Kota
Tarim, yang terletak sekitar 35 km di Timur Saiun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh
bukit-bukit batu terjal, di sisi lain di kelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak
dulu, Tarim merupakan pusat Mazhab Syafi’i. Antara abad ke 17 dan abad ke 19
telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim
termasuk kota
lama. Nama Tarim, menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang
bernama Tarim bin Hadramaut. Dia juga disebut dengan Tarim al-Ghanna
atau kota Tarim
yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal
dengan kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika
menyeru untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, maka penduduk Tarim adalah
yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga
khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan : pertama,
agar kota tersebut makmur, kedua, airnya berkah dan ketiga,
dihuni oleh banyak orang-orang saleh. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abu
Bakar Ba’abad berkata bahwa, ‘al-Shiddiq akan memberikan syafa’at kepada
penduduk Tarim secara khusus’.
Menurut
suatu catatan dalam kitab al-Ghurar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad
bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba’alawi pindah dari Desa Bait Jubair
ke kota Tarim
sekitar tahun 521 hijriyah.
Setelah kepindahan mereka kota Tarim dikenal
dengan kota
budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu di kota
Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di
masjid agung kota Tarim dipenuhi oleh ulama
fiqih kota
tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke kota Tarim adalah Syaikh
Ali bin Alwi Khali’ Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh
keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri.
Diceritakan
bahwa pada kota
Tarim terdapat tiga keberkahan : pertama, keberkahan pada setiap
masjidnya, kedua, keberkahan pada tanahnya, ketiga,
keberkahan pada pegunungannya. Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap
masjid di kota
Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba’alawi menjadi universitas-universitas
yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di kota Tarim yang bersejarah ialah masjid Bani Ahmad yang
kemudian dikenal dengan masjid Khala’ Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut.
Masjid tersebut dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa
Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian
masjid tersebut dikenal dengan masjid Ba’alawi. Bangunan masjid Ba’alawi nyaris
sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahib Mirbath. Pada awal
abad ke sembilan hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan
dari masjid tersebut.
Di Tarim terdapat tanah perkuburan Bisyar yang terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu Zanbal, Furait dan Akdar. Di perkuburan Zanbal, al-Faqih Muqaddam
dan semua sayyid terkemuka dari Kaum Alawiyin dimakamkan, di Furait terdapat
perkuburan para masyaikh, dan Akdar merupakan perkuburan umum. Di pemakaman
Zanbal, para Saadah al-Asraf, Ulama Amilin, Auliya’ dan Sholihin yang tidak
terhitung jumlahnya dikuburkan di sana.
Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah berkata : ‘Lebih dari
sepuluh ribu auliya’ al-akbar, delapan puluh wali quthub dari keluarga alawiyin
di makamkan di Zanbal’.
Seperti diriwayatkan oleh Syaikh Saad bin Ali : ‘Di pemakaman Zanbal dikuburkan
para sahabat Rasulullah saw , mereka wafat ketika menunaikan tugas untuk
memerangi ahli riddah. Mereka banyak yang wafat di Tarim dan tidak diketahui
kuburnya’. Akan tetapi Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah,
berkata : ‘Sesungguhnya letak kubur mereka sebelah Timur dari kubur al-Ustadz
al-A’zhom Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam’. Berkata Syaikh Muhammad bin
Aflah : ‘Sesungguhnya dari masjid Abdullah bin Yamani sampai akhir pemakaman
Zanbal terdapat perkuburan para ulama dan auliya’. Menurut ulama kasyaf,
Rasulullah dan para sahabatnya sering berziarah ke pemakaman tersebut.
Pertama
kali makam yang diziarahi di perkuburan Zanbal adalah makam al-Ustadz al-A’zham
Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam. Berkata Syaikh Ahmad bin Muhammad
Baharmi : ‘Saya melihat Syaikhoin Abu Bakar dan Umar ra dalam mimpi berkata
kepada saya, jika engkau ingin berziarah maka yang pertama kali diziarahi ialah
al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, kemudian ziarahilah siapa yang engkau
kehendak’. Berkata sebagian para Saadah al-Akbar : ‘Barangsiapa berziarah
kepada orang lain sebelum berziarah kepada al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin
Ali, maka batallah ziarahnya’.
