Negeri Bukhara sebagai negeri
muara sungai Jihun yang terletak di sebelah utara Afghanistan dan sebelah
selatan Ukraina adalah negeri yang banyak melahirkan imam-imam Ahlul hadits dan
Ahlul fiqh. Negeri itu menyimpan kenangan sejarah perjuangan para imam-imam
Muslimin dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dapat
disebutkan di sini, para Imam Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri
Bukhara antara lain adalah: Al-Imam Abdullah bin Muhammad Abu Ja’far Al-Musnadi
Al-Bukhari yang meninggal dunia di negeri tersebut pada hari Kamis bulan
Dzulqa’dah tahun 220 H. dan kemudian juga lahir di Bukhara, Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah
dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa bernama Khortanak menuju arah
Samarkan. Juga lahir dan dibesarkan di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin
Muhammad bin Al-Husain Al-Kalabadzi Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan
meninggal tahun 398 H. dan masih banyak lagi deretan para imam-imam besar Ahli
hadits yang menghiasi indahnya sekarah negeri Bukhara.
Tetapi di masa kini kaum
Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang dipahami hanyalah
Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang bernama Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya beliau yang amat masyhur di
kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi
Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab
Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu sendiri maknanya ialah: Orang dari negeri
Bukhara. Jadi kalau dikatakan “Imam Bukhari” maknanya ialah seorang tokoh dari
negeri Bukhara.
AL-BUKHARI DI MASA KECIL
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Al-Imam Al-Bukhari lahir pada
hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya
yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah
beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli
hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad
bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak.
Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan
orang-orang Iraq.
Ayah Al-Bukhari meninggal
dunia ketika beliau masih kecil. Di saat menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim
sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari menyatakan kepadanya:
“Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau
satu dirham pun dari harta yang syubhat.” Tentu anak yang ditumbuhkan dari
harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan lebih baik dan mudah
dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang ayah, Al-Bukhari hidup
sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.
Muhammad bin Ismail mendapat
perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda dia telah hafal
Al-Qur’an dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh
tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu hadits
yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara. Pada usia sebelas tahun,
dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan
urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad). Usia kanak-kanak beliau
dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika
menginjak usia remaja --enam belas tahun--, beliau telah hafal kitab-kitab
karya imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat
Islam), seperti karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah, dan
memahami betul kitab-kitab tersebut.
Usia kanak-kanak Muhammad bin
Ismail telah berlalu dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya di
masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa
remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia menjadi remaja yang amat
diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir. Karena dalam usia belasan
tahun seperti ini dia telah hafal di luar kepala tujupuluh ribu hadits lengkap
dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an tiga puluh juz.
MELANGLANG BUANA MENUNTUT
ILMU
Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu. Sesampainya di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu. Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya. Beliau bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini. Maka gubernur pun membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut, beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu. Sesampainya di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu. Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya. Beliau bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini. Maka gubernur pun membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut, beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di saat berkeliling ke
berbagai negeri itu, beliau suatu hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah. Di
sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan
hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Al-Imam
Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam tempo
enam belas tahun sesudah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits
yang diyakini shahih oleh beliau setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu
hadits. Beliau pilih daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits
shahih dan seluruhnya dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us
Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian
terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan
sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga
ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam.
Para imam-imam Ahli Hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal,
Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
IMAM AL-BUKHARI DISANJUNG
DI MANA-MANA
Karya-karya beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Karya-karya beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam Al-Hafidh Abil Hajjaj
Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzibul Kamal fi
Asma’ir Rijal beberapa riwayat pujian para ulama Ahli hadits dan sanjungan
mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara beberapa riwayat itu
antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi’i
yang menyatakan: “Aku masuk ke berbagai negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan
Kufah. Aku melihat di berbagai negeri tersebut bahwa para ulamanya bila
menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka lebih mengutamakannya
daripada diri-diri mereka.”
Karena itu majelis-majelis
ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut ilmu. Dan bila
beliau memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin
menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum kedatangan beliau,
telah tersebar berita akan datangnya Imam Ahlul Hadits, sehingga kaum Muslimin
pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang akan dilewati beliau hanya
untuk sekedar melihat wajah beliau atau kalau bernasib baik, kiranya dapat
bersalaman dengan beliau.
Al-Imam Muhammad bin Abi
Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan
namanya), keduanya menceritakan: “Para ulama Ahli Hadits di Bashrah di jaman
Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits
dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau ini masih muda belia. Sehingga
pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah, beliau dikerumuni para penuntut
ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni ribuan
orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama. Padahal wajah
beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh kumis.”
