Dalam kitabnya Al-Barqah al-Musyiqah, Imam Ali bin Abi Bakar al-Sakran menulis :
“Adapun keturunan Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang datang di Hadramaut serta bertempat tinggal di Tarim, merupakan tempat tinggal yang memberi ketenangan,
mereka adalah orang –orang berdarah mulia yang berbudi pekerti luhur, berkepribadian tinggi, berprilaku santun, berjiwa mulia, bersemangat tinggi, mempunyai tekad yang kuat, dan mempunyai rasa cinta serta kasih sayang mendalam kepada kebajikan, sekaligus orang yang suka kebajikan hingga menghapus dan menafikan diri mereka sendiri, mereka lebih mengutamakan hal itu dan mengorbankan diri mereka untuk kepentingan orang lain sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak. Dengan kata lain, mereka mengabaikan hak mereka sendiri dalam banyak hal, menghilangkan kepentingan pribadi, sebaliknya menegakkan hak-hak orang lain dan tidak mengungkit-ungkitnya agar dianggap banyak berbuat baik.”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata :
“Sesungguhnya Sayid Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir, ketika melihat merajalelanya bid’ah dan rusaknya moral karena mengikuti hawa nafsu, munculnya pertentangan pendapat di Iraq, maka beliau hijrah dari negeri itu, dan mengembara hingga tiba ke negeri Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah memberkati keturunan beliau sehingga banyak dari kalangan mereka yang ahli ilmu, ibadah, wilayah dan ma’rifah. Tidak melibatkan golongan dari ahlu bait dari masalah bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan disebabkan berkah dari Imam yang terpercaya, karena beliau menghindar dengan membawa agama dari kubangan fitnah.”
Berkata Imam al-Haddad :
“Tidak pantas bagi siapapun dari keluarga Abi Alawi untuk menyalahi metode yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, berpaling dari thariqah dan prilaku mereka atau mengikuti orang lain yang menyalahi thariqahnya sendiri, yaitu thariqah dan perilaku keluarga Abi Alawi, karena thariqah mereka telah disyahkan berdasarkan alquran-hadits dan atsar yang disepakati, serta prilaku kaum salaf yang terhormat, karena mereka mewarisi itu dari generasi salaf ke generasi khalaf, dari ayah dan kakeknya hingga sampai kepada Rasulullah saw. Mereka pun mempunyai maqam yang bertingkat mulai dari yang utama, paling utama, sempurna hingga paling sempurna.”
Selanjutnya Imam al-Haddad berkata :
“Sebaiknya dan sudah seyogyanya siapapun dari keluarga Abi Alawi itu mengajak manusia dan mendorongnya pada thariqah yang ia jalani, dan tidak sepatutnya mengabaikan thariqah pendahulunya dan mempunyai pikiran bahwa mereka bukan pada thariqah yang utama. Ya Allah, tidak dijadikan thariqah itu kecuali sebagai jalan mendapatkan keberkahan serta berpegang teguh pada perjalanan para pendahulu dan aqidah mereka. Maka tidak seorang dari keluaga Abi Alawi pun diberi keberkahan jika mereka meninggalkan thariqah pendahulunya dan menempuh selain thariqah mereka.”
Berkata pula Al-Imam al-Haddad : “Dua hal yang merupakan anugerah paling besar yang diberikan kepada keluarga Abi Alawi yaitu Syekh Ahmad bin Isa bersama keluarga Abi Alawi keluarga dari bid’ah dan fitnah, dan al-Faqih al-Muqaddam al-Imam Muhammad bin Ali menyelamatkan keluarga Abi Alawi dari membawa senjata (untuk berperang).
Dan telah dinukil dari perkataan Al-Allamah Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqd al-Yawaqit al-Jauhariyah, tentang sebagian ulama yang menggambarkan thariqah al-Saadah Bani Alawi, berkata :
“Sungguh telah terkumpul nasab keagamaan dan pertalian darah ini dalam bentuk ilmu, amal, keledzatan ibadah, riwayah, dirayah, tahqiq dalam diri keturunan ‘cucu kedua’ –keturunan Imam al-Husein- yang dipuji yaitu keluarga Abi Alawi, yang siapapun masuk dalam thariqah mereka adalah golongan mereka. Dan dikatakan padanya : ‘Sungguh kami telah melindungi siapa yang engkau lindungi hai ummu Hani, Salman dari kita ahlul bait’. Dan semua itu berpusat kepada pengumpul segala hakikat, samudra ilmu dan ma’rifat, Imam Ali bin Abi Thalib ra, dan orang yang terlahir dari dua nasab yang agung dan mempunyai dua arah kemuliaan, Ali bin Husein Zainal Abidin, sungguh wirid yang dilaziminya mencapai seribu rakaat dan lainnya, hingga keistimewaan-keistimewaan yang bersinar dan keagungan yang tinggi itu berakhir pada keluhuran yang mulia ke pusat orang-orang yang bertawajjuh, dan penghubung para kaum ahli hakikat al-Ustadz al-A’dzham, al-Faqih al-Muqaddam -yang menanamkan cahaya thariqah al-Syu’aibiyah[1]- dan yang cahaya-cahaya thariqahnya menembus seluruh Hadramaut, lalu memancarlah cahaya itu dan bergeraklah rahasia-rahasianya pada kaum khawas di berbagai penjuru serta menebarlah keberkahannya kepada para ayah dan ibu.”