Kemudian ziarah kepada cucunya Syaikh Abdullah Ba’alwi, kemudian kubur ayahnya
Alwi bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian Imam Salim bin Basri, kemudian ziarah
kepada Syaikh Abdullah bin al-Faqih al-Muqaddam, Ali bin Muhammad Shahib Marbath,
Ali bin Abdullah Ba’alwi, kemudian Syaikh Abdurahman Assaqqaf dan ayahnya
Muhammad Maula Dawilah, ayahnya Ali bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian kakeknya
Ali bin Alwi Khali’ Qasam, Muhammad bin Hasan Jamalullail dan ayah serta
kakeknya, kemudian Syaikh Muhammad bin Ali Aidid, Ali, Muhammad, Alwi, Syech
bin Abdurahman Assaqqaf, kemudian ziarah kepada Syaikh Umar Muhdhor, Syaikh Ali
bin Abi Bakar al-Sakran, kemudian Syaikh Hasan Alwara’ dan ayahnya Syaikh
Muhammad bin Abdurahman, kemudian para auliya’ sholihin seperti al-Qadhi Ahmad
Ba’isa, kemudian Syaikh Abdullah Alaydrus, Syaikhoin Muhammad dan Abdullah bin
Ahmad bin Husin Alaydrus, kemudian Syaikh Abdullah bin Syech, Sayid Ali Zainal
Abidin bin Syaikh Abdullah.
Kaum Alawiyin tetap dalam kebiasaan mereka menuntut ilmu agama, hidup
zuhud di dunia (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi) dan mereka juga
menghindar dari popularitas (syuhrah). Imam Abdullah bin Alwi
al-Haddad berkata, ‘Syuhrah bukan adat kebiasaan kami, kaum Alawiyin …’,
selanjutnya beliau berkata, ‘kedudukan kami para sayid Alawiyin tidak dikenal
orang. Jadi tidak seperti yang ada pada beberapa wali selain mereka (kaum
Alawiyin), yang umumnya mempunyai sifat-sifat berlainan dengan sifat-sifat
tersebut. Sifat tersebut merupakan soal besar dalam bertaqarrub kepada Allah
dan dalam memelihara keselamatan agama (kejernihan iman)’.
Imam
al-Haddad berkata pula, ‘Dalam setiap zaman selalu ada wali-wali dari kaum
Alawiyin, ada yang dzahir (dikenal) dan ada yang khamil
(tidak dikenal). Yang dikenal tidak perlu banyak, cukup hanya seorang saja dari
mereka, sedangkan yang lainnya biarlah tidak dikenal. Dari satu keluarga dan
dari satu negeri tidak perlu ada dua atau tiga orang wali yang dikenal. Soal al-Sitru
(menutup diri) berdasarkan dua hal : pertama, seorang wali menutup dirinya
sendiri hingga ia sendiri tidak tahu bahwa dirinya adalah wali. Kedua, wali
yang menutup dirinya dari orang lain, yakni hanya dirinya sendiri yang
mengetahui bahwa dirinya wali, tetapi ia menutup (merahasiakan) hal itu kepada
orang lain. Orang lain tidak mengetahui sama sekali bahwa ia adalah wali.
Sehubungan
dengan tidak tampaknya para wali, Habib Abdullah al-Haddad menulis syair,
‘Apakah mereka semua telah mati, apakah mereka semua telah musnah, ataukah
mereka bersembunyi, karena semakin besarnya fitnah’.
