Allah Azza wa-Jalla
berfirman:
إِنَّمَا يُرِيْدُ
اللهُ أَنْ يُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيْراً
“Allah hanya
bermaksud untuk menghilangkan kekotoran dari kalian, wahai Ahlul-bayt, dan membersihkan diri kalian
sebersih-bersihnya.” (Al-Qur’an, surat Al-Ahzab : 33)
Terjadilah perbedaan
pendapat mengenai siapakah Ahlul-bayt
yang dimaksudkan dalam Ayat di atas, dan perbedaan itu terjadi di kalangan
Sahabat Nabi, namun masing-masing pendapat yang berbeda itu bukanlah
menyalahkan atau bertentangan dengan pendapat yang lain, melainkan
masing-masing menangkap tafsiran sesuai dalil yang mereka dapatkan, sehingga
semua pendapat itu adalah benar, dan kumpulan dari pendapat itu kemudian
menjadi sebuah kesimpulan yang disepakati oleh seluruh ulama generasi
berikutnya.
Berkatalah Ibnu
Asakir: Ulama berbeda pendapat mengenai tafsiran Ahlul-bayt menjadi tiga pendapat:
<!--Diriwayatkan
dari Abdullah bin Abbas bahwa beliau berkata: “Ayat ini diturunkan mengenai
istri-istri Nabi.” Selain Abdullah bin Abbas, Sa'id bin Jubair juga sependapat
dengan beliau, demikian pula dengan Sahabat Ikrimah dan beliaupun berkata:
"Bukanlah Ahlul-bayt
dalam Ayat itu sebagaimana yang mereka tafsirkan, melainkan Ayat itu bermaksud
pada istri-istri Rasul secara khusus." Bahkan Sahabat Ikrimah
mengumandangkan pendapat beliau ini dihadapan halayak ramai. Pendapat ini juga
dipahami oleh Sahabat Ibnu As-Sa'ib dan Sahabat Muqatil. Mereka beralasan
karena Ayat sebelumnya dan Ayat sesudahnya jelas secara khusus menyinggung
istri-istri Rasul.
<!--Yang
dimaksud dengan Ahlul-bayt
adalah Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, Fathimah, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan
Al-Husain. Pendapat ini dikemukakan oleh kedua istri Rasul; A'isyah dan Ummu
Salamah, juga oleh Sahabat Abu Sa'id Al-Khudri.
<!--Kemudian
Ibnu Asakir berkata: Adapun yang shahih menurut saya, bahwa yang dimaksud
dengan Ahlul-bayt
dalam Ayat itu adalah istri-istri Rasul dan keluarga Rasul. Pendapat ini adalah
pendapat Adh-Dhahhak dan Az-Zajjaj. Kalimat “Ahlal-bayt” dalam Ayat itu cocok
dan umum untuk kedua golongan tersebut, yakni istri-istri dan kerabat Rasul.
Dalam Riwayat Muslim dari Zaid bin Arqam, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: "Kuingatkan kalian pada Allah mengenai keluargaku."
Kemudian ada yang bertanya kepada Zaid bin Arqam tentang apakah istri-istri
Rasul itu termasuk keluarga Rasul, maka Zaid berkata: "Istri-istri Rasul
adalah termasuk keluarga Rasul, akan tetapi keluarga Rasul itu adalah
orang-orang yang diharamkan menerima sedekah setelah beliau." Lalu mereka
bertanya tentang siapakah mereka yang diharamkan menerima sedekah itu, maka
Zaid berkata: “Mereka adalah keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga Aqil bih Abi
Thalib, keluarga Ja'far bin Abi Thalib dan keluarga Abbas bin Abdul Mutthalib
(Tahdziib Taariikh Dimasyq, IV/208).
Menurut pendapat yang
pertama, ayat itu diturunkan untuk istri-istri Rasul, dari itu Sahabat Ikrimah
berkata: "Bukanlah Ahlul-bayt
dalam Ayat itu sebagaimana yang mereka tafsirkan, melainkan Ayat itu bermaksud
pada istri-istri Rasul secara khusus." Pendapat ini diperkuat oleh adanya
Ayat sebelum dan sesudahnya yang memang khusus menyinggung istri-istri Rasul.
Ayat-ayat itu adalah demikian:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ اِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيوةَ الدُّنْياَ
وَزِيْنَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلاَ
“Wahai Nabi,
katakanlah pada istri-istrimu; Apabila kalian menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya maka kemarilah kalian untuk kubuat kalian lega dan kulepas kalian
(kucerai) dengan pelepasan yang baik.” (Al-Qur’an, surat
Al-Ahzaab : 28)
وَإِنْ كُنْتُنَّ
تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإِنَّ اللهََ أَعَدَّ
ِللْمُحْسِناتِ مِنْكُنَّ اَجْرًا عَظِيْمًا
“Dan apabila kalian
menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan akhirat, maka sesungguhnya
Allah telah menyediakan pahala yang agung bagi orang-orang yang berbuat baik
diantara kalian.”