Dan jika anda menginginkan penjelasan tentang segala hal mengenai kelompok ini dan thariqahnya seperti hakikat-hakikat, syiar-syiar, pola hidup dan peninggalan mereka maka lihatlah pada kitab al-Masra’, al-Jauhar, al-Iqd al-Nabawi, al-Ghuror, Qurah al-Ain, Bahjah al-Fuad, Syarah al-Ainiyah dan lain-lain sebagaimana yang telah dituturkan dalam bahasan sebelumnya. Mereka dan orang-orang yang menyusul mereka telah mengumpulkan peringkat lahir dan bathin. Mereka adalah seperti rantai jika bergerak seuntai bergerak pula untaian yang lain. Semua mereka ahlu sunnah, bermadzhab Syafi’i, beraqidah Asy’ari.
Maka jika engkau telah mengetahui bahwa thariqah keluarga Abi Alawi, zhahirnya adalah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya adalah penitian maqam dan hal. Adapun adabnya ialah menjaga rahasia dan semangat penuh pengorbanan. Maka zhahir mereka yang apa yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali daripada ilmu dan amal menurut manhaj yang terbimbing. Sedang bathinnya mereka ialah apa yang dijelaskan oleh al-Syadzili tentang penitian hakikat dan pemurnian tauhid.
Dan telah menulis Al-Allamah Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang thariqah al-Saadah Abi Alawi, sebagai berikut :
“Adapun dasar thariqah al-Saadah Abi Alawi adalah thariqah Abi Madyan Syu’aib al-Maghribi, inti dan azas hakikatnya ialah al-Ghauts Syekh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi al-Husaini al-Hadramiy, yang dipelajari secara turun menurun dan diwarisi oleh pembesar-pembesar yang telah mencapai maqam dan hal. Akan tetapi oleh karena thariqahnya penitian, dzauh dan rahasia-rahasia, maka mereka tidak memperkenalkannya dengan menyusun tulisan-tulisan dan buku. Demikianlah generasi pertama berlalu hingga zaman al-Aydrus dan saudaranya syekh Ali. Kemudian begitu dunia makin meluas, jarak makin jauh, yang dekat masih dapat berhubungan dengan mereka berbeda dengan yang jauh, maka mendesak untuk dilakukan pembukuan, penjelasan dan diperkenalkan. Dan alhamdulillah, dada ini merasa lega dan hati menjadi tenang dengan munculnya kitab-kitab al-Kibrit, Juz’u al-Lathif, al-Mi’raj, al-Barqah dan lain-lain yang tak terhitung jumlahnya dan telah tersebar luas.”
Menurut Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad : Thariqah Alawiyin adalah Sirath Allah al-Mustaqiem. Al-Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan mengatakan :
“Sungguh bahwa thariqah Abi Alawi adalah thariqah yang paling lurus dan paling lempang. Perjalanan mereka adalah sebaik perjalanan dan yang paling utama. Bahwa mereka adalah pada jalan yang utama dan lorong yang lurus, dan syarat yang paling jelas, dan jalur yang paling sehat dan tepat. Tidak seyogyanya bagi seorang dari Bani Alawi untuk menentang jalur yang telah berjejak padanya para salafnya. Dan pula ia tidak boleh menyimpang dari perjalanan dan lintasan mereka. Bahkan ia harus mengikuti dan bergelantungan serta menghamparkan jalannya bagi setiap orang yang mengaku melintasi dari para penentang perjalanan dan thariqahnya. Thariqah al-Abi Alawi dan perjalanan mereka adalah thariqah yang telah disaksikan kebenarannya oleh Alquran dan Sunnah serta tilasan-tilasan yang diridhoi ia adalah perjalanan salaf yang mulia.
Al-Saadah al-Abi Alawi diharapkan dapat mengajak manusia agar mereka menjejaki jalan yang telah dilintasi oleh mereka. Tidak dibenarkan untuk mengabaikan thariqah leluhur mereka dan mendaftarkan diri mereka, bahwa mereka tergolong dari thariqah yang paling utama. Ketika datang Syaikh Barakwah ke kota Tarim dan ia bermaksud untuk menghukum dan mendikte para Saadah Alawi tentang cara yang telah dikenal dari perjalanannya. Ia bermimpi melihat Sayiduna al-Faqih al-Muqaddam berkata kepadanya : “Keluarlah kau dari kota ini agar jangan tertipu anak-anakku dengan pekertimu yang menarik itu.”
