Batasan dalam mengagungkan dan memuji Habib/Sayyid/Syarif/Saadah



Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad berkata :
“Adapun orang dari keturunan Ahlul bait yang tidak mengikuti jejak para sesepuh mereka yang suci, orang demikian itu telah kerasukan angan-angan yang merusak disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan soal-soal agama. Meski demikian mereka masih tetap harus dihormati, karena tali kekerabatannya dengan Rasulullah SAW. Ia harus diingatkan dan diberi nasehat-nasehat dan didorong agar mau mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama seperti yang dilakukan oleh para sesepuh mereka, banyak berbuat kebajikan, menghayati akhlaq mulia dan berperilaku yang diridhai Allah SWT. Mereka harus diberitahu bahwa merekalah yang paling layak menghayati kehidupan seperti itu dan lebih wajib daripada kaum muslimin lainnya. Mereka harus diberi pengertian sebaik-baiknya, bahwa nasab (keturunan) saja tidak bermanfaat, tidak akan mengangkat derajat orang tanpa dibarengi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT, apalagi jika ia lebih mengutamakan soal-soal keduniaan, mengabaikan ketaatan dan mengotori dirinya sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang menyalahi ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.”
Mengenai hal di atas dalam kitabnya yang berjudul Fushul al-Ilmiyah Wa al-Ushul al-Hikamiyyah, Imam al-Haddad berkata :
“ Siapapun yang mendukung ahlul-bait tidak boleh mengagung-agungkannya dan tidak boleh juga memuji-muji orang yang bodoh (jahil) kendati orang jahil itu berasal dari keturunan mulia (syarif) atau keturunan dari kaum salaf yang saleh. Sebab, mengagung-agungkan dan memuji-muji orang dari ahlul-bait secara berlebih-lebihan menurut kenyataannya akan dapat membuat lengah mereka terhadap agama dan dapat pula membuat mereka merasa bangga. Juga dapat menjauhkan diri dari amal saleh dan membuatnya lalai akan menambah bekal kehidupan akhiratnya. Orang yang mengagung-agungkan dan memuji-muji anggota ahlul-bait hingga tergelincir dalam kebanggaan, sama dengan orang yang berusaha menjerumuskan mereka ke dalam bencana. Jika demikian mereka itu layak menerima murka Allah dan Rasul-Nya, dan dari kaum saleh (salihin) asal keturunan mereka, yang mereka pandang sebagai sumber kemuliaan mereka, khususnya mereka yang jahil (tidak berilmu).”

Berkata Sayiduna al-Imam Umar bin Saqqaf : “Aku berpesan kepadamu, hendaklah kau bergiat melaksanakan perjalanan para salafus sholeh dan ahlul bait Nabi, terlebih-lebih keluarga Abi Alawi, gigitlah ia dengan geraham niscaya kau akan sukses dengan kebaikan dan mendapatkan tambahan yang besar.”

Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata : “Kita ahlul-bait, jika bertawajjuh untuk menuntut asrar, akan berhasil dengan waktu singkat. Yang menyebabkan kita tertinggal adalah karena kita menelantarkan diri kita sendiri, Barang siapa menelantarkan dirinya, ia akan hilang tersesat. Semoga Allah membimbing kita ke jalan para salaf kita yang saleh dan mengembalikan barakah dan asrar mereka kepada kita”. Selanjutnya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata: ‘Barangsiapa tidak mengikuti jalan para leluhurnya, pasti ia akan kecewa dan hilang’.

Maka berdiri tegaklah thariqah mereka dengan sendirinya, sinarnya memancar luas tak perlu diperkenalkan, sebab sudah dikenal oleh kalangan ahli ma’rifat dan tersebarlah segala kitab dan karangan. Begitu pula kepada para salafus saleh, mereka belajar secara langsung dengan penitian dan amalan-amalan. Itulah sebabnya tidak terdapat naskah-naskah tentang ilmu itu hingga muncul pada masa tabi’ tabi’in, disebabkan kekhawatiran akan hilangnya ilmu-ilmu itu. Begitu pula kaum sufi, mereka belajar secara langsung dari seorang guru hingga muncul bid’ah-bid’ah dan penyelewengan ajaran sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah, segera setelah itu dilakukan suatu penulisan dan penjelasan berdasarkan dalil-dalilnya.

"Jika Keluarga Bani Alawi mengikuti manhaj imamiyah yang ada saat ini, maka sesungguhnya yang pertama kali akan membawanya ialah al-Faqih al-Muqaddam. Akan tetapi al-Faqih al-Muqaddam membawa manhaj tasawuf sebagaimana yang dianut oleh ahlu sunnah wal jamaah, yang membawa kemaslahatan agama dan sosial selaras dengan waktu dan tempat, manhaj tersebut adalah thariqah al-syua’ibiyah al-Maghribiyah. Dan ini sesuatu yang mengherankan dimana daerah Yaman pada umumnya telah terdapat thariqah al-Qadiriyah yang tersebar di Aden, Abyan dan Tahaim".

Fatwa Al Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi Shohibul Maulid SimthudDuror mengenai Habib Syiah,
“ Kalau ada seorang ‘Alawi (Habib) tidak berjalan di jalan Orang tua nya, maka dia bukan ‘Alawi, Artinya kalau ada seorang ‘Alawi (Habib) tidak mengikuti Aqidah Ahlus Sunnah maka dia bukan ‘Alawi atau jika ada seorang ‘Alawi, tapi mengikuti Faham Syiah maka dia bukan Habib. Dengan demikian kalau ada seorang ‘Alawi tidak mengikuti Aqidah AhlusSunnah, tapi dia justru mengikuti Faham Syiah Imamiyyah itsna’asyariyyah, maka dia bukan ‘Alawi, dan tepatnya dia adalah “Walad Nuh” anak durhaka yang menolak ajakan orang tua nya. Konsekwensi seorang ‘Alawi yang mengikuti faham Syiah, maka dia telah melepaskan ke ‘Alawiyannya. Dia sendiri yang melepaskan ke’Alawiyannya, dia sendiri Menolak Fadhel Ikhtishos yang Allah berikan. Hal Mana berdasarkan keyakinannya yang menganggap Ahlussunnah dalam kesesatan dan pernikahan secara Ahlussunnah tidak sah, padahal dia lahir dari pernikahan secara Ahlussunnah yang dia yakini tidak sah tersebut, dengan demikian dia sendiri yang menolak sebagai ‘Alawi ( Habib)”. Demikian Fatwa Habib Ali Al-Habsyi tentang Habib Syiah yang di bacakan oleh Habib Anis di acara haulnya Habib Ali al-Habsyi Shohibul Maulid di Kota Solo.

No comments:

Post a Comment

Tentang Saya