(Al-Qur’an, surat Al-Ahzaab : 29)
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ
مَنْ يَّأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُّضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ
ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذلِكَ عَلى الله يَسِيْرًا
“Wahai istri-istri
Nabi, barang siapa diantara kalian melakukan keburukan yang nyata maka akan
dilipat baginya dua kali siksaan. Dan hal itu bagi Allah adalah sesuatu yang
mudah.” (Al-Qur’an,
surat Al-Ahzaab : 30)
وَمَنْ يَّقْنُتْ
مِنْكُنَّ للهِ وَرَسُوْلِه وَتَعْمَلْ صَالِحاً نُؤْتِهَا اَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ
وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيْمًا
“Dan barang siapa diantara
kalian yang menjaga diri demi Allah dan Rasul-Nya, sertaberbuat baik, maka Kami
akan memberinya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan untuknya anugrah yang
agung.” (Al-Qur’an,
surat Al-Ahzaab : 31)
يَانِسَاءَ
النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ
قَوْلاً مَعْرُوْفاً
“Wahai istri-istri
Nabi, kalian tidaklah sama dengan wanita-wanita yang lain. Apabila kalian
memang bertaqwa maka janganlah kalian merdukan suara dalam berbicara sehingga
dapat menimbulkan godaan di hati orang yang berpenyakit (kurang beriman), dan
berkatalah dengan perkataan yang baik.” (Al-Qur’an, surat Al-Ahzaab : 32)
وَقَرْنَ فِيْ
بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُوْلى وَأَقِمْنَ
الصَّلوة وَآتِيْنَ الزَّكَوة وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيْدُ
الله لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْراً
“Diamlah kalian di
rumah-rumah kalian dan janganlah keluar rumah dengan menampakan aurat kalian
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah dahulu. Dan dirikanlah
shalat, keluarkanlah zakat serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Allah hanya
bermaksud untuk menghilangkan kekotoran dari kalian, wahai Ahlul-bayt, dan membersihkan
diri kalian sebersih-bersihnya." (Al-Qur’an, surat Al-Ahzab : 33)
Setelah kita simak
ayat-ayat di atas maka jelas sekali bahwa mukhathab
(orang yang diajak bicara) dalam ayat-ayat diatas adalah
istri-istri Rasul, dan dalam Ayat itu Allah sedang menasehati mereka.
Mengenai Ahlul-bayt dalam Ayat
diatas, penulis melihat adanya dua kemungkinan sebagai berikut:
l.
Kalau memang mukhathab
dalam ayat itu hanya istri-istri Rasul, sebagaimana pendapat
Sahabat Ikrimah, maka dalam Ilmu Sastra Arab, ini disebut “Dzikrul ‘aam wa yuraadu bihi
al-khaash”, yakni menyebut sebutan umum dengan bermaksud khusus
atau tertentu, yang umum adalah mencakup istri-istri dan kerabat Rasul,
sementara yang dikhususkan dalam Ayat itu adalah istri-istri Rasul, karena pada
saat itu Allah SWT memang sedang menasehati mereka. Pertanyaannya adalah apakah
Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain tidak termasuk Ahlul-bayt, maka
jawabannya adalah bahwa mereka termasuk Ahlul-bayt
dengan pernyataan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam seperti dalam riwayat Ummu Salamah, bahwa setelah
Ayat itu turun maka Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam memanggil Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain,
kemudian Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam menyelimutkan kain pada mereka sementara Ali bin
Abi Thalib berada dibelakang beliau, lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
berdoa: “Ya Allah, mereka
adalah keluargaku, maka hilangkanlah kekotoran dari mereka dan bersihkanlah
mereka sebersih-bersihnya.” Dan saat itu kemudian Ummu Salamah
berkata pada Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam; “Saya bersama mereka, ya Rasulullah?” Seolah-olah
Ummu Salamah minta bergabung dengan mereka dalam selimutan kain itu. Maka
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam berkata: “Kamu tetaplah di situ, kamu ada pada
kebaikan.” Seolah-olah Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam bermaksud bahwa Ummu Salamah tidak perlu masuk
kedalam selimutan kain itu karena beliau adalah Istri Rasul yang sudah pasti
termasuk keluarga Rasul. Apalagi disitu ada Ali bin Abi Thalib yang terhitung
bukan mahram dengan Sayyidah
Ummu Salamah.
Demikianlah
kemungkinan tafsiran Hadits itu sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh
Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi dalam kitab beliau “Siiratu Aali Baytin-nabiy”.
Maka menurut kemungkinan pertama ini, berarti istri-istri Rasul mendapat
pernyataan pertama sebagai Ahlul bait, kemudian menyusul Fatimah, Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain.
<!--
Atau khitab (ajakan
bicara) itu termasuk yang disebut iltifat
dalam istilah Ilmu Sastra Arab, yaitu menoleh atau beralih mukhathab, yakni yang
semula Allah hanya berbicara pada istri-istri Rasul kemudian beralih sejenak
untuk berbicara pada keluarga Rasul secara umum. Maka. jelaslah bahwa dalam
ayat-ayat diatas Allah berbicara pada istri-istri Rasul, hanya saja ketika
Allah SWT hendak menyatakan pembersihan (Tath-hir), maka Allah juga memanggil Ahlul-bayt yang lain,
yaitu fatimah, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain, karena mereka juga
memiliki hak atas pembersihan itu. Dari itu pada pernyataan itu Allah
menggunakan khithab (كُمْ) yang berarti “kalian laki-laki” atau “kalian laki dan
perempuan”, tidak seperti ayat-ayat sebelumnya yang menggunakan (كُنَّ) yang
berarti “kalian perempuan”. Maka menurut kemungkinan ini, berarti istri-istri
dan keluarga Rasul yang lain mendapatkan pernyataan yang sama dan bersamaan
sebagai Ahlul-bayt.
Pertanyaannya
adalah kenapa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam hanya menyebut Fatimah, Ali, Al-Hasan dan
Al-Husain sebagi Ahlul-bayt
beliau, misalnya dalam riwayat Syadad Abu Ammar, bahwa Sahabat Watsilah bin
Al-Asqa’ berkata pada beliau; “Suatu ketika aku datang ke rumah Fathimah dan
menanyakan tentang Ali bin Abi Thalib, maka Fathimah berkata bahwa Ali bin Abi
Thalib sedang menemui Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, akupun duduk menunggu sampai datanglah Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersama Ali, Hasan dan Husain, kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
menyuruh Fatimah dan Ali duduk di lantai dekat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
sementara beliau memangku Hasan dan Husain, kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
memeluk mereka dengan pakaian beliau lalu membaca Ayat Tath-hir, lalu beliau
berdoa: “Ya Allah, mereka adalah keluargaku, dan keluargaku lebih berhak (untuk
dibersihkan dari kekotoran). Dalam riwayat ini Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
hanya menyebut Fatimah, Ali, Al-Hasan dan Al-Husain sebagai Ahlul-bayt beliau, dan
beliau tidak menyebut istri-istri beliau. Hal itu tidak lain karena Ayat That-hir itu turun dalam
rentetan Ayat-ayat yang menasehati istri-istri Rasul, sehingga orang-orang akan
lebih memahami Ahlul-bayt
dalam ayat itu sebagai istri-istri Rasul. Dari itu, didepan Watsilah bin
Al-Asqa’ Rasulullah menekankan bahwa Fathimah, Ali, Al-Hasan dan Al-Husain itu
adalah Ahlul-bayt
beliau, bahkan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam berkata dalam doa beliau; "dan keluargaku
lebih berhak", seolah-olah beliau bermaksud bahwa mereka adalah keluarga
beliau yang sebenarnya dan mereka lebih berhak daripada istri-istri beliau. Hal
itu dimaksudkan agar Watsilah bin Al-Asqa' benar-benar tidak ragu bahwa
Fathimah, Ali, Al-Hasan dan Al-Husin itu termasuk Ahlul-bayt dalam Ayat yang turun dalam
serentetan nasehat buat istri-istri Rasul tersebut.