Telah ditanya Sayiduna al-Habib al-Imam Abdurahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih tentang thariqah al-Saadah al-Abi Alawi, beliau menjawab : “Ketahuilah bahwa thariqah al-Saadah al-Abi Alawi adalah Sabil al-Thoriqah al-Shufiah yang pada dasarnya ialah mengikuti al-Kitab dan al-Sunnah.”
Thariqah al-Saadah al-Abi Alawi yaitu zahirnya adalah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya adalah tahkik maqaamat dan ahwal. Thariqah ini tidak sinis terhadap orang yang datang yang tidak sejalan dengan thariqah yang dianutnya. Thariqah al-Abi Alawi adalah siapa yang memperhatikannya, niscaya ia mengetahui bahwa ia adalah thariqah yang menengah sederhana yang tidak dapat dipungkiri, karena para pimpinannya bersifat tawadhu’, zuhud, wara’, tidak suka terkenal, berhati suci dan berlapang dada.
Para tokoh dan penduduk Yaman mengetahui akan keunggulan thariqah al-Abi Alawi dari thariqah lainnya, baik para ulama, cendekiawan fiqih serta tokoh tasawuf. Berkata al-Imam Ahmad bin Zein al-Habsyi : “Thariqah Saadah al-Abi Alawi, tiada lain adalah ilmu, amal, wara, takut dan ikhlas kepada Allah SWT. Thariqah ini tidak menyimpang seujung kaki semut pun dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Barang siapa yang meninggalkan jalan para habaib yang shalih, menuju kepada jalan lain, ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah”.
Berkata Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan dalam kitabnya al-Futuhat al-Arsyiyah : “Sungguh mereka al-Saadah al-Alawiyin semoga Allah memberi manfaat kepada kita karena mereka dan asrar mereka, mereka tidak memperhatikan dan bergiat serta berijtihad melainkan dengan mentahkik ilmu-ilmu muamalat secara pengetahuan dan praktek serta mengenyampingkan kenikmatan”
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sebagian dari akhlaq kaum Alawiyin adalah bersibuk akan ilmu-ilmu dan menuntutnya serta secara tekun menelaah kitab-kitab mereka. Bergiat untuk memetik hasilnya serta memeriksa cabang dan menjaga ushulnya. Sebagian lainnya menuangkan perhatian bahkan kebanyakan dari mereka berda’wah mengajak hamba Allah untuk berpijak pada jalan yang lurus pada setiap tempat untuk menata amalan mereka. Sebagian mereka menentukan untuk da’wah di beberapa majlis dan berda’wah ke seluruh pelosok desa dan kota dengan disertai akhlaq yang luhur, amalan yang terpuji dan kesabaran yang tinggi untuk menghadapi masyarakat. Banyak dari mereka yang mencurahkan waktunya beri’tikaf di masjid, mengisi dengan ibadah, majlis ilmu, wirid dan lainnya. Sebagian mereka mengumpulkan doa dan dzikir sebagai puncak amalan yang dilaksanakan selama sehari semalam. Sebagian lagi mengadakan pembacaan ratib-ratib, bertahlil bahkan ada yang lebih mengutamakan ber’uzlah dan tidak menyukai untuk menonjolkan diri. Kaum Alawiyin adalah orang kaya karena tidak membutuhkan dan bergantung kepada orang lain. Ia merasa puas dengan dunia yang sedikit dan perbekalan yang amat sederhana. Sayyiduna al-Imam al-Quthub Ali bin Abu Bakar al-Sakran dalam kitabnya al-Barqatul al-Musyiqah menyatakan :
“Adapun keturunan al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa, mereka adalah tokoh mulia yang berbudi pekerti luhur, mempunyai sopan santun yang tinggi serta berjiwa luhur, bertekad tinggi, cerdas, tawadhu’ dan mempunyai naluri serta karakteristik tersendiri. Mereka mempunyai cinta yang kuat dan kasih sayang yang ketat terhadap kebaikan dan orang-orang baik. Mereka mengorbankan diri mereka demi kepentingan orang, sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak. Banyak diantara mereka menjadi tokoh ilmu fiqih dan para ilmuwan serta para imam. Pada mereka ada yang menjadi tokoh ulama/syaikh yang mulia yang diantaranya berkisar para Aqthab, Autad, Abdal, ahli ibadah, para wali. Dan Saadah al-Alawiyin, hati mereka tenggelam dalam lembah cinta kepada Allah SWT, mereka mempunyai kasyaf yang khariqah dan firasat yang benar serta musyahadah untuk sinar asma’ dan sifat Allah, serta cahaya sinar hakekat ma’rifat kelembutan rahasia Dzat Allah. Mereka dapat melacak barzah dan ahlul barzah, mereka pun menikmati kelezatan melihat dan berjumpa dengan Rasulullah, mereka mempunyai kedudukan martabat keguruan yang hakiki terpancang seperti tancapan gunung yang kokoh. Adapun mereka berijtihad secara kully (keseluruhan) di dalam beribadah dengan disertai meninggalkan pekerjaan yang tradisional dan mengabaikan syahwat kelezatan, bila malam tiba mereka tegak di atas kaki, sambil menampilkan wajah mereka dengan aliran air mata. Bilamana berakhir salah seorang dari mereka setelah melipat hamparan tidur menjauhi pergaulan masyarakat awam, melainkan untuk tujuan da’wah dan ta’lim.”
