Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga orang yang akan aku tuntut kelak di
hari kiamat. Seorang laki-laki meminta
kepadaku, kemudian ia berkhianat, dan seorang laki-laki yang menjual seorang
laki-laki merdeka, kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seorang
laki-laki yang mempekerjakan seseorang dan tidak pernah diberi upahnya.”[HR.
Bukhari].
Hadits ini menunjukkan, bahwa Allah swt telah
melarang memperjualbelikan orang-orang yang merdeka. Islam telah menghapuskan perbudakan. Dengan kata lain, Islam telah mengharamkan
perbudakan atas orang-orang merdeka dengan pengharaman yang pasti.
Sedangkan
dalam kondisi perang, Islam telah mengharamkan secara mutlak memperbudak tawanan perang. Pada tahun ke 2 Hijrah, telah dijelaskan
hukum mengenai tawanan perang, yakni melumpuhkan seluruhnya, atau ditebus
dengan sejumlah harta, tawanan kaum muslim, atau kafir dzimmiy. Hukum ini telah melarang adanya perbudakan
bagi tawanan perang. Allah swt
berfirman, “
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang
kafir ( di medan
perang), maka pancunglah batang leher mereka.
Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan
sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang
berhenti. “[Mohammad:4]
Sebagian
fuqaha menyatakan, bahwa saat perang Hunain, Rasulullah saw telah memperbudak
tawanan perang Hunain, sedangkan ayat di atas turun pada tahun ke 2 Hijriyyah
jauh sebelum peristiwa perang Hunain.
Untuk itu, dalam kondisi perang masih diperbolehkan melakukan perbudakan
tawanan perang. Jawaban atas pernyataan
ini adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya, perbuatan dan perkataan Rasulullah hanya berfungsi untuk
mentaqyiid, mengkhususkan, atau mentafshilkan (merinci), kemutlakan, keumuman,
dan kemujmalan (keglobalan) al-Quran, namun tidak bisa digunakan untuk
menghapus al-Quran (nasakh). Ayat di
atas sama sekali tidak berbentuk muthlaq sehingga layak untuk ditaqyiid. Ayat di atas lafadznya juga tidak berbentuk
umum, sehingga absah untuk dikhususkan.
Ayat di atas juga tidak berbentuk mujmal sehingga layak dirinci oleh
sunnah. Selain itu, khabar yang
menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah memperbudak tawanan perang di Hunain,
adalah khabar ahad. Khabar ahad tidak
boleh menasakh (menghapus) al-Quran yang mutawatir. Untuk itu, jika riwayat perbudakan tawanan
perang di perang Hunain memang benar-benar shahih, maka ia harus ditolak
matannya, karena bertentangan dengan khabar mutawatir.
Fakta saat perang Hunain menunjukkan,
bahwa para wanita dan anak-anak telah terlibat dalam perang, baik untuk memperkuat
pasukan, atau memberi semangat pasukan.
Tatkala pasukan Hunain dikalahkan, maka wanita dan anak-anak itu
statusnya menjadi sabaya. Rasulullah
saw kemudian membagi-bagikan mereka kepada kaum muslim yang turut perang.
Sebagian shahabat ada yang mengembalikan sabaya ini kepada keluarganya. Dalam
keadaan ini, sabaya boleh diperbudak, yakni wanita dan anak-anak yang
diterlibat dalam peperangan. Namun
demikian, tatkala Rasulullah saw memerangi Khaibar, beliau tidak menawan
penduduknya, baik laki-laki, wanita dan anak-anak. Beliau saw membiarkan mereka menjadi
orang-orang yang bebas (merdeka). Ini menunjukkan bahwa perlakukan terhadap
sabaya tergantung dari khalifah.
Khalifah boleh saja memperbudak mereka, atau membebaskan mereka. Namun, hukum semacam ini hanya berlaku
kepada sabaya, yakni wanita dan anak-anak yang terlibat dalam perang. Sedangkan laki-laki yang turut perang tidak
pernah diperbudak sama sekali. Dengan
kata lain, tawanan perang (al-usriy) tidak boleh diperbudak, sedangkan sabaya
(wanita-wanita dan anak-anak yang turut perang) boleh diperbudak atau
dibebaskan, Namun, untuk sabaya tidak boleh ditebus dengan harta.
Dari
seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa Islam telah menetapkan
aturan-aturan yang ditujukan untuk “pembebasan budak". Wallahu A'lam bi al-Shawab
No comments:
Post a Comment