Jadi, walaupun dua
kemungkinan diatas memiliki sedikit perbedaan, namun keduanya menyimpulkan
suatu pernyataan yang sama, yaitu bahwa, secara umum, Ahlul-bayt itu mencakup
istri-istri Rasul, Fathimah putri Rasul, Ali bin Abi Thalib suami Fathimah,
Al-Hasan dan Al-Husain kedua putra pasangan Ali dan Fathimah.
Keturunan Al-Hasan dan Al-Husain adalah Ahlulbayt
Apabila Ahlul-bayt dalam Ayat That-hir itu ditafsirkan
dengan istri-istri Rasul, Fatimah, Ali, Al-Hasan dan Al-Husain, lalu bagaimana
dengan keturunan Al-Hasan dan Al-Husain, apakah mereka juga termasuk dalam Ahlul-bayt yang
mendapatkan That-hir itu?
Jawabannya adalah dua riwayat sebagai berikut:
<!--Hadits
Shahih riwayat Muslim dari Abu Mas'ud Al-Anshari, bahwa suatu ketika Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi
wasallam ditanya bagaimana caranya bershalawat kepada beliau, maka
beliaupun bersabda: "Ucapkanlah; Ya Allah, curahkanlah rahmat pada Nabi
Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau curahkan pada Nabi
Ibrahim dan pada keluarga Nabi Ibrahim. Dan curahkanlah keberkahan pada Nabi Muhammad
dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau curahkan pada Nabi Ibrahim dan
pada keluarga Nabi Ibrahim.
<!--Hadits
Shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Humaid As-Sa'idi, bahwa ketika
ditanya bagaimana caranya bershalawat kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
maka beliau bersabda: "Ucapkanlah; Ya Allah, curahkanlah rahmat pada Nabi
Muhammad dan isiri-stri serta anak cucu beliau, sebagaimana Engkau curahkan
pada Nabi Ibrahim dan pada keluarga Nabi Ibrahim, .." dst.
Dalam riwayat yang
pertama Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam menyebut "keluarga" beliau, sementara
dalam riwayat kedua menyebut "istri-istri dan anak-cucu" beliau, maka
riwayat kedua itu jelas menafsirkan tentang siapa keluarga beliau, yaitu
istri-istri dan anak-cucu beliau. Maka riwayat diatas jelas menunjukkan bahwa
anak-cucu Rasulullah dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husain sampai pada generasi
yang terkhir nanti adalah termasuk Ahlul-bayt.
Antara garis
laki-laki dan perempuan
Terdapat perselisihan
tentang keturunan Syarifah (wanita Ahlul-bayt) dengan suami non Ahlul-bayt. Ada
yang mengatakan bahwa mereka bukan Ahlul-bayt, dan yang lain berpendapat bahwa
mereka juga Ahlul-bayt. Pendapat pertama, sebenarnya, hanya lebih berdasarkan
budaya, karena budaya orang Arab adalah menisbatkan seseorang pada “rumpun”
ayahnya, sehingga kalau ada yang berkata “saya dari keluarga Al-Fulani” maka
artinya dia adalah keturunan si Fulan dengan garis laki-laki. Dari itu,
pendapat pertama ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sangat bertentangan
dalil-dalil Islam, baik dalil nash (teks) maupun dalil rasio sebagai berikut.
<!--Dalam
Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 84, Allah menyebut beberapa Nabi keturunan Nabi
Ibrahim, dan Nabi Isa disebut sebagai salah satu dari mereka, maka ayat ini jelas
menyimpulkan bahwa keturunan seorang perempuan juga termasuk “keturunan” atau
cucu dari orang tua si perempuan.
<!--Dalam
Hadits Shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Humaid As-Sa'idi Rasulullah
menyebut Ahlul-bayt dengan “dzurriyyah”.
Menurut bahasa Arab yang sebenarnya, dzurriyyah
artinya “semua keturunan”, baik yang bergaris laki-laki maupun perempuan. Untuk
mengubah makna sebuah kalimat Rasulullah SAW dari arti sebenarnya harus ada
dalil yang shahih, demikian pula untuk mengubah dari “yang umum” menjadi
“kusus”. Nah, selama tidak ada dalil shahih yang menyatakan bahwa dzurriyyah yang dimaksud
oleh Rasulullah dalam riwayat itu adalah khusus garis laki-laki, maka berarti
semua keturunan beliau, baik dari garis laki-laki maupun perempuan, adalah Ahlul-bayt.
Dan barang siapa yang membeda-bedakan antara yang bergaris laki-laki dan garis
perempuan maka berarti ia telah “berkhianat” pada Rasulullah.
<!--Keturunan
dari garis perempuan juga bermahram pada pada nenek moyang ibu atau nenek
mereka. Seandainya Siti Fathimah masih hidup, tentu beliau tidak akan
membeda-bedakan cucu-cucu beliau yang bergaris laki-laki dan perempuan,
melainkan semua akan “nyungkem” dan mencium tangan beliau sedangkan beliau akan
mencium kening mereka semua. Dan kalaupun beliau mau membeda-bedakan mereka, paling-paling beliau
justru membeda-bedakan mereka berdasarkan prestasi, atau sekedar mendahulukan
yang lebih dekat nasabnya antara dua cucu beliau yang sama-sama kualitasnya,
tanpa membeda-bedakan karena yang satu bergaris laki-laki dan yang lain
bergaris perempuan.