Ketahuilah bahwa kawasan thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah senantiasa menutupi dan tidak mau berlebih-lebihan dan penonjolan diri, kecuali penonjolan yang didasari oleh ilmu dan hidayat. Sebagian thariqah mereka adalah berkunjung kepada teman/handai taulan dan berziarah kepada sahabat, para shalihin yang telah meninggal dunia seperti kuburan salafus sholeh dengan husnuz zhon yang sempurna selama tidak dibarengi oleh hal-hal yang makruh atau haram, menghadiri majlis ilmu, maulid, dzikir dan disertai adab dengan diharamkanya hadir/campur baur dengan lawan jenis.
Berkata Sayiduna al-Imam Thahir bin Husain bin Thahir : “Ini, thariqah salaf al-Alawiyah adalah thariqah yang diridhoi, bersih, lurus, mudah, suci, tidak ada lika likunya dan tidak ada yang mudhorot dan memberi mudhorot, perjalanan mereka masyhur dan sejarah mereka terang berderang.”
Para al-Saadah al-Abi Alawi, mereka selalu menghidupkan mujahadat dalam zaman apa saja. Diantara mereka ada yang seusai shalat tarawih, di dalam shalat dua rakaat (nafilah) membaca Alquran seluruhnya. Banyak dari mereka yang menghindari tidur malam selama lebih dari dua puluh tahun. Ada pula di antara mereka bertahajud, kemudian membaca sepuluh juz Alquran mulai tengah malam hingga subuh. Di antara mereka ada juga yang bertahun-tahun duduk seperti sedang membaca tasyahud sebagai tata krama di hadapan Allah SWT. Ada pula di antara mereka yang membiasakan diri sedikit makan hingga lambung mereka tidak dapat menerima makanan lebih dari sepertiga atau seperempat suap. Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan :
“ Dari kaum Sayyid Bani Alawiy, yang paling rendah ilmunya ialah yang ilmunya tidak dibutuhkan oleh ulama selain mereka. Setiap orang dari mereka hafal akan manaqib (sifat-sifat utama) keluarganya, perilakunya, riwayat hidupnya dan kekeramatannya. Seorang Sayyid Bani Alawiy dalam mengajarkan ilmu dan adab (sastra) lebih banyak menempuh cara lisan (talaqqi) dan mengamalkan ta’addub (sopan santun dan tata krama) dalam praktek, tidak dengan banyak membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah-ceramah …”
Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas berkata :
“ Orang saleh dari kaum Alawiyin zaman dahulu dan orang-orang selain mereka dalam mengajarkan ilmu lebih menitikberatkan pada pendidikan untuk menyelamatkan dada (membersihkan dan meluruskan hati), menanamkan prasangka baik terhadap Allah SWT dan terhadap sesama manusia, hidup zuhud (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi), mendambakan kebahagiaan akhirat, menjaga hak-hak orang lain dan menghormati ilmu, para ulama, para wali serta kaum mukminin dan muslimin. Mereka dididik dan dilatih mengawasi hati mereka sendiri dan menjaga telinga dari segala macam kericuhan yang pernah dialami sebelumnya. Tujuannya adalah agar hati mereka tetap jernih dan bersih, jiwa mereka menjadi tentram dan menggantungkan cita harapan pada kebajikan dan sarana-sarananya …”
Karena pentingnya hal di atas, maka al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata : “Tak seorangpun dari Bani Alawi boleh menyalahi cara-cara yang ditempuh oleh sesepuhnya dahulu, dan tidak boleh juga menyimpang dari jalan hidup dan prilaku mereka…” selanjutnya dikatakan : “Sebab jalan mendekatkan diri kepada Allah (thariqah) yang mereka tempuh dibuktikan dengan kebenarannya oleh Alquran dan Sunnah Rasul saw, dan berbagai riwayat hadis serta sejarah kehidupan kaum salaf. Dan kaum salaf itulah yang secara berantai menerima peninggalan para sesepuhnya, sampai kepada datuk pertama, Muhammad saw. Dalam hal ini masing-masing dari mereka itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri.”