DATANGLAH BADAI MENGHEMPAS
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Badai itu bermula dari
kedatangan beliau pada suatu hari di negeri Naisabur dalam rangka menimba ilmu
dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan beliau ke negeri tersebut
bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah berkali-kali berkunjung
ke sana karena Nasaibur termasuk salah satu pusat markas ilmu sunnah. Lagi pula
di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits yang bernama Muhammad bin
Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah berita gembira di Naisabur bahwa
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan datang ke negeri tersebut untuk tinggal
padanya beberapa lama. Bahkan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan
secara khusus di majelis ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin
menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya karena aku akan
menyambutnya.” Maka masyarakat luas pun bergerak mengadakan persiapan untuk
menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits di kota mereka.
Di hari kedatangan Imam
Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk
menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah
Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya. Diriwayatkan
oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota
Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang
menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”
Imam Muslim bin Al-Hajjaj
menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat
pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.”
Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.
Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.
Di hari ketiga kunjungan
beliau ke Naisabur, terjadilah peristiwa yang amat disesalkan itu. Diceritakan
oleh Ahmad bin Adi peristiwa itu terjadi sebagai berikut:
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?”
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu,
beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya
mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon
dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan
mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.
Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah
ini adalah perbuatan bid’ah.”
Dengan jawaban beliau ini, si
penanya membikin ricuh di majelis dan mengatakan tentang Al-Bukhari: “Dia telah
menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.” Akibatnya
orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka pun segera membubarkan diri
dari majelis itu dan meninggalkan beliau sendirian. Sejak itu Al-Bukhari duduk
di tempat tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi mau datang kepada beliau.”
Al-Khatib Al-Baghdadi
meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad
bin Khasynam menceritakan: “Setelah orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang
yang meninggalkan beliau itu sempat datang kepada beliau dan mengatakan:
“Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar di majelismu.” Beliau
menjawab: “saya tidak akan mencabut pernyataan saya kecuali bila mereka yang
meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku.”
Kata Muhammad bin Khasynam:
“Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang
dengan pendirian.”
Kaum Muslimin di Naisabur
gempar dengan kejadian ini dan akhirnya arus fitnah melibatkan pula Al-Imam
Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga beliau menyatakan di majelis ilmu beliau
yang kini telah ramai kembali setelah orang meninggalkan majelis Al-Bukhari:
“Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhari,
dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah
memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari)
mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Kata mereka
yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah dinasehati untuk jangan berkata
demikian, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada
yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”
Tentu saja dengan telah
terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini terjadi karena
Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Khurasan yang
beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam Adz-Dzuhli menegaskan:
“Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni firman Allah) dan bukan makhluk dari segala
sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip
ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafadhnya
ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa ini tentang Al-Qur’an.
Barangsiapa yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah
kafir dan keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut
untuk taubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima
taubatnya. Tetapi bila tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya
menjadi rampasan Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin.
Dan barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai
makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia
telah menyerupai orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku
ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid’ah
(yakni orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak
boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih
saja mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada
orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam
kesesatannya.”
Dengan pernyataan Adz-Dzuhli
seperti ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin
Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli seluruh
catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli, sehingga dalam
Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada
padanya.
Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: “Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.”
Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: “Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.”
Kemarahan Adz-Dzuhli seperti
ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela Al-Bukhari.
Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (yakni
Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di Khurasan,
khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam
berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa
menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”
Al-Imam Al-Bukhari amat paham
kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang beliau memegang
jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya: “Dan aku
serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
hamba-hamba-Nya.” Kemudian beliau menunduk sambil berkata: “YA Allah, sungguh
Engkau tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak
pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku
tidak mempunyai ambisi untuk memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke
negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini
(yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa
yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah beliau sendu menyimpan
kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap
sambil berkata: “wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian
terlepas dari berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli)
karena sebab keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk
mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana Al-Bukhari untuk
pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada
segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk
melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya
oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian menempuh jalan darat
yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. “Selamat tinggal Naisabur, rasanya
tidak mungkin lagi aku berjumpa denganmu.”