<!--Syekh
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi pernah ditanya tentang keturunan seorang
perempuan, apakah mereka putus nasab dengan leluhur ibu mereka. Maka beliau
berkata: “Apakah kamu rela disebut bukan anak ibumu?!”. Syekh Al-Buthi memberi
sebuah jawaban yang amat singkat, namun si penanya akan sangat paham melebihi
jawaban yang ditulis menjadi sebuah buku. Benar kata Al-Buthi, kalau kita
anggap bahwa keturunan seorang perempuan itu putus nasab dengan leluhur ibu mereka
maka berarti kita rela disebut bukan keturunan dari ibu kita dan leluhurnya!
<!--Semua
keturunan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam adalah keturunan beliau melalui Siti Fathimah.
Kalau garis perempuan dianggap putus nasab maka sejak zaman dulu beliau tidak
memiliki keturunan, lantas siapa dzurriyyah
yang beliau maksudkan?!
Tentang Hadits ‘ushbah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لِكُلِّ بَنِيْ آدَمَ
عُصْبَةٌ إِلاَّ ابْنَيْ فَاطِمَةَ أَنَا وَلِيُّهُمَا وَعُصْبَتُهُمَا
“Setiap orang
memiliki ‘ushbah (kelompok leluhur laki-laki), kecuali kedua putra Fathimah,
maka akulah wali dan ‘ushbah mereka.” ( Riwayat Al-Hakim dan Abu Ya’la)
Berdasarkan Hadits
ini, sebut saja “Hadits ‘ushbah”,
kemudian banyak orang memandang anak lelaki seorang Syarifah tidak dapat
disebut Syarif atau Sayyid. Mereka menganggap bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah menentukan siapa Ahlul-bayt dari keturunan beliau, yaitu hanya Al-Hasan
dan Al-Husain serta keturunan mereka, maka setatus Ahlul-bayt tidak berlaku
bagi keturunan putri-putri Rasulullah yang lain, seperti Zainab binti Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Zainab tidak memiliki anak laki-laki, melainkan hanya memiliki anak perempuan
dari suami yang bukan Ahlul-bayt, yaitu Abul-‘ash bin Rabi’, sehingga dengan
sendirinya, putri Zainab itu bukan termasuk Ahlul-bayt.
Paham ini, sebut saja
“paham ‘ushbah”
(istilah penulis sendiri), jelas sekali menyimpulkan beberapa hal yang sangat
janggal sebagai berikut:
<!--Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam
hanya menganggap putra-putra Fathimah sebagai “keluarga” dari keturunan beliau.
<!--Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menganggap Al-Hasan dan Al-Husain sebagai “keluarga” bukan
sekedar karena mereka adalah putra-putra Fathimah, melainkan juga karena ayah
mereka adalah Ali bin Abi Thalib yang masih sepupu Rasulullah dari garis ayah,
sehingga seandainya ayah mereka bukan sepupu beliau dari garis ayah maka beliau
tidak akan mengakui mereka sebagai keluarga.
<!--Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidak menganggap Umamah, putri Zainab, sebagai “keluarga” karena ayah Umamah
bukan keluarga Rasulullah sebagaimana ayah Al-Hasan dan Al-Husain.
<!--Bagi
putri-putri Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, anak-anak mereka bisa diakui sebagai “keluarga
Rasulullah” kalau suami mereka atau ayah anak-anak mereka adalah masih
“keluarga Rasulullah”.
Empat point ini
bukanlah kesimpulan yang mengada-ada atau dipaksakan, “paham ‘ushbah” itu
benar-benar jelas merupakan “kata lain” dari empat point ini, yang
berarti pemilik paham itu memang membenarkan empat point ini, kecuali kalau
mereka salah bicara!
Bayangkan saja, kalau
sampai “paham ‘ushbah”
itu didengar oleh kaum orentalis sebelum ada yang meluruskannya, tentu mereka
akan menjadikannya sebagai alasan untuk menjelek-jelakkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
karena mereka akan menganggap Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam sebagai orang yang “kolot” dan pilih kasih didalam
mengakui keturunan putri-putri beliau. Maha suci Allah Yang telah mengutus Nabi
Muhammad sebagai Rasul yang cerdas dan berbudaya!
Paham ‘ushbah itu adalah paham
yang dipaksakan untuk mendukung budaya yang sebenarnya adalah warisan
jahiliyah, yaitu budaya “hanya mengakui keturunan garis laki-laki”. Penganut
paham inipun menjadikan Hadits ‘ushbah
sebagai dalil untuk menguatkan paham mereka, tanpa berpikir bahwa
kesalahpahaman didalam menyimpulkan Hadits itu akan memberian kesan yang buruk
tentang sosok Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam.
Maka penulis berusaha
untuk menyimpulkan Hadits ‘ushbah
itu dengan sedekat mungkin pada ajaran Rasulullah secara umum, semoga
kesimpulan berikut dapat memuaskan golongan yang menjadikan Hadits ini sebagai
dalil paham mereka.
Menurut penulis,
mengenai pernyataan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam (Setiap orang memiliki ‘ushbah, kecuali kedua putra Fathimah, maka
akulah wali dan ‘ushbah
mereka), beliau menyinggung soal ‘ushbah
bukan untuk mendukung paham yang hanya mengakui golongan ‘ushbah sebagai keluarga,
melainkan beliau bercerita bahwa ada istilah ‘ushbah
dimana kebanyakan orang hanya menganggap ‘ushbah
sebagai keluarga, sehingga beliaupun menyatakan bahwa kalau mereka masih saja
lebih mantap dengan paham ‘ushbah
maka saat itu juga beliau menegaskan agar mereka jangan sampai memandang
Al-Hasan dan Al-Husain sebagai ‘ushbah
Ali bin Abi Thalib, melainkan ‘ushbah
beliau. Beliau menyatakan hal itu karena beliau hawatir mereka tidak menganggap
Al-Hasan dan Al-Husain sebagai cucu beliau. Maka dengan kalimat itu seolah-olah
beliau berkata: “Wahai orang Arab, aku tahu bahwa kebanyakan kalian masih
terbiasa dengan budaya jahiliyah yang hanya menganggap garis laki-laki sebagai
keturunan. Kalau kalian masih susah meninggalkan kebiasaan itu sehingga kalian
masih lebih mengakui ‘ushbah
sebagai keluarga, maka sekarang juga kunyatakan bahwa Al-Hasan dan Al-Husain
adalah ‘ushbahku,
mereka adalah anak-anakku, jangan sekali-kali kalian anggap mereka sebagai
anak-anak Ali dan bukan anakku.”