“Adapun keturunan Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang datang di Hadramaut serta bertempat tinggal di Tarim, merupakan tempat tinggal yang memberi ketenangan,
mereka adalah orang –orang berdarah mulia yang berbudi pekerti luhur, berkepribadian tinggi, berprilaku santun, berjiwa mulia, bersemangat tinggi, mempunyai tekad yang kuat, dan mempunyai rasa cinta serta kasih sayang mendalam kepada kebajikan, sekaligus orang yang suka kebajikan hingga menghapus dan menafikan diri mereka sendiri, mereka lebih mengutamakan hal itu dan mengorbankan diri mereka untuk kepentingan orang lain sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak. Dengan kata lain, mereka mengabaikan hak mereka sendiri dalam banyak hal, menghilangkan kepentingan pribadi, sebaliknya menegakkan hak-hak orang lain dan tidak mengungkit-ungkitnya agar dianggap banyak berbuat baik.”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata :
“Sesungguhnya Sayid Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir, ketika melihat merajalelanya bid’ah dan rusaknya moral karena mengikuti hawa nafsu, munculnya pertentangan pendapat di Iraq, maka beliau hijrah dari negeri itu, dan mengembara hingga tiba ke negeri Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah memberkati keturunan beliau sehingga banyak dari kalangan mereka yang ahli ilmu, ibadah, wilayah dan ma’rifah. Tidak melibatkan golongan dari ahlu bait dari masalah bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan disebabkan berkah dari Imam yang terpercaya, karena beliau menghindar dengan membawa agama dari kubangan fitnah.”
Berkata Imam al-Haddad :
“Tidak pantas bagi siapapun dari keluarga Abi Alawi untuk menyalahi metode yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, berpaling dari thariqah dan prilaku mereka atau mengikuti orang lain yang menyalahi thariqahnya sendiri, yaitu thariqah dan perilaku keluarga Abi Alawi, karena thariqah mereka telah disyahkan berdasarkan alquran-hadits dan atsar yang disepakati, serta prilaku kaum salaf yang terhormat, karena mereka mewarisi itu dari generasi salaf ke generasi khalaf, dari ayah dan kakeknya hingga sampai kepada Rasulullah saw. Mereka pun mempunyai maqam yang bertingkat mulai dari yang utama, paling utama, sempurna hingga paling sempurna.”
Selanjutnya Imam al-Haddad berkata :
“Sebaiknya dan sudah seyogyanya siapapun dari keluarga Abi Alawi itu mengajak manusia dan mendorongnya pada thariqah yang ia jalani, dan tidak sepatutnya mengabaikan thariqah pendahulunya dan mempunyai pikiran bahwa mereka bukan pada thariqah yang utama. Ya Allah, tidak dijadikan thariqah itu kecuali sebagai jalan mendapatkan keberkahan serta berpegang teguh pada perjalanan para pendahulu dan aqidah mereka. Maka tidak seorang dari keluaga Abi Alawi pun diberi keberkahan jika mereka meninggalkan thariqah pendahulunya dan menempuh selain thariqah mereka.”
Berkata pula Al-Imam al-Haddad : “Dua hal yang merupakan anugerah paling besar yang diberikan kepada keluarga Abi Alawi yaitu Syekh Ahmad bin Isa bersama keluarga Abi Alawi keluarga dari bid’ah dan fitnah, dan al-Faqih al-Muqaddam al-Imam Muhammad bin Ali menyelamatkan keluarga Abi Alawi dari membawa senjata (untuk berperang).
Dan telah dinukil dari perkataan Al-Allamah Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqd al-Yawaqit al-Jauhariyah, tentang sebagian ulama yang menggambarkan thariqah al-Saadah Bani Alawi, berkata :
“Sungguh telah terkumpul nasab keagamaan dan pertalian darah ini dalam bentuk ilmu, amal, keledzatan ibadah, riwayah, dirayah, tahqiq dalam diri keturunan ‘cucu kedua’ –keturunan Imam al-Husein- yang dipuji yaitu keluarga Abi Alawi, yang siapapun masuk dalam thariqah mereka adalah golongan mereka. Dan dikatakan padanya : ‘Sungguh kami telah melindungi siapa yang engkau lindungi hai ummu Hani, Salman dari kita ahlul bait’. Dan semua itu berpusat kepada pengumpul segala hakikat, samudra ilmu dan ma’rifat, Imam Ali bin Abi Thalib ra, dan orang yang terlahir dari dua nasab yang agung dan mempunyai dua arah kemuliaan, Ali bin Husein Zainal Abidin, sungguh wirid yang dilaziminya mencapai seribu rakaat dan lainnya, hingga keistimewaan-keistimewaan yang bersinar dan keagungan yang tinggi itu berakhir pada keluhuran yang mulia ke pusat orang-orang yang bertawajjuh, dan penghubung para kaum ahli hakikat al-Ustadz al-A’dzham, al-Faqih al-Muqaddam -yang menanamkan cahaya thariqah al-Syu’aibiyah[1]- dan yang cahaya-cahaya thariqahnya menembus seluruh Hadramaut, lalu memancarlah cahaya itu dan bergeraklah rahasia-rahasianya pada kaum khawas di berbagai penjuru serta menebarlah keberkahannya kepada para ayah dan ibu.”