Tidak tampaknya para wali merupakan hikmah Allah, begitu pula tampaknya
para wali. Tampak atau tidak tampak, para wali bermanfaat bagi manusia. Habib
Ali bin Muhammad al-Habsyi ditanya : Apakah manfaat dari ketidaktampakan para
wali ? Beliau menjawab :
‘Tidak tampaknya para wali bermanfaat bagi masyarakat
dan juga bagi wali itu sendiri. Sebab, sang wali dapat beristirahat dari
manusia dan manusia tidak beradab buruk kepadanya. Mungkin kau meyakini
kewalian seseorang, tetapi setelah melihatnya kau lalu berprasangka buruk.
Seorang yang saleh bukanlah orang yang mengetahui kebenaran melalui kaum
sholihin. Akan tetapi orang saleh adalah orang yang mengenal kaum sholihin
melalui kebenaran‘.
Sayid
Ahmad bin Toha berkata kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, ‘Aku tidak tahu
bagaimana para salaf kita mendapatkan wilayah (kasyaf), padahal usia mereka
masih sangat muda. Adapun kita, kita telah menghabiskan sebagian besar umur
kita, namun tidak pernah merasakan walau sedikitpun. Aku tidak mengetahui yang
menyebabkan itu ?. Habib Ali lalu menjawab :
‘Ketaatan
dari orang yang makannya haram, seperti bangunan didirikan di atas gelombang.
Karena ini dan juga karena berbagai sebab lain yang sangat banyak. Tidak ada
yang lebih berbahaya bagi seseorang daripada bergaul dengan orang-orang jahat.
Majlis kita saat ini menyenangkan dan membangkitkan semangatmu. Ruh-ruh
mengembara di tempat ini sambil menikmati berbagai makanan hingga ruh-ruh itu
menjadi kuat. Namun, sepuluh majlis lain kemudian mengotori hatimu dan merusak
apa yang telah kau dapatkan. Engkau membangun, tapi seribu orang lain
merusaknya. Apa manfaatnya membangun jika kemudian dirusak lagi ? kau ingin
meningkat ke atas tapi orang lain menyeretmu ke bawah‘.
Menurut
ulama ahlul kasyaf, wali quthub adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para
wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Quthub biasa pula disebut Ghauts
(penolong), dan termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan. Selain itu, ia
dipandang sebagi pemegang jabatan khalifah lahir dan bathin. Wali quthub
memimpin pertemuan para wali secara teratur, yang para anggotanya hadir tanpa
ada hambatan ruang dan waktu. Mereka datang dari setiap penjuru dunia dalam
sekejap mata, menembus gunung, hutan dan gurun.
Wali
quthub dikelilingi oleh dua orang imam sebagai wazirnya. Di samping itu, ada
pula empat orang autad (pilar-pilar) yang bertugas sebagai penjaga empat
penjuru bumi. Masing-masing dari empat orang autad itu berdomisili di arah
Timur, Barat, Utara dan Selatan dari Ka’bah. Selain itu, terdapat pula tiga
orang nuqaba’, tujuh abrar, empat puluh wali abdal, tiga ratus akhyar dan empat
ribu wali yang tersembunyi. Para wali adalah pengatur alam semesta, setiap
malam autad mengelilingi seluruh alam semesta dan seandainya ada suatu tempat
yang terlewatkan dari mata mereka, keesokkan harinya akan tampak
ketidaksempurnaan di tempat itu dan mereka harus memberitahukan hal ini kepada
wali quthub, agar ia dapat memperhatikan tempat yang tidak sempurna tadi dan
dengan kewaliannya ketidaksempurnaan tadi akan hilang.
Seorang
wali quthub, al-Muqaddam al-Tsani, Syaikh Abdurahman al-Saqqaf beliau terkenal
di mana-mana, ia meniru cara hidup para leluhurnya (aslaf), baik dalam usahanya
menutup diri agar tidak dikenal orang lain maupun dalam hal-hal yang lain.
Dialah yang menurunkan beberapa Imam besar seperti Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh
Abu Bakar al-Sakran dan anaknya Syaikh Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Syaikh
Abdullah bin Abu Bakar yang diberi julukan al-‘Aidrus.