Sabda itu beliau
kemukakan untuk menegaskan bahwa didalam hal kekeluargaan dan keturunan, garis
perempuan itu sama sekali tidak beda dengan garis laki-laki. Beliau mengatakan
“aku ‘ushbah
mereka” dalam rangka meyakinkan para Shahabat bahwa status Al-Hasan dan
Al-Husan adalah cucu Rasulullah, sebagaimana mereka adalah cucu Abu Thalib.
Beliau hanya “meminjam” istilah ‘ushbah
karena kebanyakan orang-orang Arab lebih mengakui ‘ushbah, beliau khawatir mereka tidak atau
kurang menganggap Al-Hasan dan Al-Husain sebagai cucu beliau. Beliau tahu bahwa
orang-orang Arab masih banyak yang menganggap bahwa seseorang itu bukanlah
keluarga bagi kakek dari ibunya. Hal itu terbukti di kemudian hari, yaitu
anggapan “kelompok” Mu’awiyah yang lebih menganggap Al-Hasan dan Al-Husain
sebagai putra-putra Ali bin Abi Thalib, bukan cucu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
sehingga merekapun berani memusuhi dan mengumpat cucu-cucu Rasulullah itu.
Adapun mengenai
mengapa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam hanya menyebut keturunan Fathimah dan tidak
menyebut keturunan putri-putri beliau yang lain, maka hal ini bukan berarti
bahwa Ahlul-bayt itu hanya keturunan Fathimah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
hanya menyebut keturunan Fathimah karena beberapa hal berikut:
<!--Karena
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam memang sedang “mepromosikan” Al-Hasan dan
Al-Husain, bahwa mereka adalah calon pemimpin yang layak dipilih. Maka
beliaupun menambah point keterpilihan mereka dengan menyebutkan bahwa mereka
bukan hanya orang-orang hebat, melainkan mereka juga keturunan beliau sendiri,
sehingga dalam hal nasab merekapun nomor satu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
menambahkan hal itu karena, didalam memilih seorang pemimpin, kebiasaan dan
budaya setiap bangsa masih memperhitungkan “darah biru” selain kehebatan.
<!--Memang,
suatu ketika Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam ditanya oleh para Shahabat tentang siapa keluarga
beliau yang harus dicintai, maka beliaupun hanya menyebut Al-Hasan dan Husain
diantara cucu-cucu beliau (Riwayat Ahmad, Ath-Thabrani dan Al-Hakim dari Ibnu
Abbas). Maka kalau ada yang bertanya mengapa beliau tidak menyebut Umamah putri
Zainab, jawabannya adalah karena pada waktu itu Umamah adalah seorang gadis.
Sebagaimana gadis-gadis lain pada zaman itu, Umamah tidak bergaul bahkan tidak
kenal dengan kebanyakan orang, apalagi laki-laki, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidak perlu menyebut nama Umamah karena tidak akan ada orang yang bersikap
tidak sopan pada beliau. Sedangkan Al-Hasan dan Al-Husain adalah laki-laki yang
tentunya bergaul dan dipergauli oleh para Shahabat, maka dari itu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengingatkan para Shabat agar mereka mencintai dan mempergauli cucu-cucu beliau
itu dengan baik. Jadi, jelas tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa
Hadits-hadits itu menafikan setatus Umamah sebagai Ahlul-bayt. Dan penulis
bertanya kepada yang mengatakan bahwa Umamah bukan termasuk Ahlul-bayt:
“Beranikah Anda berkata dihadapan Rasulullah bahwa Umamah bukan cucu dan
keluarga beliau?”
<!--Karena
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam tahu (atas wahyu Allah) bahwa beliau hanya akan
memiliki generasi penerus keluarga melalui Al-Hasan dan Al-Husain, terbukti
putri-putri beliau yang lain tidak menurunkan keturunan. Memang, Zainab (kakak
Fathimah) juga memiliki putri bernama Umamah, namun Umamah tidak memiliki
keturunan. Demikian pula dengan Ummu Kultsum, adik kandung Al-Hasan dan
Al-Husain, beliau menikah dengan Umar bin Khatthab dan hanya memiliki seorang
putra yang meninggal sebelum memiliki keturunan. Dari itu, ketika Rasulullah
hanya menyebut keturunan Fathimah dalam menyinggung soal garis keturunan, maka
itu bukan berarti beliau hanya mengakui keturunan Fathimah saja sebagai
keluarga (Ahlul-bayt), seandainya putri-putri beliau yang lain juga memiliki
keturunan maka tentu beliau juga akan mengakui semuanya sebagai keluarga, tanpa
membeda-bedakan satu sama lain.
Demikianlah analisa
penulis mengenai Hadits ‘ushbah,
penulis tidak tahu apakah ada orang lain yang pernah menganalisa seperti ini,
dan kalau ini adalah yang pertama maka penulis harap agar pembaca berhusnuzhon
(berbaik sangka), bahwa penulis bukan “sok pintar” dengan mengemukakan “analisa
baru”, melainkan penulis hanya berusaha membela orang yang kita cintai,
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, karena “paham ‘ushbah”
itu benar-benar bertentangan dengan ajaran beliau, sehingga kalau Hadits ‘ushbah diklaim sebagai
dalil penguat paham ‘ushbah
maka itu berarti menjadikan Rasulullah sebagai sasaran kaum orentalis yang
memang selalu mencari celah untuk menjelak-jelekkan beliau.