Dan jika anda menginginkan penjelasan tentang segala hal mengenai kelompok ini dan thariqahnya seperti hakikat-hakikat, syiar-syiar, pola hidup dan peninggalan mereka maka lihatlah pada kitab al-Masra’, al-Jauhar, al-Iqd al-Nabawi, al-Ghuror, Qurah al-Ain, Bahjah al-Fuad, Syarah al-Ainiyah dan lain-lain sebagaimana yang telah dituturkan dalam bahasan sebelumnya. Mereka dan orang-orang yang menyusul mereka telah mengumpulkan peringkat lahir dan bathin. Mereka adalah seperti rantai jika bergerak seuntai bergerak pula untaian yang lain. Semua mereka ahlu sunnah, bermadzhab Syafi’i, beraqidah Asy’ari.
Maka jika engkau telah mengetahui bahwa thariqah keluarga Abi Alawi, zhahirnya adalah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya adalah penitian maqam dan hal. Adapun adabnya ialah menjaga rahasia dan semangat penuh pengorbanan. Maka zhahir mereka yang apa yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali daripada ilmu dan amal menurut manhaj yang terbimbing. Sedang bathinnya mereka ialah apa yang dijelaskan oleh al-Syadzili tentang penitian hakikat dan pemurnian tauhid.
Dan telah menulis Al-Allamah Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang thariqah al-Saadah Abi Alawi, sebagai berikut :
“Adapun dasar thariqah al-Saadah Abi Alawi adalah thariqah Abi Madyan Syu’aib al-Maghribi, inti dan azas hakikatnya ialah al-Ghauts Syekh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi al-Husaini al-Hadramiy, yang dipelajari secara turun menurun dan diwarisi oleh pembesar-pembesar yang telah mencapai maqam dan hal. Akan tetapi oleh karena thariqahnya penitian, dzauh dan rahasia-rahasia, maka mereka tidak memperkenalkannya dengan menyusun tulisan-tulisan dan buku. Demikianlah generasi pertama berlalu hingga zaman al-Aydrus dan saudaranya syekh Ali. Kemudian begitu dunia makin meluas, jarak makin jauh, yang dekat masih dapat berhubungan dengan mereka berbeda dengan yang jauh, maka mendesak untuk dilakukan pembukuan, penjelasan dan diperkenalkan. Dan alhamdulillah, dada ini merasa lega dan hati menjadi tenang dengan munculnya kitab-kitab al-Kibrit, Juz’u al-Lathif, al-Mi’raj, al-Barqah dan lain-lain yang tak terhitung jumlahnya dan telah tersebar luas.”
Menurut Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad : Thariqah Alawiyin adalah Sirath Allah al-Mustaqiem. Al-Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan mengatakan :
“Sungguh bahwa thariqah Abi Alawi adalah thariqah yang paling lurus dan paling lempang. Perjalanan mereka adalah sebaik perjalanan dan yang paling utama. Bahwa mereka adalah pada jalan yang utama dan lorong yang lurus, dan syarat yang paling jelas, dan jalur yang paling sehat dan tepat. Tidak seyogyanya bagi seorang dari Bani Alawi untuk menentang jalur yang telah berjejak padanya para salafnya. Dan pula ia tidak boleh menyimpang dari perjalanan dan lintasan mereka. Bahkan ia harus mengikuti dan bergelantungan serta menghamparkan jalannya bagi setiap orang yang mengaku melintasi dari para penentang perjalanan dan thariqahnya. Thariqah al-Abi Alawi dan perjalanan mereka adalah thariqah yang telah disaksikan kebenarannya oleh Alquran dan Sunnah serta tilasan-tilasan yang diridhoi ia adalah perjalanan salaf yang mulia.
Al-Saadah al-Abi Alawi diharapkan dapat mengajak manusia agar mereka menjejaki jalan yang telah dilintasi oleh mereka. Tidak dibenarkan untuk mengabaikan thariqah leluhur mereka dan mendaftarkan diri mereka, bahwa mereka tergolong dari thariqah yang paling utama. Ketika datang Syaikh Barakwah ke kota Tarim dan ia bermaksud untuk menghukum dan mendikte para Saadah Alawi tentang cara yang telah dikenal dari perjalanannya. Ia bermimpi melihat Sayiduna al-Faqih al-Muqaddam berkata kepadanya : “Keluarlah kau dari kota ini agar jangan tertipu anak-anakku dengan pekertimu yang menarik itu.”
