syariat mu’amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan kiasan, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat dan sebagainya. Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akhirat, surga, neraka dan lain-lain maka Alqur’an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat. Kurang tepat juga bila dikatakan kalau Allah berada di mana-mana, walau pun difirmankan “….kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita harus menunjuk kearah atas atau ketika kita berdo’a kita menengadahkan tangan keatas sambil dibenak/dipikiran kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada dilangit diatas nun jauh disana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah dilangit atas sana berarti Allah bertempat tinggal di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain dilangit apakah tidak ada Allah –na’udzubillah–.
Hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Allah swt Maha meliputi segala sesuatu. Begitu juga bila Allah swt memerlukan singgasana (’Arsy), seakan-akan Allah setelah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya? Kalau Allah memerlukan singgasana (’Arsy) berarti Allah memerlukan ruangan untuk bertempat tinggal?, na’udzubillah. Alangkah kelirunya bila orang mengartikan/menafsirkan ayat-ayat ilahi yang mutasyabihaat (samar) ini secara hakiki/arti sebenarnya. Mereka mengatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya secara hakiki, dan dikatakan Allah mempunyai wajah –na’udzu billah– dan lain sebagainya.
Dengan adanya riwayat-riwayat demikian, Allah swt. menjadi seorang makhluk– Na’udzubillah– yang mempunyai sifat-sifat hakiki yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Bahwa istilah ‘langit’ bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruhannya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah ‘langit’ digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik.
Sangat jelas bagi kita, bahwa ungkapan-ungkapan mutasyabihat ayat-ayat diatas ini, dimengerti bukan untuk ditafsirkan secara hakiki/arti sebenarnya, tetapi boleh di tafsirkan secara majazi/kiasan atau ditakwil sesuai dengan ke Maha Suci dan ke Maha Agungan-Nya. Bila ayat-ayat diatas ini mempunyai arti yang sebenarnya, maka jelaslah bahwa Allah swt. –na’udzubillah– seperti makhluk-Nya. Yang mana hal ini telah dibantah sendiri oleh Allah swt. dalam firman-firman-Nya:‘ Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya’ (QS Asy-Syuura [42]:11) ; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam [6] : 103) ; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’. ( QS Ash-Shaffaat : 159) dan ayat-ayat lain yang serupa maknanya.
Banyak para ahli tafsir yang mengartikan makna ayat Allah swt., umpamanya: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi. “, kata Kursi dalam ayat ini berarti Ilmu, jadi ayat ini diartikan sebagai berikut: “Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”. Begitu juga firman-firman Allah swt., seperti: Wajah Allah berarti Dia Allah, Tangan Allah berarti Kekuasaan Allah, Mata Allah berarti Pengawasan Allah dan lain sebagainya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi/kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengan ke Maha Sucian dan ke Maha Agungan-Nya, untuk menjauhkan makna dari segi dzahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah. Ini karena dzahir makna nash al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an.
Para sahabat dan ulama ada yang mentafwidh ayat-ayat mutasyabihat, artinya tidak berkomentar apapun, tidak memberikan arti apapun tentangnya. Mereka menyerahkan pe-makna-annya kepada Allah swt.. Artinya para ulama golongan ini tidak mau melibatkan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya itu! Jadi gologan ulama ini tidak memiliki aliran tapi mereka ini tidak berarti menjadi menta’thil (menafikan) dari pensifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabbihah belaka! (baca uraian selanjutnya mengenai nash yang ditakwil).
Marilah kita teliti lagi, berikut ini, beberapa contoh saja dari ayat Al-Qur’an dan hadits yang ditakwil (digeser) dari makna aslinya/dhahirnya tekst dan firman-firman Allah swt. yang mutasyabihat boleh diartikan sesuai dengannya, dengan demikian tidak akan berbenturan dengan firman-firman Allah swt. yang lain. Diantara sahabat besar yang berjalan diatas kaidah takwil adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulallah saw. dan murid utama Imam Ali -karramallahu wajhahu-, yang pernah mendapat do’a Nabi saw. , “Ya Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari).