Diharamakannya
menerima sedekah atas Ahlul-bayt
Diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa pada suatu musim kurma, banyak orang
berdatangan pada Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam dengan membawa kurma, sehingga terkumpullah di
rumah beliau kurma yang menumpuk. Tiba-tiba datanglah kedua cucu beliau,
Al-Hasan dan Al-Husain, yang masih kecil dan kemudian merekapun bermain-main
dengan onggokan kurma, lalu salah seorang dari mereka memasukkan sebiji kurma
pada mulutnya. Melihat itu Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut sang cucu
seraya berkata: “Tidak tahukah engkau bahwa kelurga Muhammad boleh tidak makan
sedekah?”. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah berjalan
dengan beberapa orang Shahabat, tiba-tiba beliau melihat sebiji kurma didepan
langkah beliau (di jalan), maka beliaupun memungut kurma itu lalu berkata:
“Seandainya aku tidak hawatir kurma ini adalah barang sedekah yang tercecer,
niscaya aku akan memakannya.”
Kedua riwayat ini
jelas sekali menyimpulkan bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam menghindari barang sedakah walaupun hanya berupa
sebiji kurma. Selain itu, beliau juga melarang keluarga dan keturunan beliau
untuk menerima dan memakan sedekah. Tentu kita maklum, bahwa sedekah yang
diberikan pada sesama manusia itu diberikan atas dua dasar, yaitu dasar belas
kasihan dalam sedekah sunnah dan dasar terpaksa dalam sedekah wajib yang lebih
dikenal dengan sebutan zakat. Maka penulis melihat bahwa dilarangnya sedekah
atas Ahlul-bayt berkenaan dengan dua alasan tersebut. Ahlul-bayt adalah
orang-orang terhormat dan orang-orang tercinta, maka kita tidak boleh
memperlakukan mereka dengan sikap “kasihan” dan terpaksa, melainkan harus
dengan rasa hormat dan cinta. Kita tentu sangat mengerti tentang perbedaan
antara memberi berdasarkan rasa kasihan dan memberi berdasarkan rasa cinta.
Maka dari itu Rasulullah dan Ahlul-bayt tidak boleh menerima sedekah, akan
tetapi mereka boleh menerima hadiah, karena hadiah itu diberikan atas dasar
cinta.
Orang-orang terhormat
dan berjiwa “kesatria” tidak akan mau menerima belas kasihan orang lain, dan
bukti bahwa mereka demikian adalah bahwa mereka pandai menyembunyikan
kesusahan. Separah apapun kondisi ekonomi dan masalah mereka, maka semua itu
tidak akan nampak oleh orang lain, setidaknya mereka tidak nampak sebagai orang
yang susah akibat kondisi itu, melainkan mereka tetap nampak sebagai orang yang
bersahaja dan berwibawa.
Siapa yang tidak tahu
bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam hidup pas-pasan, namun, didepan para Shabat,
beliau selalu nampak seperti orang yang selalu cukup makan, padahal terkadang
dua hari beliau tidak makan, beliau tidak pernah bercerita apalagi mengeluh
tentang kekurangan beliau. Memang, beliau pernah menceritakan kekurangan yang
terjadi pada beliau, namun itu setelah beliau melewati masa kekurangan itu,
yakni setelah beliau tidak lagi “perlu” bantuan, dan itupun beliau ceritakan
untuk dijadikan pelajaran oleh sahabat dan anak didik beliau.
Maka dilarangnya
menerima sedekah atas keluarga beliau memberi arti dua hal berikut:
<!--[if !
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam mengharapkan agar keluarga dan keturunan
beliau mandiri dan selalu berjiwa besar, beliau melarang mereka menerima sedekah
agar tidak ada dari mereka yang hidup atas belas kasihan orang. Rasulullah
yakin mereka mampu untuk menjadi teladan dalam segala hal, termasuk dalam hal
kemandirian dan ketegaran, dari itu beliau bukan hanya menyarankan, melainkan
melarang mereka untuk menerima sedekah.
<!--[if !
Rasulullah mengharapkan agar kita mencintai keluarga dan keturunan beliau, maka
jangan sekali-kali kita memandang mereka dengan pandangan iba dan kasihan,
melainkan harus dengan pandangan cinta. Rasulullah mengharapkan agar kita
memperhatikan mereka sebagaimana kita memperhatikan keluarga yang paling kita
cintai, bila ada Ahlul-bayt yang bodoh maka kita harus mendidik dan
menyekolahkannya sebagaimana kita mendidik dan menyekolahkan anak kita, kalau
ada Ahlul-bayt yang miskin dan kekurangan maka kita harus membantunya
mendapatkan pekerjaan sebagaimana kita menata masa depan kehidupan anak kita.
Kita harus mempedulikan mereka dengan penuh cinta, sehingga mereka tidak nampak
hina apalagi ada yang menghina. Bahkan kita harus lebih mempedulikan mereka
daripada anak kita sendiri, sebagaimana kita harus lebih mencintai kakek mereka
(Rasulullah) daripada diri kita sendiri.
Demikianlah, maka
dilarangnya Ahlul-bayt menerima sedekah tidak lain karena sedekah itu diberikan
atas dasar belas kasihan.
Demikian pula dengan
zakat, zakat diberikan karena “terpaksa”, dalam arti karena zakat itu wajib,
sehingga seandainya tidak wajib maka tidak semua orang akan mengeluarkan zakat
pada saat-saat tertentu dan dengan kadar tertentu. Nah, Rasulullah tidak mau
keluarga dan keturunan beliau menerima apapun yang diberikan atas dasar
terpaksa. Hal itu sangatlah wajar, karena Rasulullah adalah orang yang simpatik
dan peka, beliau juga ingin agar semua keluarga dan keturunan beliau menjadi
orang yang simpatik dan peka, dan kita semua tahu bahwa orang yang peka tidak
akan mau menerima suatu apapun yang diberikan dengan terpaksa, walaupun
pemberian itu tanpa diawali dengan meminta.