Telah ditanya Sayiduna al-Habib al-Imam Abdurahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih tentang thariqah al-Saadah al-Abi Alawi, beliau menjawab : “Ketahuilah bahwa thariqah al-Saadah al-Abi Alawi adalah Sabil al-Thoriqah al-Shufiah yang pada dasarnya ialah mengikuti al-Kitab dan al-Sunnah.”
Thariqah al-Saadah al-Abi Alawi yaitu zahirnya adalah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya adalah tahkik maqaamat dan ahwal. Thariqah ini tidak sinis terhadap orang yang datang yang tidak sejalan dengan thariqah yang dianutnya. Thariqah al-Abi Alawi adalah siapa yang memperhatikannya, niscaya ia mengetahui bahwa ia adalah thariqah yang menengah sederhana yang tidak dapat dipungkiri, karena para pimpinannya bersifat tawadhu’, zuhud, wara’, tidak suka terkenal, berhati suci dan berlapang dada.
Para tokoh dan penduduk Yaman mengetahui akan keunggulan thariqah al-Abi Alawi dari thariqah lainnya, baik para ulama, cendekiawan fiqih serta tokoh tasawuf. Berkata al-Imam Ahmad bin Zein al-Habsyi : “Thariqah Saadah al-Abi Alawi, tiada lain adalah ilmu, amal, wara, takut dan ikhlas kepada Allah SWT. Thariqah ini tidak menyimpang seujung kaki semut pun dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Barang siapa yang meninggalkan jalan para habaib yang shalih, menuju kepada jalan lain, ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah”.
Berkata Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan dalam kitabnya al-Futuhat al-Arsyiyah : “Sungguh mereka al-Saadah al-Alawiyin semoga Allah memberi manfaat kepada kita karena mereka dan asrar mereka, mereka tidak memperhatikan dan bergiat serta berijtihad melainkan dengan mentahkik ilmu-ilmu muamalat secara pengetahuan dan praktek serta mengenyampingkan kenikmatan”
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sebagian dari akhlaq kaum Alawiyin adalah bersibuk akan ilmu-ilmu dan menuntutnya serta secara tekun menelaah kitab-kitab mereka. Bergiat untuk memetik hasilnya serta memeriksa cabang dan menjaga ushulnya. Sebagian lainnya menuangkan perhatian bahkan kebanyakan dari mereka berda’wah mengajak hamba Allah untuk berpijak pada jalan yang lurus pada setiap tempat untuk menata amalan mereka. Sebagian mereka menentukan untuk da’wah di beberapa majlis dan berda’wah ke seluruh pelosok desa dan kota dengan disertai akhlaq yang luhur, amalan yang terpuji dan kesabaran yang tinggi untuk menghadapi masyarakat. Banyak dari mereka yang mencurahkan waktunya beri’tikaf di masjid, mengisi dengan ibadah, majlis ilmu, wirid dan lainnya. Sebagian mereka mengumpulkan doa dan dzikir sebagai puncak amalan yang dilaksanakan selama sehari semalam. Sebagian lagi mengadakan pembacaan ratib-ratib, bertahlil bahkan ada yang lebih mengutamakan ber’uzlah dan tidak menyukai untuk menonjolkan diri. Kaum Alawiyin adalah orang kaya karena tidak membutuhkan dan bergantung kepada orang lain. Ia merasa puas dengan dunia yang sedikit dan perbekalan yang amat sederhana. Sayyiduna al-Imam al-Quthub Ali bin Abu Bakar al-Sakran dalam kitabnya al-Barqatul al-Musyiqah menyatakan :
“Adapun keturunan al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa, mereka adalah tokoh mulia yang berbudi pekerti luhur, mempunyai sopan santun yang tinggi serta berjiwa luhur, bertekad tinggi, cerdas, tawadhu’ dan mempunyai naluri serta karakteristik tersendiri. Mereka mempunyai cinta yang kuat dan kasih sayang yang ketat terhadap kebaikan dan orang-orang baik. Mereka mengorbankan diri mereka demi kepentingan orang, sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak. Banyak diantara mereka menjadi tokoh ilmu fiqih dan para ilmuwan serta para imam. Pada mereka ada yang menjadi tokoh ulama/syaikh yang mulia yang diantaranya berkisar para Aqthab, Autad, Abdal, ahli ibadah, para wali. Dan Saadah al-Alawiyin, hati mereka tenggelam dalam lembah cinta kepada Allah SWT, mereka mempunyai kasyaf yang khariqah dan firasat yang benar serta musyahadah untuk sinar asma’ dan sifat Allah, serta cahaya sinar hakekat ma’rifat kelembutan rahasia Dzat Allah. Mereka dapat melacak barzah dan ahlul barzah, mereka pun menikmati kelezatan melihat dan berjumpa dengan Rasulullah, mereka mempunyai kedudukan martabat keguruan yang hakiki terpancang seperti tancapan gunung yang kokoh. Adapun mereka berijtihad secara kully (keseluruhan) di dalam beribadah dengan disertai meninggalkan pekerjaan yang tradisional dan mengabaikan syahwat kelezatan, bila malam tiba mereka tegak di atas kaki, sambil menampilkan wajah mereka dengan aliran air mata. Bilamana berakhir salah seorang dari mereka setelah melipat hamparan tidur menjauhi pergaulan masyarakat awam, melainkan untuk tujuan da’wah dan ta’lim.”