BADAI DI NEGERI BUKHARA
Di negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah sampai di gapura “selamat datang” tersebut, beliau mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Di negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah sampai di gapura “selamat datang” tersebut, beliau mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita penduduk
negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu para ahli
fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang
Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab Hanafi, sedangkan
Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli Hadits yang tidak
terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada masyarakat ialah
sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab
Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan
bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu sebagaimana
yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat semula tidak
mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, sekarang mereka bertakbir dengan
mengangkat tangan.
Dengan berbagai perubahan ini
keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di
negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang
Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan
keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur,
padahal dia imam Ahli Hadits.”
Maka Huraits dan
kawan-kawannya mulai berusaha untuk mempengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang bernama
Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.
Gubernur Khalid pernah
meminta Al-Bukhari untuk datang ke istananya guna mengajarkan kitab At-Tarikh
dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak
permintaan gubernur tersebut dengan mengatakan: “Aku tidak akan menghinakan
ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena
itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku,
atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau
adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka majelis ilmu ini
agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat bahwa aku tidaklah
menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya).”
Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka berkumpullah
padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’ dan kawan-kawan serta kekecewaan
pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid akhirnya sepakat untuk
membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih lagi
telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur
kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang
memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah rencana pengusiran
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.
Upaya pengusiran itu bermula
dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan segenap
penduduk Bukhara tentang tuduhan beliau kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari bahwa beliau telah berbuat bid’ah dengan mengatakan bahwa “lafadhku
ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”. Tetapi dengan pembacaan surat,
penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan tuduhan tersebut dan
terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid akhirnya mengusirnya
dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa dengan perlakuan ini.
Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, beliau sempat mendoakan celaka atas
orang-orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya. Ibrahim bin Ma’qil
An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat Muhammad bin Ismail pada hari beliau
diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat kepadanya dan aku bertanya kepadanya:
“Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?” Beliau menjawab:
“Aku tidak peduli selama agamaku selamat.”
Al-Bukhari meninggalkan
Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara dengan penuh
kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa
Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkan. Di desa terakhir
inilah beliau jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya
penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati yang
terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua tahun, beliau
berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah, bumi
serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku keharibaan-Mu.”
Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan selamat tinggal
dunia yang penuh onak dan duri.
PEMBELAAN AL-BUKHARI
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai berhari-hari.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai berhari-hari.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Muhammad bin Nasir Al-Marwazi
mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
menyatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa
lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, maka sungguh dia adalah
pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian.”
Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang Al-Qur’an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk.”
Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang Al-Qur’an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk.”
Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Ghunjar membawakan riwayat
dengan sanadnya sampai ke Al-Firabri, dia mengatakan bahwa Al-Bukhari telah
mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka sungguh dia telah kafir.” Bahkan
Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Khalqu
Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian beliau dalam masalah ini
dengan gamblang dan jelas serta lengkap dan ilmiah.
Fitnah itu memang kejam,
lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan memilih antara orang jahil atau
orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam memberikan
penilaian, karena yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa ulama itu ma’shum hanyalah
para ahli bid’ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau orang-orang sufi. Demikian
pula orang-orang yang mencerca ulama karena kesalahannya semata tanpa
mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena kesalahan ijtihad ataukah
kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian ini adalah sikap sufaha’
(orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin Surur) atau
haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak
menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan ulama ketika
mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan Al-Imam
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam Muhammad bin
Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam tersebut. Dan
kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu Al-Qur’an dan
As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang salah
untuk kita tinggalkan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu
berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan akhlak Ahlus
Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian
menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa dasar
kamu berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu fatwa dari ulama!
Kita katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kita katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Gubernur Bukhara Khalid bin
Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil Waraqa’ telah
menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan
berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang mencari-cari
alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba datang surat dari Al-Imam
Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan sang gubernur
dari bahaya bid’ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini seperti kata
pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti, segera surat
ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu datanglah keputusan
pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan
orang bahwa pengusiran itu karena semata-mata alasan agama dan bukan alasan
yang lainnya.
Tetapi Allah Maha Tahu dan
Dia membongkar segala kejahatan di balik alasan-alasan yang memakai atribut
agama itu. Sehingga yang tertulis dalam sejarah Islam sampai hari ini adalah
kesan buruk terhadap perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil
Waraqa’. Dan bukan kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para pencoleng fatwa
ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari
masa ke masa. Hanya saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan
menjadi sejarah bagi anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah
pengkhianatan dan kedustaan terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang sekarang menjadi
pergunjingan bagi generasi ini.
No comments:
Post a Comment