Tentang pembersihan bagi Ahlul-bayt
Adapun yang dimaksud
dengan Ar-rijs (kekotoran)
dalam ayat Tah-hir itu adalah kufur dan syirik,
bahkan tidak sedikit ulama yang memasukkan maksiat dalam tafsiran Ar-rijs. Namun, yang
pasti, Ahlul-bayt
akan dijaga oleh Allah ‘Azza
wa-Jalla dari kufur dan syirik, bahkan kenyataan membuktikan bahwa Ahlul-bayt adalah pemuka
ummat dalam beribadah dan kebaikan, pembaca dapat menyimak sejarah dan riwayat
tokoh-tokoh Ahlul-bayt,
termasuk para Kanjeng Sunan yang kita bicarakan dalam buku ini.
Ketika ulama
menafsirkan Ar-rijs dengan
maksiat maka sering terdengar protes dari sebagian orang, karena mereka lihat
ada juga Ahlul-bayt
yang sering melakukan maksiat, maka mengenai hal ini penulis ingin mengemukakan
beberapa hal:
<!--Adanya
sebagian Ahlul-bayt
yang suka berbuat maksiat menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud dengan Ar-rijs dalam ayat diatas
adalah kufur dan syirik, tidak termasuk maksiat. Hanya saja, setidaknya -insyaallah- Allah ‘Azza wa-Jalla akan
mengirim seseorang untuk mengingatkan dan membimbingnya ke jalan yang benar.
Dari itu, apabila kita melihat seorang Ahlul-bayt
melakukan maksiat maka hendaknya kita berusaha menyadarkannya.
<!--Saya
melihat bahwa protes yang dilontarkan oleh sebagian orang atas tindakan buruk
sebagian Ahlul-bayt
menunjukkan ke”kurang-cinta”annya terhadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Karena nampak dari protes itu adanya rasa iri dan tidak terima atas janji Allah
dalam ayat Tath-hir.
Sementara menurut dia, orang yang mendapat janji itu ternyata tidak layak
mendapat janji itu.
<!--Ayat
That-hir itu,
selain merupakan janji dari Allah ‘Azza
wa-Jalla, ayat itu sebenarnya juga merupakan perintah pada ummat
Muhammad untuk turut menjaga dan mengarahkan Ahlul-bayt
dalam rangka mewujudkan janji Allah itu. Jadi, apabila seseorang melihat Ahlul-bayt melakukan
maksiat maka orang itu wajib menegur dan menasehati Ahlul-bayt itu dengan lembut dan penuh cinta
serta perhatian, misalnya dengan mengingatkannya pada sejarah leluhurnya agar
dia malu untuk menyimpang dari akhlaq sang leluhur. Apabila setiap ummat muslim
diwajibkan untuk menasehati sesama muslim, maka menasehati Ahlul-bayt hukumnya lebih
wajib lagi, karena nasehat itu dimaksudkan untuk kebaikan orang lain, dan
kebaikan Ahlul-bayt
itu lebih layak untuk diperhatikan, demi menunjukkan cinta kita kepada kakek
mereka, yaitu Rasulullah Muhammad Shallallaahu
‘alaihi wasallam.
<!--Barangkali
saja, yang memancing protes itu adalah adat orang Jawa, terutama yang di
kampung-kampung, yang rupanya salah kaprah didalam bersikap menghormati Ahlul-bayt dan keluarga
Kiai. Terkadang mereka memang diam saja melihat tindakan sebagian anak Habib
atau anak Kiai yang berlaku tidak tepat, baik dalam hal ibadah maupun
berakhlaq. Mereka takut dan tetap hormat terhadap si anak Habib dan Kiai,
sehingga adat itu membentuk watak yang tidak baik pada jiwa si anak Habib dan
Kiai itu. Adat ini memang salah besar, dan adat ini telah membuat sebagian
anak-anak Habib dan Kiai menjadi manja dan merasa lebih mulia dari orang lain.
Adat ini membuat sebagian mereka sama sekali tidak memiliki jiwa jihad dan rasa
tawadhu' seperti leluhur mereka. Dan inilah yang mungkin mengakibatkan
kejengkelan di hati orang-orang yang tidak setuju dengan adat tersebut, yang
ujung-ujungnya kemudian mereka protes terhadap sebagian Ahlul-bayt yang suka
maksiat, dan protes itu dikemukakan dengan nada yang tidak nampak sebagai
pecinta Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam. Dan bahkan ada juga sebagian orang yang kemudian
membenci golongan tertentu dari Ahlul-bayt,
karena golongan itu dianggap sebagai jamaah eksklusif yang tidak mau merendah.
Sungguh mereka telah mendurhakai Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, bagaimana bisa mereka membenci cucu beliau,
padahal mereka banyak berhutang budi pada beliau. Kalaupun misalnya mereka
melihat ada yang janggal dari segolongan Ahlul-bayt,
semestinya mereka berusaha untuk membenahi kejanggalan tersebut dengan penuh
perhatian, bukan kemudian menjauhi, apalagi membenci. Tidakkah mereka merasa
malu pada Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, ketika kebencian mereka itu kelak Allah tampakkan
dihadapan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam. Apa yang akan mereka katakan ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya:
“Mengapa kalian benci cucu-cucuku? Kalau memang diantara mereka ada yang
berlaku tidak baik menurut kalian, lantas mengapa tidak kalian dekati untuk
kalian tegur? Mengapa kalian justru menjauhi dan membenci mereka? Mengapa
kalian tidak berusaha memperbaiki yang kalian anggap tidak baik itu? Bukankah aku telah
berjuang untuk kebaikan kalian? Bukankan kalian mengenal kebaikan itu dariku?!
Lantas mengapa kalian bahkan enggan untuk mempedulikan cucu-cucuku?