Ketahuilah bahwa kawasan thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah senantiasa menutupi dan tidak mau berlebih-lebihan dan penonjolan diri, kecuali penonjolan yang didasari oleh ilmu dan hidayat. Sebagian thariqah mereka adalah berkunjung kepada teman/handai taulan dan berziarah kepada sahabat, para shalihin yang telah meninggal dunia seperti kuburan salafus sholeh dengan husnuz zhon yang sempurna selama tidak dibarengi oleh hal-hal yang makruh atau haram, menghadiri majlis ilmu, maulid, dzikir dan disertai adab dengan diharamkanya hadir/campur baur dengan lawan jenis.
Berkata Sayiduna al-Imam Thahir bin Husain bin Thahir : “Ini, thariqah salaf al-Alawiyah adalah thariqah yang diridhoi, bersih, lurus, mudah, suci, tidak ada lika likunya dan tidak ada yang mudhorot dan memberi mudhorot, perjalanan mereka masyhur dan sejarah mereka terang berderang.”
Para al-Saadah al-Abi Alawi, mereka selalu menghidupkan mujahadat dalam zaman apa saja. Diantara mereka ada yang seusai shalat tarawih, di dalam shalat dua rakaat (nafilah) membaca Alquran seluruhnya. Banyak dari mereka yang menghindari tidur malam selama lebih dari dua puluh tahun. Ada pula di antara mereka bertahajud, kemudian membaca sepuluh juz Alquran mulai tengah malam hingga subuh. Di antara mereka ada juga yang bertahun-tahun duduk seperti sedang membaca tasyahud sebagai tata krama di hadapan Allah SWT. Ada pula di antara mereka yang membiasakan diri sedikit makan hingga lambung mereka tidak dapat menerima makanan lebih dari sepertiga atau seperempat suap. Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan :
“ Dari kaum Sayyid Bani Alawiy, yang paling rendah ilmunya ialah yang ilmunya tidak dibutuhkan oleh ulama selain mereka. Setiap orang dari mereka hafal akan manaqib (sifat-sifat utama) keluarganya, perilakunya, riwayat hidupnya dan kekeramatannya. Seorang Sayyid Bani Alawiy dalam mengajarkan ilmu dan adab (sastra) lebih banyak menempuh cara lisan (talaqqi) dan mengamalkan ta’addub (sopan santun dan tata krama) dalam praktek, tidak dengan banyak membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah-ceramah …”
Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas berkata :
“ Orang saleh dari kaum Alawiyin zaman dahulu dan orang-orang selain mereka dalam mengajarkan ilmu lebih menitikberatkan pada pendidikan untuk menyelamatkan dada (membersihkan dan meluruskan hati), menanamkan prasangka baik terhadap Allah SWT dan terhadap sesama manusia, hidup zuhud (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi), mendambakan kebahagiaan akhirat, menjaga hak-hak orang lain dan menghormati ilmu, para ulama, para wali serta kaum mukminin dan muslimin. Mereka dididik dan dilatih mengawasi hati mereka sendiri dan menjaga telinga dari segala macam kericuhan yang pernah dialami sebelumnya. Tujuannya adalah agar hati mereka tetap jernih dan bersih, jiwa mereka menjadi tentram dan menggantungkan cita harapan pada kebajikan dan sarana-sarananya …”
Karena pentingnya hal di atas, maka al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata : “Tak seorangpun dari Bani Alawi boleh menyalahi cara-cara yang ditempuh oleh sesepuhnya dahulu, dan tidak boleh juga menyimpang dari jalan hidup dan prilaku mereka…” selanjutnya dikatakan : “Sebab jalan mendekatkan diri kepada Allah (thariqah) yang mereka tempuh dibuktikan dengan kebenarannya oleh Alquran dan Sunnah Rasul saw, dan berbagai riwayat hadis serta sejarah kehidupan kaum salaf. Dan kaum salaf itulah yang secara berantai menerima peninggalan para sesepuhnya, sampai kepada datuk pertama, Muhammad saw. Dalam hal ini masing-masing dari mereka itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri.”
No comments:
Post a Comment