Telah banyak riwayat yang menukil takwil beliau tentang ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat: يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ
“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.68 [al Qalam]:42)
Ibnu Abbas ra. berkata (ayat itu berarti): “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).” Disini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّةٌ kegentingan
Ta’wil ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”
Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode dan diamalkan para sahabat dan tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini. Ta’wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dan lain-lain.
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat: وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَّ إِنَّا لَمُوْسٍعُوْنَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS.51 [adz Dzâriyât] : 47)
Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamûs al Muhîth dan Tâj al ‘Ârûs,10/417.)
Akan tetapi Ibnu Abbas ra’ mena’wîl arti kata tangan dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ artinya kekuatan. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27.
Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3). Allah swt. berfirman فَاليَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوْا لِقَاءَ يَوْمِهِم هَذَا “Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS.7 [al A’râf];51)
Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat ini yang menyebut (Allah) melupakan kaum kafir dengan ta’wîl ‘menelantarkan/membiarkan’.
Ibnu Jarir berkata: ‘Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, Kami melupakan mereka, Dia berfirman, Kami membiarkan mereka dalam siksa..’ (Tafsir Ibnu Jarir, 8/201). Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang dhahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dan lain-lain.
Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al Qur’an….Mujahid adalah seorang tabi’în agung…Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…
Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat Hadits qudsi: -
“Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] berkata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul ‘Âlamîin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR. Muslim,4/1990, Hadits no.2569)
Apakah boleh kita mengatakan; Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita ( makhluk-Nya)? Bolehkah kita meyakini menurut dhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? Pasti tidak boleh !!
Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan Sakit atau Dia sedang Sakit dia benar-benar telah kafir! Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarkan dhahir tekts dalam hadits itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dhahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus dita’wîl. Demikian pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan ta’wîl kepada kita.
Jadi makna hadits di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut; “Para ulama berkata, ‘disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama berkata tentang maksud engkau akan dapati Aku di sisinya (ialah) engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih Muslim,16/126)
Begitu juga dalam pembuktian bahwa Allah swt. berada/bersemayam di atas langit, kaum Mujassimah antara lain ulama kelompok Wahabi ,Nâshiruddîn al Albani, dalam Mukhtashar al Uluw dan Syeikh as Sabt dalam kitab Ar Rahmân ’Alâ al Asryi Istawâ membawakan beberapa hadits, sebagiannya shahih sanadnya, sementara sebagian lainnya cacat secara kualitas sanadnya (walaupun oleh sebagian ulama madzhab ini dianggap sebagai hadits shahih). Adapun hadits-hadits yang shahih sanadnya tidak jarang mereka salah dalam memaknainya, akibatnya mereka mempercayai kepada syubhat konsep Tajsîm dan Tasybîh. Untuk lebih jelasnya mari kita ikuti istidlâlh/ upaya pengajuan dalil oleh mereka. Sebuah hadits:َ
أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
Artinya: “Tidaklah kalian percaya padaku, padahal aku ini kepercayaan yang dilangit, dimana khabar datang kepadaku pada pagi dan sore hari” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap ayat/hadits yang menyebut kata: مَنْ فِى السَّمَاءuntuk Allah swt. maka yang dimaksud dalam bahasa orang-orang Arab (yang Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka) adalah makna majâzi/kiasan, yaitu berarti keagung an, kemuliaan dan ketinggian maknawi, bukan ketinggian hissi (material). Seorang pujangga Arab klasik bersyair:
علونا السماءَ مَجْد ُنا وجدودُنا*** و إِنَّا لنبغِي فوق ذلك مظهرا
Artinya: Kami menaiki langit, kejayaan dan moyang kami*** dan kami menginginkan kemenangan di atas itu.