Maka hendaknya kita
memahami Ayat That-hir itu
dengan sebaik-baiknya, bahwa dalam Ayat itu Allah ‘Azza wa-Jalla telah menyatakan untuk menjaga
Ahlul-bayt dari
perbuatan kotor, dan itu berarti Allah Azza
wa-Jalla menuntut agar kita, ummat Muhammad, peduli dan turut
memperhatikan Ahlul-bayt,
menjaga mereka, membimbing mereka agar mereka benar-benar tidak menyimpang dari
agama leluhur mereka. Kita harus lebih mempedulikan mereka daripada anak kita
sendiri, sebagaimana kita lebih mencintai Rasulullah daripada diri kita
sendiri.
Permintaan Rasulullah
Allah Azza wa-Jalla berfirman:
قُلْ لاَ أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى
“Katakanlah (wahai
Muhammad), tidaklah aku meminta balasan dari da’wahku ini selain cinta kalian
terhadap keluargaku." (Al-Qur’an, surat Asy-Syuuraa : 23)
Dalam ayat ini Allah Azza wa-Jalla menyuruh
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam untuk tidak meminta apa-apa dari ummat beliau
sebagai balasan mereka atas jasa jasa beliau, selain beliau meminta agar ummat
beliau mencintai keluarga dan keturunan beliau.
Dalam sebuah Hadits
riwayat Zaid bin Arqam beliau berkata: Suatu ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
berkhutbah di tengah-tengah kami, setelah beliau memanjatkan puja dan puji
kepada Allah, beliaupun memberi petuah dan nasehat kemudian bersabda: “Ingatlah, wahai manusia, aku hanyalah
seorang manusia yang tidak lama lagi akan datang utusan Tuhanku untuk menjemput
ajalku, dan aku meninggalkan dua hal penting pada kalian; Yang pertama adalah
kitab Allah, pada kitab itu ada petunjuk dan cahaya, maka berpegangteguhlah
pada kitab itu. Yang kedua adalah keluargaku, kuingatkan kalian pada Allah agar
berbuat baik pada keluargaku, kuingatkan kalian pada Allah agar berbuat baik
pada keluargaku, kuingatkan kalian pada Allah agar berbuat baik pada
keluargaku.” (Al-Hadits, riwayat Muslim, Ahmad, Ad-Darimi,
Al-Hakim, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi.)
Dalam Hadits diatas
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk memperhatikan Ahlul-bayt, peringatan itu
sampai beliau ulang tiga kali, hal itu menunjukkan begitu perdulinya Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi
wasallam terhadap keluarga beliau, dan begitu pentingnya hal ini
untuk diperhatikan oleh ummat beliau.
Cinta, cinta adalah
kasih dan perhatian, Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam telah mencurahkan cinta, kasih dan perhatian yang
sepenuhnya kepada kita, dan beliau sama sekali tidak mengaharapkan imbalan dari
perjuangan beliau itu, selain beliau hanya meminta agar kita mencintai keluarga
beliau, mengasihi dan memperhatikan mereka.
Sebagian orang salah
bersikap terhadap Ahlul-bayt,
sebagaimana mereka salah bersikap terhadap anak-anak Kiai mereka. Mereka pikir
menghormati Ahlul-bayt
harus dengan bersikap takut, sehingga sikap itu justru dapat berpengaruh buruk
pada pemuda Ahlul-bayt
yang belum dewasa, baik belum dewasa dalam umur maupun cara berpikir. Dengan
sikap takut itu, pemuda Ahlul-bayt
atau anak Kiai justru dapat menjadi takabbur dan merendahkan orang lain. Maka,
sikap takut ini sebenarnya bertentangan dengan cinta yang dituntut oleh
Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, karena cinta berarti memberi yang terbaik,
sementara sikap takut justru berarti memberi racun yang dapat merusak mental
pemuda Ahlul-bayt
dan anak Kiai.
Dalam ayat diatas,
Allah ‘Azza wa-Jalla menyuruh
agar Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam meminta dari kita cinta (al-mawaddah) terhadap
keluarga dan keturunan beliau, bukan rasa hormat dengan sikap takut, apalagi
diam saja bila ada dari mereka yang berbuat dosa atau tidak sopan. Maka
hendaknya Ahlul-bayt
menjadai orang-orang yang paling kita cintai diantara orang-orang yang kita
cintai. Apabila mereka masih anak-anak, maka anggaplah mereka sebagai anak yang
paling kita cintai diantara anak-anak kita. Apabila kita ingin anak kita hidup
sejahtera dan menjadi muslim yang baik, maka begitu jugalah kita harus punya
keinginan untuk seorang anak Ahlul-bayt,
perlakukanlah ia dengan baik, sebagaimana kita memperlakukan anak kita agar
menjadi baik. Demikian pula bila mereka sebaya dengan kita, maka anggaplah
mereka sebagai saudara yang paling kita cintai diantara saudara-saudara kita.
Dan apabila mereka seumur dengan orang tua kita, maka anggaplah mereka sebagai
orang tua yang paling kita cintai diantara orang tua dan pamanpaman kita.
Jadikanlah Ahlul-bayt
sebagai orang-orang yang kita cintai, bukan kita takuti.
Dari itu, penulis melihat bahwa panggilan “Habib”
(kekasih) buat seorang lelaki Ahlul-bayt
itu lebih menyentuh daripada “Sayyid” (tuan). Karena “kekasih” berarti dekat,
sementara “tuan” terkesan ada jarak. Ketika kita panggil mereka dengan
panggilan “kekasih”, maka -setidaknya- itu merupakan ungkapan lahir yang
berasal dari permintaan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam, yaitu al-mawaddah,
cinta dan perhatian. Dan menurut makna yang asli, “Habib” memang lebih cocok
untuk semua Ahlul-bayt
daripada “Sayyid”, karena makna asli kalimat “Sayyid” adalah pemimpin,
sementara tidak semua Ahlul-bayt
menjadi pemimpin, melainkan semua Ahlul-bayt
adalah orang-orang yang kita cintai. Maka menurut arti “yang sebenarnya”, semua
Ahlul-bayt cocok
dipanggil “Habib”, adapun yang cocok dipanggil “Sayyid’ hanyalah orang-orang
yang memiliki kelebihan dari mereka, yaitu mereka yang memimpin, yang mendidik
dan memiliki banyak ilmu serta ahli ibadah.
No comments:
Post a Comment