Syaikh
Abdurahman al-Saqqaf selalu berta’abbud di sebuah syi’ib pada setiap pertiga
terakhir setiap malam. Setiap malam ia membaca Alquran hingga dua kali tamat
dan setiap siang hari ia membacanya juga hingga dua kali tamat . Makin lama
kesanggupannya tambah meningkat hingga dapat membaca Alquran empat kali tamat
di siang hari dan empat kali tamat di malam hari. Ia hampir tak pernah tidur.
Menjawab pertanyaan mengenai itu ia berkata, ‘Bagaimana orang dapat tidur jika
miring ke kanan melihat surga dan jika miring ke kiri melihat neraka ?. Selama
satu bulan beliau beruzlah di syi’ib tempat pusara Nabi Hud, selama sebulan itu
ia tidak makan kecuali segenggam (roti) terigu.
Demikianlah cara mereka bermujahadah dan juga cara mereka ber-istihlak
(mem-fana’-kan
diri) di jalan Allah swt. Semuanya itu adalah mengenai hubungan mereka dengan
Allah. Adapun mengenai amal perbuatan yang mereka lakukan dengan sesama
manusia, para sayyid kaum ‘Alawiyin itu tidak menghitung-hitung resiko
pengorbanan jiwa maupun harta dalam menunaikan tugas berdakwah menyebarluaskan
agama Islam.
Selain
pemakaman Zanbal, terdapat pula pemakaman Furait. Dalam kamus bahasa Arab arti
Furait adalah gunung kecil. Di tempat tersebut dikuburkan keluarga Bafadhal
serta para ulama, auliya’, sholihin yang tak terhitung jumlahnya. Syaikh
Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah berkata : ‘Di tempat itu
dikuburkan lebih dari sepuluh ribu wali’. Beberapa ulama kasyaf menyaksikan,
sesungguhnya rahmat Allah yang turun pertama kali di dunia ini di pemakaman
Furait. Syaikh Abdurahman Assaqqaf, Sayid Abdullah bin Ahmad bin Abi Bakar bin
al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan sebagian ulama di Makkah menceritakan
bahwa dibawah tanah Furait terdapat taman dari taman-taman surga.
Di
pemakaman Furait, mulai ziarah diawali kepada Syaikh Salim bin Fadhal, kemudian
Syaikh Fadhal bin Muhammad bin al-Faqih Ahmad, Syaikh Fadhal bin Muhammad,
kemudian kepada Syaikh Ahmad ayahya dan ayah serta pamannya, kemudian Syaikh
Ibrahim bin Yahya Bafadhal, Syaikh Abu Bakar bin Haj, kemudian kepada Imam
al-Qudwah Ali bin Ahmad Bamarwan, al-Arif Billah Umar bin Ali Ba’umar, Imam
Ahmad bin Muhammad Bafadhal, Ali bin al-Khatib, Syaikh Abdurahman bin Yahya
al-Khatib, Syaikh Ahmad bin Ali al-Khatib, Imam Ahmad bin Muhammad bin Abilhub
dan anaknya Said, Imam Saad bin Ali.
Pemakaman
ketiga yang terkenal di kota
Tarim adalah pemakaman Akdar. Di perkuburan Akdar, yang dimakamkan di sana di
antaranya para ulama, auliya’ al-arifin dari keluarga Basri, keluarga Jadid,
keluarga Alwi, keluarga Bafadhal, keluarga Baharmi, keluarga Bamahsun, keluarga
Bamarwan, keluarga Ba’Isa, keluarga Ba’ubaid dan lainnya.
Muhammad bin Abubakar al-Syilli, Op
Cit, hal. 252.
Ibid,
hal. 251. Pada kitab al-Ghuror halaman 70, tertulis tahun 521
hijriyah.
Muhammad
bin Ali al-Khirrid., Op Cit, hal. 77.
Muhammad
bin Abubakar al-Syilli.Op Cit, hal. 263.
Ibid,
hal. 279.
Ibid,
hal. 283.
Idrus
Bin Umar al-Habsyi. Iqdu al-Yawaqit al-Jauhariyah, hal. 5.
No comments:
Post a Comment