Jelas sekali bahwa yang dimaksud menaiki/meninggi-i langit bukan langit fisik di atas kita itu, akan tetapi langit kemuliaan dan keagungan. Demikianlah yang dimaksud dalam setiap nash yang datang dengan redaksi: مَنْ فِى السَّمَاء (andai ia shahih tentunya). Hal demikian dikarenakan dasar-dasar yang pasti dalam al-Qur’an dan as-Sunnah shahihah yang mengharuskan kita mensucikan Allah swt. dari sifat-sifat hakiki pada makhluk-Nya umpama; bersemayam, bersentuhan dan bertempat di atas langit atau di atas bumi /bertempat pada makhluk-Nya.
Hadits diatas dalam riwayat Bukhari dan Muslim, telah mengalami “olah kata” oleh perawi. Artinya si perawi meriwayatkannya dengan makna saja, ia tidak menghadirkan redaksi sebenarnya. Akan tetapi seperti telah kami singgung, kaum Mujassimah (golongan yang menjasmanikan Allah) lebih cenderung membuka mata mereka kearah hadits di atas ketimbang membuka mata mereka terhadap riwayat lain dari hadits yang juga diriwayatkan Imam Bukhari. Coba perhatikan, dalam Shahih
Bukhari dan Muslim terdapat banyak redaksi periwayatan hadits di atas yang tersebar di beberapa tempat, akan tetapi tidak memuat kata: مَنْ فِى السَّمَاء yang tentunya tidak akan membantu kaum Mujassimah, karenanya hadits itu selalu dikesampingkan (tidak pernah mereka gubris). Perhatikan hadits di bawah ini:
فَمن يُطيعُ اللهَ إذا عصيْتُهُ، فَيَأْمَنُنِي على أهلِ الأرضِ ولا تَأْمَنُونِى؟!
Artinya: “Siapakah yang mena’ati Allah jika aku (Nabi saw.) menentangnya?! Dia (Allah) mempercayaiku untuk mengurus penduduk bumi sedangkan kalian tidak
mempercayaiku?!”
Coba perhatikan redaksi hadits di atas, kemudian bandingkan dengan redaksi hadits sebelumnya yang juga diriwayatkan Bukhari!
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqallani mengomentari hadits tersebut dengan kata-katanya, “Nanti akan dibicarakan makna sabda (kata-kata): مَنْ فِى السَّمَاء pada Kitab at-Tauhid.
Kemudian seperti beliau janjikan, beliau menguraikan makna kata tersebut:
“Al-Kirmani berkata, ‘Sabda: مَنْ فِى السَّمَاءmakna dzahir-nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian Dzat dan sifat-Nya.’ Dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab/ menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.” (Fathu al Bâri,28/193)
Andai seorang mau merenungkan dan meresapi keterangan di atas pasti ia akan selamat dari syubhat kaum Mujassimah dan pemuja riwayat yang mutasyabihat yakni golongan al-hasyawiyah. Jadi para ulama telah mengartikan/memaknai hadits-hadits yang memuat redaksi, yang mengesankan keberadaan Allah swt. disebuah tempat dengan pemaknaan yang sesuai dengan Kemaha Sucian dan Kemaha Agungan Allah swt.. Akan tetapi golongan Mujassimah dan mereka yang tertipu oleh syubhat kaum Mujasimah ini lebih tertarik mengemukakan hadits-hadits dengan redaksi yang mendukung konsep dan pandangan Tajsîm yang mereka yakini, walaupun mereka enggan disebut sebagai Pewaris Madzhab Mujassimah.
Disamping yang telah dikemukakan tadi, masih banyak lagi hadits Shifat yang tidak tercantum disini, yang ditakwil maknanya oleh para pakar hadits (antara lain Imam Bukhori, Muslim dan lainnya) sesuai dengan sifat Kemaha-Sucian dan Kemaha-Agungan Allah swt. Umpama lagi kata, و جاء رَبُّكَ arti secara bahasa; ‘Dan datanglah Tuhamu’ ,tapi ditakwil oleh para pakar hadits ialah: جاء ثوابُهُ artinya: ‘Datang pahala-Nya’. Dan kata الضحك atau يَضْحَكُ artinya secara bahasa tertawa tapi ditakwil oleh para pakar berarti Rahmat dan ada lagi yang mengartikan kerelaan dan kebaikan balasan. Tertawa yang dialami manusia misalnya adalah dengan membuka mulut, dan tentu nya makna ini mustahil disamakan maknanya atas Allah swt..
Seorang ulama dari kelompok wahabi ,Syeik Al-Albani, mengeritik keras sampai berani mengeluarkan Imam Bukhori dari seorang muslim yang beriman, karena Imam Bukhori ra. telah menafsirkan ayat Ilahi (al-Qashash: 88) yang artinya; ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya’ dengan 'Segala sesuatu akan binasa kecuali Kekuasaa-Nya’. Kata Wajah-Nya pada ayat itu ditakwil oleh imam Bukhori dengan makna Kekuasaan-Nya. Al-Albani berkata: “Ini (takwilan Imam bukhori diatas itu) sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman”.(Fatawa Al-Albani hal.523).
Nah kalau kita baca, bukankah banyak para pakar Islam memalingkan kata-kata yang dzahirnya menunjukkan tajsim dengan memaknai yang sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt.? Dengan menafsirkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah swt, maka tidak akan berlawanan dengan firman-firman Ilahi yang telah dikemukakan, (QS. Asy-Syuura [42]:11; QS Al-An’aam [6] : 103; QS Ash-Shaffaat [37] : 159) atau ayat-ayat lainnya yang serupa. Untuk lebih lengkapnya bacalah kitab Daf’u Syubahi At Tasybih bi Akuffi At-Tanzih karya Ibnu al-Jauzi, seorang ulama bermadzhab Imam Ahmad bin Hanbal, disana semua syubhat yang selama ini menghinggap dalam pikiran sebagian golongan muslimin, insya Allah tersingkap…. atau paling tidak mereka mengetahui dalil-dalil para ulama yang menentang aliran Mujassimah.
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat”, beliau juga mengatakan, “Saya tidak menemukan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat”, disertai dengan pengakuannya bahwa beliau telah merujuk seratus kitab tafsir. Tetapi nyatanya ada kalangan salaf yang berbeda pendapat! Disamping contoh yang telah dikemukakan diatas, kita ambil contoh riwayat Ath-Thabari berikut ini, yang mana Ibnu Taimiyyah mengenai kitab tafsir Ath-Thabari mengatakan sebagai berikut, “Didalamnya tidak terdapat bid’ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi tertuduh.” (Al-Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, hal 51).
Ketika kita merujuk kepada ayat kursi –yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana yang beliau katakan didalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal 322–, Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi”. Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.’ Adapun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya’ Bukankah kita melihat didalam firman-Nya, ‘Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya’”(Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7).
Berikut ini contoh yang kedua –yang masih berasal dari kitab tafsir Ath-Thabari– yaitu pada saat menafsirkan firman Allah swt. yang berbunyi, “Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar”, Ath-Thabari berkata, “ Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.’ Sebagian mereka berpendapat, ‘Artinya ialah, ‘Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.’ Mereka menolak makna ‘Dia Mahatinggi dari segi tempat.’ Mereka mengatakan, ‘Dia tidak ada di suatu tempat’. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah swt. ada disebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain’”. (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 9).
Demikianlah pendapat kalangan salaf, yang tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah swt., sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah swt., didalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala beliau sampai kepada firman Allah swt. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah swt. bersemayam di atas ‘Arsy’ “, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Dia berada diatas langit”(Yang beliau maksud adalah ‘Tempat’. red.) . (Al-’Aqidah al-Hamawiyyah al-Kubra, yang merupakan kumpulan surat-surat Ibnu Taimiyyah, hal 329 - 332).
Adapun didalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah –yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap juga sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya– disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Ath-Thabari didalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu ‘Athiyyah memberikan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Ath-Thabari, yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, “Ini adalah perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim, wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya.” (Faidh al-Qadir, asy-Syaukani.) Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya’ (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah swt. yang berbunyi, ‘Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. ar-Rahman: 27), dimana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah swt. dalam arti yang sesungguhnya.
Ath-Thabari berkata, “Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, ‘kecuali wajah-Nya’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka; ‘Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.’” (Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal. 82). Al-Baghawai berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ ialah ‘kecuali Dia’.
Ada juga yang mengatakan, ‘kecuali kekuasaan-Nya’”. Abul ‘lyalah berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” (Tafsir al-Baghawi).
Didalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, “Artinya ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’ “. Dari Mujahid yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya.’”
Dari Sufyan yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh’ “.
Catatan: Para tokoh ulama Wahabiyah –seperti Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu– tidak meragukan sedikitpun keagungan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh ahli tafsir generasi tabi’în (Fathu al Majîd Syarah KItab at Tauhîd:405).. Ketika menyebut Mujahid misalnya, Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh berkata: Mujahid adalah Syeikh, tokoh ahli tafsir, seorang Imam Rabbani, nama lengkapnya Mujahid ibn Jabr al Makki maula Bani Makhzûm. Fadhl ibn Maimûn berkata, ‘Aku mendengar Mujahid berkata, ‘Aku sodorkan mush-haf kepada Ibnu Abbas beberapa kali, aku berhenti pada setiap ayat, aku tanyakan kepadanya; tentang apa Dia (Allah) turun? Bagaimana Dia turun? Apa maknanya?. Ia (Mujahid) wafat tahun 102H pada usia 83 tahun, semoga Allah merahmatinya. Ibnu Abdil Wahhab sendiri telah berhujjah dan mengandalkannya dalam banyak masalah dalam kitab at-Tauhid-nya.
Dengan demikian ke-salaf-an mereka tidak diragukan bahkan diakui oleh golongan Wahabiyah sendiri! Jadi sekali lagi jelaslah bahwa metode takwîl telah dilakukan oleh para salaf. Dan diatas methode inilah para ulama, seperti Imam al-Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jadi jika ada yang menuduh sikap mentakwil adalah sikap menyimpang dan berjalan diatas kesesatan faham Jahmiyah, dan ber-ilhad (secara bahasa berarti membelokkan/memiringkan) dalam ayat-ayat dan asmâ Allah sebagaimana yang dituduhkan kaum Wahabi –seperti Ibnu Utsaimin (Syarah Aqidah al Washithiyah: 58-63) dan kawan-kawannya– maka ia benar-benar dalam kekeliru- an yang nyata!
Berdasarkan kaidah yang ditegakkan diatas pondasi Al Qur’an dan Sunnah yang telah dikemukakan, para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahidin diatas methode inilah mereka berjalan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan Shifat. Masih banyak lagi pendapat para ulama baik yang mentakwil maupun yang tidak mentakwil ayat-ayat atau hadits-hadits shifat itu yang tidak tercantum disini. Ulama yang tidak mentakwil hanya menyebutkan apa adanya tekts saja –yaitu menurut bacaannya saja– mereka menyerahkan kepada Allah swt. pe-makna-annya.
Oleh karena itu –para ulama sezaman dengan Ibnu Taimiyyah– tidak tinggal diam atas perkataan-perkataan IbnuTaimiyah (yang menyifati Allah swt secara hakiki). Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk menjauhinya. Dikarenakan keyakinan-keyakinan tajsim dan tasybih itu, akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis didalam penjara, dan kemudian beliau meninggal dunia didalam penjara dikota Damaskus.
Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinan beliau ini. Umpamanya, Adz-Dzahabi ,seorang ulama abad ke-8H/14M dan sezaman dengan Ibnu Taimiyah, telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman dan nasehat terhadapnya atas keyakinan-keyakinan yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi tersebut cukup panjang, yang mana ‘Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari, hal.190.
Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak masalah adz-Dzahabi mengikuti paham ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun beliau sadar bahwa ia sendiri dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan paham-paham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Imam adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kekeliruan gurunya sendiri. Kami menukil ,berikut ini, sebagian surat adz-Dzahabi untuk Ibn Taimiyah dalam Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab dan an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah :
Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah. Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm (risalah pertama), adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang ditujukan kepada ibn Taimiyah yang artinya sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab jilid. 2, halaman. 9, pent..]:
No comments:
Post a Comment